Minggu, 19 Juni 2011

Perilaku Politik


Model Perilaku Politik
Perilaku politik dapat dipilih tiga kemungkinan unit analisis, yakni individu aktor politik, agregasi politik, dan tipologi kepribadian politik. Dalam kategori individu aktor politik meliputi aktor politik (pemimpin), aktivis politik, dan individu warga negara biasa. Agregasi ialah individu aktor politik secara kolektif, dalam tipologi kepribadian politik ialah tipe-tipe kepribadian pemimpin otoriter, machiavelist dan demokrat. Empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik seorang aktor politik.

Kamis, 16 Juni 2011

Sejarah Psikologi Sosial


A.    Sejarah Perkembangan Psikologi Sosial
Sebelum ilmu imduknya, yaitu Psikologi, dikukuhkan sebagai ilmu yang berdiri sendiri, bibit-bibit psikologi sudah mulai tumbuh, yaitu ketika Lazarus dan Steindhal pada tahun 1860 mempelajari bahasa, tradisi dan instuisi masyarakat untuk menemukan “jiwa umat manusia” (humand mind) yang berbeda dari “jiwa individual”. (Bonner, 1953)
Upaya Lazarus dan Steindhal yang masih sangat dipengaruhi oleh ilmu bantroppologi tersebut, kemudian dikembangkan oleh W. Wundt sendiri pada tahun 1880 mulai mempelajari “Psikologi Rakyat” (Folk Psycology) dan mengajarkannya dengan Psikologi individual dalam eksperimen-eksperimennya. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat, rakyat, kelompok atau kumpulan orang mempunyai “jiwa” yang berbeda dari “jiwa” perorangan. Pendapat ini kemudian mempengaruhi seorang sosiolog terkemuka E. Durkheim yang terkenal dengan teorinya tentang perilaku masyarakat. (Bonner, 1953)
Kelahiran psikologi ditandai dengan dua buah buku berjudul sama, yaitu "Introduction to Social Psychology" ditulis oleh William McDougall - seorang psikolog - dan "Social Psychology : An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross - seorang sosiolog. McDougall menerangkan teori-teori social deng teori-teori instink (manusia berperilaku social karena nalurinya), sedangkan Ross menerangkannya dengan teori struktur social (manusia berperilaku social karena ada tata – aturan dalam masyarakat yang harus di ikuti). (Lindgren,. 1969; Shaver, 1977; Baron dan Byrne, 1994)
Publikasi lain yang dianggap fenomenal dalam kelahiran psikologi social adalah tulisan dari Floyd Allport pada tahun 1924. Dalam tulisannya Allport terlihat berorientasi modern. Ia mengatakan bahwa perilaku social bukan hanya disebabkan oleh naluri atau instink (yang bersifat biologic dan berlaku sama untuk setiap orang) dan juga tidak semata-mata dipengaruhi oleh struktur social. Dikatakannya bhawa perilaku social terjadi pada individu karena berbagai factor yang majemuk yang secara bersama-sama mempengaruhi individu tersebut.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1935 ketika Sherif melakukan eksperimennya tentang pembentukan norma social dari pendapat individu-individu dan selanjutnya individu-individu itu berperilaku dengan berpatokan pada norma social itu. Setelah eksperimen Sherif itu, psikologi social makin berkembang dengan penelitian-penelitian tentang kepemimpinan dan proses kelompok oleh Kurt Lewin pada tahun 1939. (Baron & Byrne, 1994)
Setelah perang dunia selesai, perhatian psikologi beralih ke proses individual dan psikologi sosial mulai mempelajari proses interaksi sosial. Disekitar tahun 1957 lahirlah aliran psikologi kognitif yang tokohnya antara lain adalah Festinger. Aliran ini mengemukakan teori tentang “Disonansi Kognitif”, yaitu keadaan dalam kesadaran dimana ada dua elemen kesadaran yang tidak saling menunjang (keadaan disonan) sehingga manusia berperilaku tertentu untuk mengembalikan keseimbangan (konsonan) antara elemen-elemen kesadaran itu.
Proses pendewasaan psikologi social mencapai puncaknya antara tahun 1970 sampai tahun 1980. Tahap ini pun ditandai dengan berkembangnya penelitian-penelitian psikologi sosila terapan. (Baron &Byrne, 1994). Seperti PSikologi kesehatan, psikologi hokum, psikologi lingkungan kerja, psikologi kepolisian, dan psikologi lingkungan.
Di masa depan, penelitian akan mengarah pada kognisi dan penerapan psikologi social dengan menggunakan perfektif kebudayaan. Factor kognisi berupa atribusi, sikap, stereotip, prasangka dan disonansi kognitif (Baron dan Byrne, 1994; Glassman dan Hadd, 2004) adalah dasar dari tingkah laku sosial manusia. Ketertarikan untuk mengembangkan faktor ini dalam psikologi sosial berkembang pada tahun 1970-an. Perpektif kebudayaan dan sosial sebagai tingkat analisis utama.
Kelahiran psikologi di Indonesia menjadi awal dari keberadaan psikologi sosial di Indonesia. Diawali dengan munculnya bagian psikologi sosial di fakultas psikologi di Universitas Indonesia pada tahun 1967. Kelahirannya di Indonesia bersamaan dengan masa-masa berkembangnya psikologi sosial di dunia. Selanjutnya, ditahun yang sama, fakultas psikologi Universitas Indonesia mengembangkan bagian psikologi sosial yang kemudian menghasilkan para peneliti-peneliti awal psikologi sosial di Indonesia.
Sedangkan latar belakang timbulnya psikologi sosial, banyak beberapa tokoh berpendapat, seperti :
1)      Gabriel Tarde (1842-1904)
Ia adalah seorang sosiolog dan kriminolog Perancis yang dianggap pula sebagai Bapak Psikologi Sosial (social interaction). Tarde berpendapat bahwa semua hubungan social (social interaction) selalu berkisar pada proses imitasi, bahkan semua pergaulan antar manusia itu hanyalah semata-mata berdasarkan atas proses imitasi. Menurutnya, masyarakat itu tidak lain dari pengelompokan manusia, dimana individu yang satu mengimitasi dari yang lain dan sebaliknya, apabila manusia mulai mengimitasi kegiatan manusia lainnya. Jadi, pokok-pokok teori psikologi social Tarde berpangkal kepada proses imitasi sebagai dasar dari pada interaksi social antar manusia.
2)      Gustave Le Bon (1841-1932)
Le Bon mengatakan bahwa massa itu mempunyai satu jiwa tersendiri yang berlainan sifatnya dengan sifat-sifat jiwa individu. Jadi seorang individu yangtergabung dalam massa itu akan bertingkah laku secara berlaianan dibandingkan dengan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari sebagai individu. Adapun sifat massa itu lebih impulsif, lebih mudah tersinggung, ingin bertindak dengan segera dan nyata, lebih mkudah terbawa-bawa oleh sentimen, kurang rasionil, lebih mudah dipengaruhi (sugestibel), lebih mudah mengimitasi dan sebagainya.
Dari uraian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa menurut Le Bon pada manusia terdapat dua macam jiwa, yaitu jiwa individu dan jiwa massa yang masing-masing berlainan sifatnya. Jiwa massa lebih bersifat primitif (buas, irasional, dan penuh sentimen) dari pada sifat-sifat jiwa individu.
3)      Sigmun Freud (1856-1939)
Ia disamping sebagai ahli psikologi, dapat disebut sebagai bapak Psiko-analisa, juga seorang psikiater Austria yany ternama. Seirama dengan Le Bon, ia berpendapat bahwa jiwa massa itu mempunyai sifat-sifat khusus yang berlainan dengan difat-sifat jiwa individu.
Berlainan denga Le Bon, ia berpendapat bahwa jiwa massa itu sebenarnya sudah terdapat dan tercakup oelh jiwa individu. Hanya saja sering tidak disadari oleh manusia itu sendiri, karena memang dalam keadaan terpendam. Baru setelah dalam situasi massa, maka sifat-sifat yang terpendam tersebut seolah-olah diajak untuk mengatakan dirinya dengan leluasa, sehingga tampaklah jiwa massa yang sebelumnjya tidak terduga-duga itu. Namun terkadang pula jiwa massa terkandung sifat-sifat yang positif, sifat-sifat yang baik, antara lain : sifat rela berkorban, suka membantu, dan lain sebagainya.
4)      Emile Durkheim (1858-1917)
Sebagai seorang tokoh sosiologi, ia berpendapat bahwa :
a.          Gejala-gejala social yang terjadi dalam masyarakat itu tidak dapat dibahas oleh psikologi, melainkan hanya oleh sosiologi. Adapun alasannjya ialah bahwa yang mendasari gejala-gejala sosial itu adalah suatu kesadaran kolektif dan bukan kesadaran individual.
b.         Masyarakat itu terdiri atas kelompok-kelompok manusia yang hidup secara kolektuif dengan pengertian-pengertian dan tangggapan-tanggapan yang kolektif pula. Dan hanya dengan kehidupan kolektif itulah yang dapat menerangkan gejala-gejala social.
c.          Bahwa pada manusia terdapat dua macam jiwa, seperti yang dikemukakan oleh Le Bon, yaitu jiwa kelompok (group mind) dan jiwa individu (individual mind).
5)      Wiliam Jame & Charles H. Cooley (hidup awal abad 20)
Mereka berpendapat bahwa perkembangn individu itu berhubungan erat dengan perkembangan masyarakat di sekitarnya.
Dari uraian singkat itu jelaslah bahwa cirri-ciri dan tingkah laku individu tidak mudah dimengerti jika tidak dikaitkan dalam hubungannya dengan orang-orang lain di dalam kelompok itu, sebab sejak dilahirkan individu itu sudah berinhteraksi social dengan orang lain, misalnya dengan orang tuanya, keluarganya, kawan-kawan seperdamaian, yang kesemuanya ini akan memupuk perkembangan individual serta keseimbangan pribadi sebaik-baiknya. Bahkan Cooley menambahkan bahwa selfconsept seseorang individu merupakan refleksi dari pada konsep-konsep orang lain.
6)      Kurt Lewin (meninggal tahun 1966)
Lewin dengan Teorinya field Theori (teori lapangan) mengembangkan bagaimana perilaku terbentuk. Dia memberikan rumusan teoritis B = f (P,E). Tingkah laku (B: Behavioral) merupakan hasil dari fungsi (f) individu (P) dan lingkungan (E: Environment).
Pokok pikiran Field Psikologi adalah bahwa bagaimanapun dan bilamanapun manusia itu selalu hidup dalam satu Field. Oleh karena itu uraian mengenai tingkah laku manusia harus pula memperhatikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadapnya dalam lapangan yang berobah-obah itu. Hasil eksperimennya adalah  bahwa cara-cara kepemimpinan yang berlainan, akan berpengaruh secara berlainann pula terhadap suasana kerja dan cara-cara bertingkah laku dalam kelompoknya masing-masing.

B.           Urutan Kronologi Perkembangan Psikologi Sosial
1898: Gabriel de Tarde mempublikasikan Etudes de Psychologie Sociale (Studies of Social Psychology) yang banyak membahas tentang imitasi, dasar teori belajar sosial dan konformitas. Dan dalam American Journal of Psychology, Norman Triplett menggambarkan eksperimen yang berkaitan dengan fasilitasi sosial.
1908 : Edward Ross dan William McDougall mempublikasikan buku teks Psikologi Sosial
1918 – 1920 : para psikolog sosial (W. I. Thomas dan F. Znaniecki’s) mulai mendefinisikan ranah mereka. Sikap menjadi konsep utama.
1921 : The Journal of Abnormal Psychology menjadi The Journal of Abnormal and Social Psychology
1924: Floyd Allport mempublikasikan pengaruh social
1934 : George Herbert Mead mempublikasikan bukunya yang berjudul Mind, Self and Society yang menekankan pada interaksi antara diri (self) dan orang lain
1935 : Buku pegangan Psikologi Sosial untuk pertama kalinya diterbitkan dengan Carl Murchinson sebagai editornya.
1936 : Muzafer Sherif menjelaskan proses konformitas dalam The Psychology of Social Norms
1939 : Kurt Lewin, bersama dengan muridnya Ronald Lippit dan Ralph White, melaporkan studi eksperimental mengenai gaya-gaya kepemimpinan. Pada tahun yang sama, Dollar-Miller mengenalkan teori frustasi-agresi
1941 : Dalam Social Learning and Imitation, Neal Miller dan Jhon Dollar mengemukakan teori yang perluasan dari prinsip-prinsip behavioristik dalam perilaku social.
1945 : Kurt Lewin mengemukakan penelitian tentang Dinamika Kelompok
1954 : Buku pegangan Psikologi Sosial edisi modern diterbitkan dengan Gardner Linzey sebagai editornya.
1957 : Leon Festinger mempublikasikan A Theory of Cognitive Dissonance, yang menampilkan suatu model yang menekankan pada konsistensi antara pemikiran dan perilaku
1958 : Fritz Heider memberikan pondasi awal bagi teori atribusi melalui publikasi pada The Psychological of Interpersonal Behavior
1959 : Jhon Thibaut dan Harold Kelley mempublikasikan The Social Psychology of Group yang merupakan pondasi bagi teori pertukaran social
1965 : The Journal of Abnormal and Social Psychology terbagi dalam dua publikasi yang terpisah, The Journal of Abnormal Psychology menjadi The Journal of Personality and Social Psychology
1985 : Edisi Ketiga buku pegangan Psikologi Sosial dipublikasikan dengan Gardner Linzey dan Elliot Aronson sebagai editornya.

C.    Hubungan Psikologi Sosial dengan Ilmu Lain
Sebagai ilmu yang obyeknya manusia, maka terdapat saling hubungan antara psikologi social denagn ilmu-ilmu yang obyek-nya juga manusia, seperti misalnya: Imu hokum, ekonomi, sejarah dan yang paling erat hubungannya adalah sosiologi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa psikologi social adalah identik dengan sosiologi. Tetapi sebenarnya ada sedikit perbedaan antara psikologi social dengan sosiologi.
Pada psikologi social yang dibicarakan adalah manusia sebagai anggota masyarakat. Jadi meninjau interaksi dalam kelompok, bagaimana hubungan individu yang satu dengan yang lain dalam kelompok itu, dan sebagainya. Sedangkan sosiologi membicarakan tentang kelompok-kelompok manusia sebagai suatu kesatuan, misalnya: tentang macam-macamnya kelompok, perobohan-perobohannya, macam-macam pimpinan dan sebagainya. Disini tidak dibicarakan individu yang satu denagan dengan yang lain, tetapi hanya dibicarakan kelompok sebagai kesatuan.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa psikologi social meninjau hubungan individu yang satu dengan yang lain. Masalah-masalah yang dibicarakan banyak yang bersamaan dengan sosiologi, hanya saja sudut pandangannya berbeda. Sedang kalau di pandang psikologi social: bagaimana hubungan social/manusia yang satu dengan yang lain, bagaimana pengaruh terhadap pimpinan, bagaimana sikap kelompok terhadap pimpinan dan sebagainya. Maka dapatlah dikatakan bahwa psikologi social dan sosiologi sangat erat hubungannya satu sama lain. Seperti yang di kemukakan oleh W.A. gerungan bahwa antara psikologi dan sosiologimerupakan daerah dari psikologi social.  “ Bila lingkaran pertama menyatakan bidang ilmu psikologi, dan lingkaran kedua adalah lingkaran sosiologi, maka bidang yang ditutupi oleh kedua lingkaran bersama adalah bidang psikologi social”. Dengan demikian akan terlihat kepada kita bagaimana hubungan antar psikologi social di satu pihak dan sosiologi di lain pihak.
1.      Hubungan psikologi social dengan sosiologi 
Ilmu yang dapat mempengaruhi pada Psikologi Sosial adalah Sosiologi dan Antropologi,(Bonner-1953)
Sosiologi : Suatu bidang ilmu yang terkait dengan perilaku hubungan antar individu, atau antara individu dengan kelompok, atau antar kelompok (interaksionisme) dalam perilaku sosialnya.
Antropologi : lebih memfokuskan pada perilaku sosial dalam suprastruktur budaya tertentu, jd lebih ke bidang budayanya.
Psikologi Sosial : jembatan diantara cabang-cabang pengetahuan sosial lainnya atau mempelajari perilaku individu yang bermakna dalam hubungan dengan lingkungan atau rangsang sosialnya. 
Perbedaan  antara Psikologi Sosial dengan Sosiologi adalah lebih terfokus studinya. Fokus perhatian studi psikologi social lebih dominan ke perilaku individu. Berbeda dengan Sosiologi  yang lebih terfokus pada sistem dan struktur sosial yang dapat berubah tanpa bergantung pada individu tersebut.Sosiologi lebih memfokuskan pada masyarakat dan budaya yang melingkupi individu.
2.      Hubungan psikologi social dengan antropologi
Fokus studi antropologi awal tahun 1920-an : Ahli antropologi tertarik pada lingkungan dan kebudayaan dari bayi dan anak-anak, masa itu sangat dianggap penting bagi pembentukan kepribadian dewasa yang khas dalam suatu masyarakat. Karena pembentukan kepribadian adalah sesuatu yang patut dipelajari dan di tanam dalam diri masyarakat, agar da batasan dan norma-norma yang berlaku.
Hampir semua penelitian yang mendalami “kepribadian bangsa” menyimpulkan bahwa ciri-ciri kepribadian yang tampak berbeda pada bangsa-bangsa di dunia ini bersumber pada cara pengasuhan pada masa kanak-kanak. Karena pada masa kanak-kanak adalah masa yang paling penting untuk menngatur dan melihat jati diri, masa kanak-kanak yang bisa di ajarkan berperilaku baik sesuai norma dan adat dan masa kanak-kanalah yang pandai meniru.
Dalam perkembangannya, fokus pendekatan psikologis pada keanekaragaman kebudayaan, berubah. Minat terhadap hubungan pengasuhan semasa anak-anak dan kepribadian setelah dewasa, tetap dipertahankan, namun beberapa ahli antropologi mulai meneliti faktor-faktor determinan yang mungkin jadi penyebab dari kebiasaan pengasuhan anak yang beragam Kebudayaan tertentu menghasilkan karakteristik psikologi tertentu menimbulkan ciri budaya lainnya.
Kesimpulan mengenai pendekatan psikologis dalam antropologi budaya: dengan menghubungkan variasi dalam pola budaya dengan masa pengasuhan anak, kepribadian, kebiasaan, dan kepercayaan yang mungkin menjadi konsekuensi dari faktor psikologis dan prosesnya.
Anthropology in mental health: memfokuskan diri pada aspek sosial budaya yang mempengaruhi kondisi/ gangguan mental pada diri individu.
3.      Hubungan psikologi social dengan ilmu politik 
Psikologi merupakan ilmu yang mempunyai peranan penting dalam bidang politik, “massa psikologi”. Penting bagi politisi untuk menyelami gerakan jiwa dari rakyat pada umumnya, golongan tertentu pada khususnya. Psikologi social dapat menjelaskan bagaimana sikap dan harapan masyarakat dapat melahirkan tindakan serta tingkahlaku yang berpegang teguh pada tuntutan masyarakat.

4.      Hubungan psikologi social dengan ilmu komunikasi 
Banyak disiplin ilmu yang terlibat dalam studi komunikasi. Dalam perkembangannya ilmu komunikasi melakukan “perkawinan’ dengan berbagai ilmu lain.
Subdisiplin : komunikasi politik, sosiologi komunikasi masa, psikologi komunikasi
Psikologi komunikasi : ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengndalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi.
5.      Hubungan psikologi social dengan ilmu alam
Pada permulaan abad ke-19 psikologi dalam penelitiannya banyak terpengaruh oleh ilmu alam. Psikologi disusun berdasarkan hasil eksperimen.
Objek penelitian psikologi: manusia dan tingkah lakunya yang selalu hidup dan berkembang
Objek penelitian ilmu alam : benda mati.
6.      Hubungan psikologi social dengan imu filsafat
Filsafat : hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dalam penyelidikannya filsafat berangkat dari apa yang dialami manusia. Ilmu psikologi menolong filsafat dalam penelitiannya. Kesimpulan filasafat tentang kemanusiaan akan ‘pincang’ dan jauh dari kebenaran jika tidak mempertimbangkan hasil psikologi.
7.      Hubungan psikologi social dengan ilmu pendidikan
Ilmu Pendidikan: bertujuan memberikan bimbingan hidup manusia sejak lahir sampai mati. Pendidikan tidak akan berhasil dengan baik bilamana tidak didasarkan pada psikologi perkembangan. Hubungan kedua disiplin ilmu ini melahirkan Psikologi Pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Wirawan, Sarlito. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta : Salemba Humanika
Wirawan, Sarlito. 2006. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Baron & Byrne. 1994. Psikologi Sosial
Wirawan, Sarlito. 2002. Psikologi Sosial (Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial). Jakarta : Balai Pustaka.
Ahmadi, Abu. 1988. Psikologi Sosial. Surabaya : Bina Ilmu.
Taylor, Shelly, Lestifia Anne, David Sears. 2009. Psikologi Sosial (Edisi Ke-12). Jakarta : Kencana.

Teori Stratifikasi Sosial


  1. Teori-Teori Stratifikasi Sosial Beserta Tokohnya
            Abrahamson berpendapat, bahwa teori stratifikasi sosial dari Weber, sebenarnya merupakan suatu tanggapan terhadap ajaran-ajaran Marx mengenai masalah tersebut. Salah satu pokok permasalahannya adalah mengenai dimensi stratifikasi sosial, yakni dimensi ekonomis, soial dan politis. Weber berpendapat bahwa di dalam setiap tertib, warga-warga masyarakat terbagi dalam kelas-kelas (ekonomis), kelompok status (sosial), dan partai-partai (politis).
Hubungan antara ketiganya bersifat timbal balik ; Marx menganggap, bahwa dimensi ekonomis menentukan dimensi-dimensi lainnya. Uraian di bawah ini, akan mempersalahkan hal-hal tersebut. [1]
Sebagaimana dijelaskan, Weber menyatakan bahwa suatu kelas mencakup orang-orang yang mempunyai peluang-peluang kehidupan yang sama, dipandang dari sudut ekonomis. Dengan peluang-peluang kehidupan dimaksudkan sebagai kondisi hidup, pengalaman hidup dan kesempatan mendapatkan benda dan jasa.
            Menurut Weber pengertian kelas adalah untuk mengkaitkannya dengan pengertian pemilikan yang dipandangnya sebagai masalah situasi pasaran. Sebagaimana halnya dengan Marx, maka Weber melihat pasaran kapitalistik sebagai gejala yang mengeluarkan golongan yang tidak bermodal dari proses persaingan terhadap barang-barang bernilai tinggi.
Menurut pendapat Marx golongan borjuis memegang monopoli terhadap kesempatan-kesempatan atau peluang-peluang tertentu. Yang dikeluarkan dari proses persaingan adalah golongan proletar yang hanya dapat memberikan jasa-jasa. Akan tetapi, Weber mengadakan penjabaran lebih lanjut terhadap posisi-posisi di dalam kelas-kelas tersebut.
Menurut Weber, maka berbagai golongan borjuis, sesuai dengan varisai harta kekayaan yang dimilikinya. Hal yang sama juga merupakan gejala yang dapat dijumpai pada golongan yang tidak mempunyai harta kekayaan, yang hanya mampu memberikan atau menjual tenaganya. [2]
            Marx beranggapan, bahwa golongan proletar tidak mengakui kepentingan sesungguhnya dari kelasnya ; dia berpendapat bahwa mereka harus mengakuinya dan akan berbuat demikian kelak dikemudian hari. Dengan cara lebih memberi tekanan pada konstruksi subyektif dari keadaan, Weber memintakan perhatian terhadapa halangan terjadinya aksi kelas.
Weber menganggap pertimbangan-pertimbangan terhadap kedudukan, sebagai halangan tambahan terhadap terjadinya aksi kolektif yang didasarkan pada posisi kelas. Di sini lah muncul perbedaan pendapat anatara Weber dengan Marx. Mengenai status atau kedudukan, Weber menganggapnya sebagai hal yang menyangkut gaya hidup, kehormatan dan hak-hak istimewa.
Hubungan antara kelas dengan status, merupakan masalah yang sangat penting bagi Weber. Di satu pihak Weber menyatakan, bahwa status dapat didarkan pada pemilikan (harta kekayaan), dan cenderung demikian pada masa mendatang.
Di samping itu, dia membedakan (secara tajam) antara status dengan ketamakan ekonomis semata-mata. Dia juga menyatakan bahwa kelompok bahwa kelompok status yang sama mencakup orang-orang dari situasi kelas yang berbeda-beda.
Weber juga mengetengahkan kondisi-kondisi di dalam mana suatu kelompok cenderung status cenderung menjadi kasta. Kondisi yang penting adalah, kalau status kehormatan status adalah identik dengan posisi kelas, serta berlangsung lama. Demikian juga halnya, apabila perbedaan status dikaitkan dengan perbedaan-perbedaan etnik atau rasial. [3]
Terdapat beberapa teori mengenai stratifikasi sosial :
1. Teori Stratifikasi Sosial Fungsional[4]
Teori stratifikasi sosial merupakan teori sosial yang dikembangkan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945). Mereka memandang stratifikasi sosial sebagai sesuatu yang universal dan bagi mereka tidak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi, karena masyarakat memerlukan sistem semacam itu dan terwujud dalam sistem stratifikasi. Stratifikasi sebagai struktur, dengan menegaskan bahwa stratifikasi tidak berarti individu dalam sistem stratifikasi namun sebagai sistem posisi.
Dalam hal ini Davis dan Moore tidak menekankan bagaimana mendapatkan posisi atau kedudukan itu dalam masyarakat, akan tetapi menekankan pada bagaimana cara posisi tertentu mempengaruhi tingkat prestise dalam masyarakat.
Persoalan dalam stratifikasi sosial-fungsional adalah bagaimana masyarakat memotivasi dan menempatkan individu pada posisi atau kedudukannya yang tepat di masyarakat, dan bagaimana masyarakat menanamkan motivasi kepada individu untuk memenuhi persyaratan dalam mengisi posisi tersebut. Penempatan sosial yang tepat dalam masyarakat seringkali menjadi masalah karena:
a.       Posisi tertentu lebih menyenangkan dari pada posisi yang lain.
b.      Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat dari posisi yang lain.
c.       Posisi-posisi sosial yang berbeda memerlukan bakat dan kemampuan yang berbeda pula.
Dari ketiga hal di atas Davis dan Moore lebih memberikan perhatian pada posisi yang penting dalam masyarakat untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Ini merupakan posisi yang lebih tinggi tingkatannya dalam stratifikasi masyarakat yang memerlukan bakat dan kemampuan terbaik meski dianggap kurang menyenangkan. Oleh karena itu masyarakat harus memberikan penghargaan yang terbaik bagi individu yang menduduki posisi ini agar dapat bekerja dengan tekun. Sebaliknya posisi-posisi lainnya dianggap lebih rendah dalam stratifikasi masyarakat, kurang penting, dan tidak terlalu memerlukan bakat dan kemampuan terlalu besar namun menyenangkan. Selain itu masyarakat tidak terlalu menuntut individu yang menduduki posisi rendah ini untuk malaksanakan kewajiban mereka dengan tekun. Individu yang berada di puncak stratifikasi harus menerima hadiah/imbalan yang memadai dari fungsi yang dilaksanakannya itu dalam bentuk prestise yang tinggi, gaji besar, dan kesenangan yang cukup. Ini untuk meyakinkan bahwa individu mau menduduki posisi yang tinggi itu dalam masyarakat.
Namun teori stratifikasi sosial fungsional ini mendapatkan Banyak kritik, khususnya terkait dengan :
a.       Hak-hak istimewa yang diterima individu yang menduduki stratifikasi struktural yang tinggi dari masyarakat. Dan hal ini akan melanggengkan posisi istimewa orang-orang yang telah memiliki kekuasaan, prestise, dan uang. Karena orang-orang ini berhak mendapatkan hadiah/imbalan seperti itu dari masyarakat demi kebaikan masyarakat sendiri.
b.      Teori ini menyatakan bahwa struktur sosial yang terstratifikasi sudah ada sejak masa lalu, maka ia akan tetap ada di masa datang. Padahal ada kemungkinan bahwa masyarakat di masa depan akan ditata menurut cara lain tanpa stratifikasi.
c.       Ide tentang posisi fungsional yang berbeda-beda arti pentingnya bagi masyarakat sangatlah absurd. Pengumpul sampah meski dalam posisi rendah, tidak bergengsi dan berpenghasilan kecil namun mungkin lebih penting bagi kelangsungan hidup masyarakat di banding dengan seorang manajer periklanan yang berpenghasilan besar. Imbalan yang lebih besar tidak selalu berlaku untuk posisi yang lebih penting. Perawat mungkin lebih penting daripada seorang bintang film atau sinetron. Tetapi bintang film atau sinetron lebih besar kekuasaan atau pengaruhnya, prestisenya, dan penghasilannya dibandingkan dengan seorang perawat.
d.      Orang yang mampu menduduki posisi tinggi sebenarnya tidak terbatas. Hanya saja banyak orang yang terhalang secara struktural untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat khususnya untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan untuk mencapai posisi bergengsi itu meski memiliki kemampuan. Dengan kata lain banyak orang yang memiliki kemampuan namun tidak pernah mendapatkan atau diberikan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Mereka yang berada pada posisi tinggi mempunyai kepentingan tersembunyi untuk mempertahankan agar jumlah mereka tetap kecil, dan kekuasaan serta pendapatan mereka tetap tinggi.
e.       Kita tidak harus menawarkan kepada orang kekuasaan, prerstise dan uang untuk membuat mereka mau menduduki posisi tingkat tinggi. Orang dapat sama-sama termotivasi oleh kepuasan mengerjakan pekerjaan yang baik atau oleh peluang yang tersedia untuk malayani orang lain. [5]

2. Teori Evolusioner Fungsionalis (Talcott Parsons)
Teori ini menjelaskan bahwa evolusi sosial secara umum terjadi karena sifat kecenderungan masyarakat untuk berkembang yang disebut sebagai kapasitas adaptif. Kapasitas adaptif adalah kemampuan masyarakat untuk merespon lingkungan dan mengatasi berbagai masalah yang selalu dihadapi manusia sebagai makhluk sosial. Timbulnya stratifikasi sebagai aspek penting dalam evolusi akibat meningkatnya kapasitas adaptif dalam kehidupan sosial.
Beberapa kelemahan teori Parsons :
a.       Konsep tentang kapasitas adaptif sanagt diragukan. Parsons berpendapat bahwa semakin kontemporer dan kompleks masyarakat, semakin unggul efektivitas etnosentrisme. Padahal semakin kontemporer masyarakat maka mekanisme adaptifnya berbeda dari masyarakat terdahulu.
b.      Parsons tidak melihat sisi negatif dari stratifikasi sosial yang mungkin berpengaruh. [6]

3. Teori Surplus
Teori surplus dikemukakan oleh Gerhard Lenski. Teori ini berorientasi materialistis dan berdasarkan teori konflik. Teori konflik menegaskan dominasi beberapa kelompok sosial tertentu oleh kelompok sosial yang lain, melihat tatanan didasarkan atas manipulasi dan kontrol oleh kelompok dominan, dan melihat perubahan sosial terjadi secara cepat dan tidak teratur ketika kelompok subordinat menggeser kelompok dominan. Teori konflik yang bertentangan dengan teori Parsons, berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang mementingkan diri sendiri dan selalu berusaha untuk mensejahterakan dirinya.
Kesamaan dasar dapat terjadi dalam masyarakat dimana kerjasama menjadi hal yang esensial dalam mencapai kepentingan individu. Jika terjadi surplus, perebutan tidak dapat dihindari dan surplus akhirnya dikuasai oleh individu atau kelompok yang paling berkuasa. Besarnya surplus ditentukan oleh kemampuan teknologi.

4. Teori Kelangkaan
Teori kelangkaan yang merupakan devasi pemikiran Michael Hammer, Morton Fried dan Rac Lesser. Teori kelangkaan beranggapan bahwa penyebab timbulnya stratifikasi adalah tekanan jumlah penduduk. Tekanan penduduk yang semakin besar menyebabkan semakin kuatnya egoisme dalam pemilikan tanah, dan hubungan produksi (dalam pemikiran Marxisme) telah menghilangkan apa yang disebut sebagai pemilikan bersama. Perbedaan akses terhadap sumber daya muncul dan suatu kelompok memaksa kelompok lainnya bekerja keras untuk menghasilkan surplus ekonomi melebihi apa yang dibutuhkan. Dengan meningkatnya tekanan penduduk dan teknologi, perbedaan akses terhadap sumber daya makin nyata dan stratifikasi semakin intensif dengan dorongan politik yang semakin besar. [7]
                                                                                                


  1. Pengaruh Startifikasi Sosial dalam Masyarakat
Stratifikasi social adalah pembedaan masyarakat kedalam lapisan-lapisan social berdasatrkan demensi vertical akan memiliki pengaruh terhadap kehidupan bersama dalam masyarakat. Ikuti urain tentang dampak stratifikasi social dalam kehidupan masyarakat berikut ini.
1.      Eklusivitas
Stratifikasi social yang membentuk lapisan-lapisan social juga merupakan sub-culture, telah menjadikan mereka dalam lapisan-lapisan gtertentu menunjukan eklusivitasnya masing-masing. Eklusivitas dapat berupa gaya hidup, perilaku dan juga kebiasaan mereka yang sering berbeda antara satu lapisan dengan lapisan yang lain.
Gaya hidup dari lapisan atas akan berbeda dengan gaya hidup lapisan menengah dan bawah. Demikian juga halnya dengan perilaku masing-masing anggotanya dapat dibedakan; sehingga kita mengetahui dari kalangan kelas social mana seseorang berasal.
Eklusivitas yang ada sering membatasi pergaulan diantara kelas social tertentu, mereka enggan bergaul dengan kelas social dibawahnya atau membatasi diri hanya bergaul dengan kelas yang sanma dengan kelas mereka. [8]
2.      Etnosentrisme
Etnosentrisme dipahami sebagai mengagungkan kelompok sendiri dapat terjadi dalam stratifikasi social yang ada dalam masyarakat. Mereka yang berada dalam stratifikasi social atas akan menganggap dirinya adalah kelompok yang paling baik dan menganggap rendah dan kurang bermartabat kepada mereka yang berada pada stratifikasi social rendah. [9]
3.       Konflik Sosial
Pola perilaku kelas social atas dianggap lebih berbudaya dibandingkan dengan kelas social di bawahnya. Sebaliknya kelas social bawah akan memandang mereka sebagai orang boros dan konsumtif dan menganggap apa yang mereka lakukan kurang manusiawi dan tidak memiliki kesadaran dan solidaritas terhadap mereka yang menderita. Pemujaan terhadap kelas sosialnya masing-masing adalah wujud dari etnosentrisme.
Perbedaan yang ada diantara kelas social dapt menyebabkan terjadinya kecemburuan social maupun iri hati. Jika kesenjangan karena perbedaan tersebut tajam tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik social antara kelas social satu dengan kelas social yang lain.
Misalnya demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah atau peningkatan kesejahteraan dari perusahaan dimana mereka bekerja adalah salah satu konflik yang terjadi karena stratifikasi social yang ada dalam masyarakat. [10]


[1] Soerjono soekanto, berberapa teori sosiologi tentang struktur masyarakat, (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1993), hlm. 248.
[2]  Ibid., hlm. 248-249
[3]  Ibid., hlm. 250.
[4]  Ibid., hlm. 252-256.
[5]  Suryanirian, blogspot.com/2010/10/stratifikasi-sosial.html.
[6]  Ibid.,
[7]  Ibid.,
[8]  Suryanirian, blogspot.com/2010/10/stratifikasi-sosial.html.
[9]  Ibid.,
[10]  Soerjono Soekanto, SOSIOLOGI suatu pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm 314-315.

Teori Sosiologi Klasik


Teori Sosiologi Klasik

Teori sederhana biasanya selalu terungkap di dalam kehidupan kita sehari-hari. Sering kali tanpa sadar kita sesungguhnya telah berteori. Teori muncul karena adanya suatu kebutuhan manusia untuk memberikan penjelasan akan berbagai kenyataan yang ada. Teori lahir karena manusia membutuhkan pengetahuan.
Secara kategoris dapat dikatakan bahwa pengetahuan terdiri atas unsur experiental reality dan agreement reality. Experiental realitiy adalah pengetahuan yang kita dapat berdasar pengalaman kita sehari-hari, sedangkan agreement reality adalah pengetahuan yang kita dapat berdasar kesepakatan bersama.
Jika dalam kehidupan sehari-hari kita bisa mendapatkan pengetahuan dari salah satu unsur yang ada, maka dalam ilmu pengetahuan, pengetahuan didapat dengan mengombinasikan kedua unsur tersebut. Dalam ilmu pengetahuan, pengembangan pengetahuan dilakukan bukan hanya dari pengamatan langsung pada kenyataan, namun melalui proses pengujian dalam pikiran manusia sendiri. Dalam konteks sosiologi, teori diklasifikasi ke dalam tiga paradigma utama, yaitu order paradigm, pluralist paradigm, serta conflict paradigm. Perbedaan dari masing-masing paradigma dilandaskan pada asumsi dasar yang menyertainya dalam hal hakikat dasar manusia, masyarakat, serta ilmu pengetahuan.
Konstruksi Teori
Teori terbentuk berdasar beberapa komponen, yaitu konsep, variabel, serta indikator. Teori sendiri diartikan sebagai sejumlah pernyataan yang terangkai secara sistematis, dan dapat digunakan untuk memberikan penjelasan tentang suatu fenomena atau gejala. Komponen yang ada dengan demikian terangkai di dalam pernyataan. Konsep diartikan sebagai lambang, simbol atau kata yang berarti tentang sesuatu.
Konsep ada yang memiliki unidimensional (dimensi tunggal) dan ada yang multidimensional. Dengan beragamnya konsep, maka perlu adanya definisi dari konsep, yang bisa berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam definisi konsep tersebut terkandung dimensi konsep dan juga kelompok konsep (concept cluster). Variabel adalah konsep yang telah memiliki variasi nilai. Variasi nilai dari konsep tersebut kita sebut sebagai kategori. Variabel adalah konsep yang sudah terukur dan bersifat lebih empirik dibanding konsep. Ukuran-ukuran yang bisa digunakan untuk mengukur konsep adalah indikator.
Teori juga dibedakan ke dalam beberapa klasifikasi, yaitu berdasar arah penalarannya kita bedakan antara teori yang menggunakan pendekatan induktif dan teori yang menggunakan pendekatan deduktif, berdasar tingkat kenyataan sosial teori dibedakan menjadi teori mikro, meso, dan makro. Berdasar bentuk penjelasannya, teori dibedakan menjadi teori yang menggunakan penjelasan kausal, teori yang menggunakan penjelasan struktural, serta teori yang menggunakan penjelasan interpretif.


SEJARAH TEORI SOSIOLOGI KLASIK
Kekuatan Sosial dalam Perkembangan Teori Sosiologi
Beberapa kekuatan sosial yang melatarbelakangi munculnya teori-teori sosial dan sekaligus menjadi fokus perhatian para ahli sosial, di antaranya adalah revolusi politik, revolusi industri, perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme, feminisme, urbanisasi, perubahan agama, serta pertumbuhan ilmu pengetahuan. Perkembangan teori-teori sosial tersebut tidak hanya terjadi di satu negara, tetapi di beberapa negara terutama yang terjadi di kawasan Eropa Barat, di antaranya adalah di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.
Perubahan berupa revolusi sosial politik serta kebangkitan kapitalisme membawa dampak-dampak yang tidak saja bersifat positif tetapi juga memunculkan masalah-masalah sosial baru. Hal ini telah memacu para ahli sosial dan filsafat untuk menemukan kaidah-kaidah baru yang terkait dengan perkembangan teori sosial dan sekaligus sebagai suatu upaya dalam memahami dan menanggulangi masalah-masalah sosial tersebut, serta mengarahkan bagaimana bentuk masyarakat yang diharapkan di kemudian hari. Seperti perkembangan kehidupan politik (revolusi Prancis sejak tahun 1789 menjadi cikal bakal perkembangan teori sosiologi di Prancis. Demikian pula, pertumbuhan kapitalisme di Inggris telah memacu munculnya pemikiran-pemikiran baru di bidang sosial.
Kekuatan Intelektual Lahirnya Teori Sosiologi
Beberapa kekuatan sosial yang melatarbelakangi munculnya teori-teori sosial dan sekaligus menjadi fokus perhatian para ahli sosial, di antaranya adalah revolusi politik, revolusi industri, perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme, feminisme, urbanisasi, perubahan agama, serta pertumbuhan ilmu pengetahuan. Perkembangan teori-teori sosial tersebut tidak hanya terjadi di satu negara, tetapi di beberapa negara terutama yang terjadi di kawasan Eropa Barat, di antaranya adalah di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.
Perubahan berupa revolusi sosial politik serta kebangkitan kapitalisme membawa dampak-dampak yang tidak saja bersifat positif tetapi juga memunculkan masalah-masalah sosial baru. Hal ini telah memacu para ahli sosial dan filsafat untuk menemukan kaidah-kaidah baru yang terkait dengan perkembangan teori sosial dan sekaligus sebagai suatu upaya dalam memahami dan menanggulangi masalah-masalah sosial tersebut, serta mengarahkan bagaimana bentuk masyarakat yang diharapkan di kemudian hari. Seperti perkembangan kehidupan politik (revolusi Prancis sejak tahun 1789 menjadi cikal bakal perkembangan teori sosiologi di Prancis. Demikian pula, pertumbuhan kapitalisme di Inggris telah memacu munculnya pemikiran-pemikiran baru di bidang sosial.


PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI ABAD KE-20
Teori Sosiologi Menjelang Abad Ke-20
Perkembangan teori sosiologi pada abad ke-20 terjadi cukup pesat di Amerika. Hal ini terdorong oleh sejumlah faktor, di antaranya adalah perubahan sosial masyarakat yang membutuhkan pemecahan berdasarkan bidang ilmu tertentu secara cepat, dan didorong oleh perkembangan ilmu terutama di bidang kemasyarakatan yang mampu mengkaji masyarakat secara ilmiah.
Perkembangan teori sosiologi di Amerika diawali oleh perkembangan keilmuan di dua universitas, yaitu di Chicago University dan Harvard University. Namun demikian, dalam perjalanan waktu, sejalan dengan persebaran para tokoh sosiologi ke beberapa universitas di seluruh negeri, muncul pula universitas-universitas lain yang dianggap mampu melahirkan beberapa teori penting dalam bidang sosiologi, seperti Columbia University dan University of Michigan.
Di Chicago University dikenal adanya sekelompok pemikir sosial yang disebut kelompok Chicago School. Tokoh-tokoh sosiologi yang penting dari tempat ini adalah W.I. Thomas, Robert Park, Charles Horton Cooley, George Herbert Mead, dan Everett Hughess. Di Harvard University, sosiologi berkembang melalui tokoh-tokoh seperti Talcott Parsons, Robert K. Merton, Kingsley Davis, dan George Homans. Di samping itu, perkembangan teori sosiologi di Amerika juga sedikitnya terpengaruh oleh sebuah teori yang sering disebut-sebut sebagai teori di luar mainstream sosiologi di Amerika, yaitu khasanah pemikiran dari kelompok teori Marxian.
Pengetahuan perkembangan teori di Amerika sangat penting mengingat teori-teori yang berkembang di Amerika ini kemudian menjadi pusat perhatian dunia pada tahun 1960-an dan 1970-an. Sejalan dengan teori interaksionisme simbolik, bangkit pula teori pertukaran (exchange theory) yang dikembangkan oleh George Homans berdasarkan pemikiran psychological behaviorism dari B.F. Skinner.
Teori Sosiologi Setelah Pertengahan Abad 20
Perkembangan teori struktural-fungsional terlihat dari hasil karya para penerus Parsons yang diakui telah menyumbang teori struktural fungsional, seperti karya Kingsley Davis dan Wilbert Moore. Pandangannya menerangkan bahwa stratifikasi adalah suatu struktur yang secara fungsional diperlukan bagi keberadaan masyarakat. Merton pun (1949) menjelaskan bahwa struktural fungsional harus menangani fungsi positif dan konsekuensi yang negatif (disfunctions).
Seperti teori umumnya, teori struktural fungsional pun mendapat kritikan dari beberapa ahli lainnya. Bahkan menjelang tahun 1960, dominasi struktural fungsional dianggap telah mengalami kemerosotan. Puncak dan kemerosotan dominasi struktural fungsional sejalan dengan kedudukan (dominasi) masyarakat Amerika di dalam tatanan dunia.
Sejalan dengan perkembangan teori sturktural-fungsional, terdapat teori konflik sebagai karya Peter Blau, yang dianggap menjadi cerminan dari teori struktural-fungsional. Padahal pada awalnya Blau dapat dikatakan sebagai pengembang teori marxian. Hampir mirip dengan karya Blau, dalam analisis marxian, adalah karya Mill mengenai sosiologi radikal.
Pada tahun 1950-an, Mills menulis sebuah buku yang mengkaji masalah revolusi komunis di Kuba dan pada tahun 1962 menerbitkan buku berjudul The Marxists. Keradikalan Mills dalam mengungkap fenomena sosial menjadikannya ia tersingkir dan menjadi ahli pinggiran dalam kancah sosiologi Amerika. Bukunya yang terkenal adalah The Sociological Imagination (1959). Isi buku tersebut diantaranya adalah upaya kritik Mills terhadap Talcott Parsons.
Perkembangan selanjutnya adalah teori pertukaran (exchange theory) yang dikembangkan berdasarkan pemikiran psychological behaviorism. Dalam suasana kemunduran teori interaksionisme simbolik Goffman mampu menempatkan pemikirannya sebagai awal kemunculan analisis dramaturgi yang dianggap sebagai varian dari interaksionisme simbolik.
Pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an muncul teori-teori sosiologi yang dikenal dengan perspektif sosiologi kehidupan sehari-hari (sociology of everyday life), yang dikenal pula dengan nama sosiologi fenomenologis dan etnometodologi. Sedangkan perkembangan teori sosiologi pada dekade 1980-an dan 1990-an di antaranya adalah teori integrasi mikro-makro (micro-macro integration), integrasi struktur-agensi (agency-structure integration), sintesis teoritis (theoritical syntheses), dan metateori (metatheorizing).

MENGENAL DIRI DAN PEMIKIRAN AUGUSTE COMTE (1798-1857)
Perjalanan Hidup dan Karya Comte serta Pandangannya tentang Ilmu Pemgetahuan. Auguste Comte adalah seseorang yang untuk pertama kali memunculkan istilah “sosiologi” untuk memberi nama pada satu kajian yang memfokuskan diri pada kehidupan sosial atau kemasyarakatan. Saat ini sosiologi menjadi suatu ilmu yang diakui untuk memahami masyarakat dan telah berkembang pesat sejalan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal itu, Auguste Comte diakui sebagai “Bapak” dari sosiologi.
Auguste Comte pada dasarnya bukanlah orang akademisi yang hidup di dalam kampus. Perjalanannya di dalam menimba ilmu tersendat-sendat dan putus di tengah jalan. Berkat perkenalannya dengan Saint-Simon, sebagai sekretarisnya, pengetahuan Comte semakin terbuka, bahkan mampu mengkritisi pandangan-pandangan dari Saint-Simon. Pada dasarnya Auguste Comte adalah orang pintar, kritis, dan mampu hidup sederhana tetapi kehidupan sosial ekonominya dianggap kurang berhasil.
Pemikirannya yang dikenang orang secara luas adalah filsafat positivisme, serta memberikan gambaran mengenai metode ilmiah yang menekankan pada pentingnya pengamatan, eksperimen, perbandingan, dan analisis sejarah.
Pemikiran Auguste Comte Tentang Individu, Masyarakat, dan Perubahan Sosial
Perkembangan masyarakat pada abad ke-19 menurut Comte dapat mencapai tahapan yang positif (positive stage). Tahapan ini diwarnai oleh cara penggunaan pengetahuan empiris untuk memahami dunia sosial sekaligus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Sosiologi adalah menyelidiki hukum-hukum tindakan dan reaksi terhadap bagian-bagian yang berbeda dalam sistem sosial, yang selalu bergerak berubah secara bertahap. Hal ini merupakan hubungan yang saling menguntungkan (mutual relations) di antara unsur-unsur dalam suatu sistem sosial secara keseluruhan.
Penjelasan mengenai gejala sosial, menurut Comte dapat diperoleh melalui 1) kajian terhadap struktur masyarakat berdasarnya konsep statika sosial, dan 2) kajian perubahan atau perkembangan masyarakat berdasarkan konsep Comte yang disebut dinamika sosial (social dynamics). Comte mendefinisikan statika sosial sebagai kajian terhadap kaidah-kaidah tindakan (action) dan tanggapan terhadap bagian-bagaian yang berbeda dalam suatu sistem sosial (Ritzer, 1996). Sedangkan dinamika sosial adalah studi yang berupaya mencari kaidah-kaidah tentang gejala-gejala sosial di dalam rentang waktu yang berbeda. Berbeda dengan itu, statika sosial hanya mencari kaidah- kaidah gejala sosial yang bersamaan waktu terjadinya.


HERBERT SPENCER
Riwayat HIdup dan Awal Karir Herbert Spencer
Herbert Spencer adalah seorang filsuf, sosiolog pengikut aliran sosiologi organis, dan ilmuwan pada era Victorian yang juga mempunyai kemampuan di bidang mesin. Pemuda Spencer pada usia 17 tahun diterima kerja di bagian mesin untuk perusahaan kereta api London dan Birmingham. Kariernya bagus sehingga dipercaya sebagai wakil kepala bagian mesin. Setelah beberapa waktu lamanya bekerja di perusahaan kereta api, kemudian pindah pekerjaan menjadi redaktur majalah The Economist yang saat itu terkenal.
Spencer mempunyai sebuah kemampuan yang luar biasa dalam hal mekanik. Hal ini akan ikut serta mewarnai seluruh imajinasinya tentang biologi dan sosial di masa yang akan datang. Spencer adalah seorang pembaca yang luar biasa, kolektor yang tekun mengumpulkan fakta-fakta mengenai masyarakat di manapun di dunia ini, dan penulis yang produktif. Ia mengembangkan sistem filsafat dengan aspek-aspek utiliter dan evolusioner. Spencer membangun utiliterisme jeremy Bentham. Spencerlah yang menggunakan istilah Survival of the fittest pertama kali dalam karyanya Social Static (1850) yang kemudian dipopulerkan oleh Charles Darwin. Spencer selain menerbitkan buku lepas, juga menerbitkan buku dan artikel berseri. Beberapa diantaranya adalah Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-1896) yang meliputi biologi, psikologi, dan etika.
Spencer mempopulerkan konsep ‘yang kuatlah yang akan menang’ (Survival of the fittest) terhadap masyarakat. Pandangan Spencer ini kemudian dikenal sebagai ‘Darwinisme sosial’ dan banyak dianut oleh golongan kaya (Paul B Horton dan Chester L. Hunt, Jilid 2 1989: 208).
Terbitnya buku Principles of Sociology karya Herbert Spencer yang berisi pengembangan suatu sistematika penelitian masyarakat telah menjadikan sosiologi menjadi populer di masyarakat dan berkembang pesat. Sosiologi berkembang pesat pada abad 20, terutama di Perancis, Jerman, dan Amerika
Pandangan Herbert Spencer tentang Sosiologi
Spencer adalah orang yang pertama kali menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkret. Tindakan ini kemudian diikuti oleh para sosiolog sesudahnya, baik secara sadar atau tidak sadar.
Spencer memperkenalkan pendekatan baru sosiologi yaitu merekonsiliasi antara ilmu pengetahuan dengan agama dalam bukunya First Prinsciple. Dalam bukunya ini Spencer membedakan fenomena tersebut dalam 2 fenomena yaitu fenomena yang dapat diketahui dan fenomena yang tidak dapat diketahui. Di sini Spencer kemudian mencoba menjembatani antara ilham dengan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya Spencer memulai dengan 3 garis besar teorinya yang disebut dengan tiga kebenaran universal, yaitu adanya materi yang tidak dapat dirusak, adanya kesinambungan gerak, dan adanya tenaga dan kekuatan yang terus menerus.
Di samping tiga kebenaran universal tersebut di atas, menurut Spencer ada 4 dalil yang berasal dari kebenaran universal, yaitu kesatuan hukum dan kesinambungan, transformasi, bergerak sepanjang garis, dan ada sesuatu irama dari gerakan.
Spencer lebih lanjut mengatakan bahwa harus ada hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor-faktor yang berbeda di dalam proses evolusioner. Sedang sistem evolusi umum yang pokok menurut Spencer seperti yang dikutip Siahaan, ada 4 yaitu ketidakstabilan yang homogen, berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam ratio geometris, kecenderungan terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk pengelompokan atau segregasi, dan adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.
Spencer memandang sosiologi sebagai suatu studi evolusi di dalam bentuknya yang paling kompleks. Di dalam karyanya, Prinsip-prinsip Sosiologi, Spencer membagi pandangan sosiologinya menjadi 3 bagian yaitu faktor-faktor ekstrinsik asli, faktor intrinsik asli, faktor asal muasal seperti modifikasi masyarakat, bahasa, pengetahuan, kebiasaan, hukum dan lembaga-lembaga.
Giddings pada tahun 1890 meringkas ajaran sistem sosial yang telah disepakati oleh Spencer sendiri adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat adalah organisme atau superorganis yang hidup berpencar-pencar.
2. Antara masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu equilibrasi tenaga agar kekuatannya seimbang.
3. Konflik menjadi suatu kegiatan masyarakat yang sudah lazim.
4. Rasa takut mati dalam perjuangan menjadi pangkal kontrol terhadap agama.
5. Kebiasaan konflik kemudian diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dan agama menjadi militerisme.
6. Militerisme menggabungkan kelompok-kelompok sosial kecil menjadi kelompok sosial lebih besar dan kelompok-kelompok tersebut memerlukan integrasi sosial.
7. Kebiasaan berdamai dan rasa kegotongroyongan membentuk sifat, tingkah laku serta organisasi sosial yang suka hidup tenteram dan penuh rasa setia kawan.
Teori Herbert Spencer tenang Evolusi Masyarakat, Etika, dan Politik
Evolusi secara umum adalah serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan, kumulatif, terjadi dengan sendirinya, dan memerlukan waktu lama. Sedang evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Perspektif evolusioner adalah perspektif teoretis paling awal dalam sosiologi. Perspektif evolusioner pada umumnya berdasarkan pada karya August Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903).
Menurut Spencer, pribadi mempunyai kedudukan yang dominan terhadap masyarakat. Secara generik perubahan alamiah di dalam diri manusia mempengaruhi struktur masyarakat sekitarnya. Kumpulan pribadi dalam kelompok/masyarakat merupakan faktor penentu bagi terjadinya proses kemasyarakatan yang pada hakikatnya merupakan struktur sosial dalam menentukan kualifikasi.
Spencer menempatkan individu pada derajat otonomi tertentu dan masyarakat sebagai benda material yang tunduk pada hukum umum/universal evolusi. Masyarakat mempunyai hubungan fisik dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk tertentu dalam masyarakat.
Darwinisme sosial populer setelah Charles Darwin menerbitkan buku Origin of Species (1859), 9 tahun setelah Spencer memperkenalkan teori evolusi universalnya. Ia memandang evolusi sosial sebagai serangkaian tingkatan yang harus dilalui oleh semua masyarakat yang bergerak dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih rumit dan dari tingkat homogen ke tingkat heterogen.
Semua teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang dilalui oleh semua masyarakat. Perubahan sosial ditentukan dari dalam (endogen). Evolusi terjadi pada tingkat organis, anorganis, dan superorganis.
Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk perbaikan hidupnya. Pandangan-pandangan sosiologi Spencer sangat dipengaruhi oleh pesatnya kemajuan ilmu biologi, terutama beberapa ahli biologi berikut ini dan pandangannya:
1. Pelajaran tentang sifat keturunan (descension) Lamarck (1909).
2. Teori seleksi dari Darwin (1859).
3. Teori tentang penemuan sel.
Membandingkan masyarakat dengan organisme, Spencer mengelaborasi ide besarnya secara detil pada semua masyarakat sebelum dan sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada 3 kecenderungan perkembangan masyarakat dan organisme:
1. pertumbuhan dalam ukurannya,
2. meningkatnya kompleksitas struktur, dan
3. diferensiasi fungsi.
Teori tentang evolusi dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori yaitu:
1. Unilinear theories of evolution.
2. Universal theory of evolution.
3. Multilined theories of evolution.
Spencer telah menggabungkan secara konsisten tentang etika, moral dan pekerjaan, terutama dalam bukunya The Principles of Ethics (1897/1898). Isu pokoknya adalah apakah etika dan politik menguntungkan atau merugikan sosiologi. Idenya adalah untuk memperluas metodologi individunya dan memfokuskan diri pada fernomena level makro berdasarkan pada fenomena individu sebagai unit.
Karakteristik orang dalam asosiasi negara diperoleh dari yang melekat pada tubuh, hukum, dan lingkungannya. Kedekatan individu adalah pada moral sosial dan yang lebih jauh adalah ketuhanan. Oleh karena itu orang melihat moral sebagai jalan hidup kebenaran yang hebat.


KARL MARX
Marx, Kapitalisme, dan Komunisme
Karl Marx tidak semata-mata menjadi seorang komunis dengan begitu saja. Banyak tokoh yang ikut andil dan berperan dalam menjadikan Marx seorang yang berpandangan komunisme, antara lain Hegel, Feuerbach, Smith, juga Engels. Keempatnya, terutama filsafatnya Hegel, Feuerbach dan Engels, sangat kental mewarnai pemikiran Marx. Secara spesifik memang filsafatnya Hegel, yaitu yang berkaitan dengan konsep dialektik, menjadi titik tolak pemikiran Marx meskipun Marx mengkritisi filsafat itu karena dianggapnya sangat idealistik dan memiliki konsep yang terbalik. Marx sendiri mengemukakan konsep dialektika materialistik yang mengacu kepada berbagai struktur sosial yang di dalamnya tercermin konflik sosial dan juga menggambarkan upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum buruh dalam semua proses produksi.
Marx, juga menyoroti perkembangan dan kebangkitan kapitalisme, di mana pandangan-pandangannya dianggap identik dengan gerakan pembebasan kaum buruh yang miskin dan tertindas oleh mereka yang memiliki berbagai sarana produksi, yaitu kaum borjuis. Konflik atau pertentangan kelas serta upaya-upaya pembebasan inilah yang menjadi titik sentral ajarannya Marx.
Dialektika dan Struktur Masyarakat Kapitalis
Perkembangan pemikiran Marx memang tidak lepas dari pengaruh filsuf-filsuf hebat seperti Hegel, Feuerbach, Smith, juga Engels. von Magnis membagi lima tahap perkembangan pemikiran marx yang dibedakan ke dalam pemikiran ‘Marx muda’ (young Marx) dan ‘Marx tua’ (mature Marx). Gagasan dan pemikirannya terutama diawali dengan kajiannya terhadap kritik Feuerbach atas konsep agamanya Hegel yang berkaitan dengan eksistensi atau keberadaan Tuhan. Marx yang materialistik benar-benar menolak konsep Hegel yang dianggapnya terlalu idealistik dan tidak menyentuh kehidupan keseharian.
Bagi Marx, agama hanya sekedar realisasi hakikat manusia dalam imajinasinya belaka, agama hanyalah pelarian manusia dari penderitaan yang dialaminya. Agama inilah yang merupakan simbol keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Marx mengadopsi sekaligus mengkritisi dialektikanya Hegel yang dianggapnya tidak realistik itu. Marx juga menganggap filsafatnya Hegel, yang idealistik itu, memiliki konsep yang terbalik.
Atas hal ini, Marx mengemukakan konsep dialektika materialistik yang mengacu kepada berbagai konsep struktur sosial. Dimana di dalamnya tercermin konflik sosial dengan yang menggambarkan upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum buruh dalam semua proses produksi yang melibatkan dua kelas sosial yang berbeda, proletar dan borjuis. Kelas sosial inilah yang nantinya harus tidak ada karena, menurut Marx, pada suatu saat akan terwujud masyarakat komunisme; yaitu masyarakat sosialis karena runtuhnya kapitalisme, di mana di dalamnya tidak ada lagi kelas-kelas sosial dan tidak ada lagi hak kepemilikan pribadi. Inilah masyarakat yang menjadi obsesi Marx. Untuk mewujudkan hal ini, menurutnya, perlulah dilakukan analisis terhadap sistem ekonomi kapitalis.


EMILE DURKHEIM
Durkheim dan Fakta Sosial
Durkheim yang dikenal taat pada agama tetapi sekuler itu, dalam perjalanan ‘karirnya’ dipengaruhi oleh tokoh-tokoh filsafat dan sosiologi, seperti Montesquieu, Rosseau, Comte, Tocquueville, Spencer, dan Marx. Durkheim menyoroti solidaritas sosial sampai patologi sosial yang juga mengkaji tentang kesadaran bersama, morfologi sosial, solodaritas mekanik dan organik, perubahan sosial, fungsi-fungsi sosial, termasuk solidaritas dan patologi sosial. Durkheim memang berangkat dari asumsi bahwa sosiologi itu merupakan studi mengenai berbagai fakta sosial di mana di dalamnya ia menguraikan mengenai konsep sosiologinya serta berbagai karakteristik dari fakta-fakta sosial dimaksud.
Ia juga menjelaskanmengenai cara-cara mengobservasi berbagai fakta sosial dengan melakukan analisi sosiologis. Sedangkan mengenai fenomena moralitas yang menyangkut berbagai keyakinan, nilai-nilai, dan dogma-dogma (yang membentuk realitas metafisik) ia dekati juga dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan. Durkheim memang sepaham dengan pemikiran Comte bahwa ilmu pengetahuan itu haruslah dapat membuat manusia hidup nyaman. Upayanya untuk memahami berbagai fenomena bunuh diri melahirkan salah satu karya besarnya Suicide (’Bunuh Diri’)
Bunuh Diri, Agama, dan Moralitas
Bagi Durkheim, bunuh diri, yang bermacam-macam bentuk (egoistic suicide, altruistic suicide, anomic suicide, dan fatalistic suicide), itu memang merupakan penyimpangan perilaku seseorang. Bagaimana bunuh diri itu terjadi atau dilakukan oleh seseorang, menurut Durkhiem, disebabkan oleh benturan dua kutub integrasi dan regulasi di mana kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan menyebabkan orang melakukan bunuh diri.
Di sinilah, begitu Durkheim menekankan, pentingnya agama bagi seseorang untuk menghindarkan dari berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi. di mana unsur-unsur esensial dari agama itu mencakup berbagai mitos, dogma, dan ritual, yang kesemuanya merupakan fenomena religius yang dihadapi manusia. Dalam kaitan ini, ada hal-hal yang sifatnya ’suci’ (sacred) dan juga ada hal-hal yang sifatnya ‘tidak suci’ (profane) yang pemisahan antara keduanya menunjukkan kepada pemikiran-pemikiran religius yang dilakukan manusia. Harus diperhatikan bahwa di dalam agama, khususnya yang menyangkut ritual keagamaan, ada yang dinamakan ritual negatif dan juga ritual positif. Bagi Durkheim, moralitas itu merupakan suatu aturan yang merupakan patokan bagi tindakan dan perilaku manusia (juga dalam berinteraksi). Konsepnya mengenai moralitas ini merujuk pada apa yang dinamakan norms (norma-norma) dan rules (aturan-aturan) yang harus dijadikan acuan dalam berinteraksi.

MAX WEBER
Riwayat Hidup dan Sosiologi Max Weber
Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, dan ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-makalahnya dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat.
Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx tentang kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya.
Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat.
Marx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang memiliki modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki.
Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan usaha dan kerja keras dari individu itu sendiri.
Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber.