Kamis, 09 Oktober 2014

Selasa, 07 Oktober 2014

Sistem Pemerintahan Indonesia Pra dan Pasca Amandemen UUD 1945



Sistem Pemerintahan Indonesia 
Pra dan Pasca Amandemen UUD 1945

Oleh : 
Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum.
(Lektor Kepala IV/c pada Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNPAD)

ABSTRAK

Pembicaraan  “sistem  pemerintahan”  Indonesia terutama setelah  amandemen  UUD  1945
menjadi sangat berguna dan relevan bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan khususnya di
Jurusan  Ilmu  Pemerintahan  dan  praktek  berpemerintahan.  Karena  adanya  suatu
perubahan yang fundamental terhadap sistem pemerintahan Indonesia tersebut.

ABSTRACT
The study of Indonesia government system especially after UUD 1945 amandement to be
use  and  relevan  for  improve  science  specially  at  Government  Science  Major  and
governance  practice.  Becouse  of  there  is  fundamental  change  to  this  Indonesia
government system.

Key  Words  : the  parliamentary  executive  ; the  parliamentary  types  of  government  ; the
non-parliamentary or the fixed executive ; the presidensial types of government.





Pendahuluan
Penting  untuk  memberikan  pengertian  apa  artinya  sistem  pemerintahan  itu?
Karena suatu konsep  yang sudah  baku sekalipun  akan  bisa  lain pengertiannya  manakala
dilihat dari  berbagai ”kacamata”. Sebagai contoh konsep sistem pemerintahan Indonesia
dipenggal (secara analitik divergen) menjadi ”pemerintahan Indonesia” yang ditinjau dari
sudut sistem,  maka  jelas akan berbeda artinya dengan pengertian ”sistem pemerintahan”
yang  dianut  atau  dilaksanakan  di  ”Indonesia”.  Dari  pengertian  itulah  akan  tercermin
ruang lingkup sistem pemerintahan yang dimaksud dalam tulisan ini.
Menurut  Sri  Soemantri  pengertian  sistem  pemerintahan  adalah  sistem  hubungan
antara  organ  eksekutif  dan  organ  legislatif  (organ  kekuasaan  legislatif).1  Dua  puluh


1 Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN. Bandung : Tarsito, 1976,
hlm.  70.  Begitu  juga  pendapat  Bintan  R.  Saragih  bahwa  bicara  tentang  sistem  pemerintahan  selalu
mengaitkan  lembaga  eksekutif  dengan  lembaga  legislatif,  walaupun  istilah  untuk  lembaga  eksekutif  dan
legislatif  sering  tidak  sama  di  masing-masing  negara,  lihat  Bintan,  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat,
Jakarta  :  Gaya  Media  Pratama, 1992,  hlm  6.  Selanjutnya  Bagir  Manan  mengambil  pengertian


1




delapan  tahun  kemudian,  beliau  mengatakan  lagi  bahwa    sistem  pemerintahan  adalah
suatu sistem hubungan kekuasaan antar lembaga negara. Sistem pemerintahan dalam arti
sempit  ialah  sistem  hubungan  kekuasaan  antara  eksekutif  (pemerintah)  dan  legislatif.
Dalam pada  itu, sistem pemerintahan dalam arti  luas adalah sistem  hubungan kekuasaan
antara  lembaga-lembaga  negara  yang  terdapat  dalam Undang-Undang  Dasar  Negara
Republik  Indonesia  Tahun  1945.  Sistem  pemerintahan  dalam  arti  luas  inilah  yang
dimaksud dengan sistem ketatanegaraan Indonesia.2
Kemudian  Rukmana  Amanwinata3  menyatakan  bahwa  sistem  pemerintahan
adalah hubungan antara kekuasaan eksekutif di satu pihak dengan kekuasaan legislatif di
lain  pihak.  Eksekutif  dalam  konteks  di atas  adalah  eksekutif  dalam  arti  sempit  yaitu
menunjuk  kepada  kepala  cabang  kekuasaan  eksekutif  atau  the  supreme  head  of  the
executive departement. Apabila dihubungkan dengan UUD 1945, yang dimaksud dengan
kepala cabang kekuasaan eksekutif tersebut adalah Presiden  selaku kepala pemerintahan
sebagaimana  ditegaskan  di  dalam  Pasal  4  ayat  (1)  UUD  1945  yang  menyatakan  bahwa
Presiden Indonesia memegang Kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Senada  dengan  pendapat  Rukmana  Amanwinata  di  atas,  Bagir  Manan4
mengungkapkan pula bahwa  sistem pemerintahan adalah suatu pengertian (begrip)  yang
berkaitan  dengan  tata  cara  pertanggungjawaban  penyelenggara  pemerintahan  (eksekutif)
dalam  suatu  tatanan  negara  demokrasi.  Dalam  negara  demokrasi  terdapat  prinsip geen
macht      zonder       veraantwoordelijkheid      (tidak       ada      kekuasaan      tanpa       su
pertanggungjawaban).
Dengan  demikian  dalam  tulisan  ini  penulis  hanya  akan  membicarakan  konsep
”sistem  pemerintahan”  yang  sudah  baku  dan  mungkin  ”communis  opinio  doctorum
(diterima  sebagai  suatu  kesepakatan  umum)  diantara  pakar  ketatanegaran  bahwa  bicara



sistem pemerintahan ini sebagai sesuatu yang lazim dipergunakan dalam Hukum Tata Negara yaitu hal-hal
yang  menyangkut  corak  hubungan  antara  badan  legislatif  dengan  badan  eksekutif,  lihat  Bagir  Manan,
Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung : Mandar Maju, 1995, hlm. 75.
2
Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen 1945,
dalam  buku  Soewoto  Mulyosudarmo,  Pembaharuan  Ketatanegaraan  Melalui  Perubahan  Konstitusi,
Malang : Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur kerja sama dengan In-Trans, Februari 2004, hlm.
293.
3 Rukmana Amanwinata, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jurnal Sosial Politik DIALEKTIKA
Vol. 2 No. 2-2001, hlm. 20.
4  Bagir  Manan, 2001, Menyongsong  Fajar  Otonomi  Daerah.  Yogyakarta :  PSH  FH  UII hal. 250.


2




tentang sistem pemerintahan itu adalah bicara tentang corak hubungan eksekutif-legislatif
(  Sri  Soemantri  menyebutnya  pengertian  sistem  pemerintahan  dalam  arti  sempit).  Sebab
apabila  bicara  tentang  hubungan  lembaga-lembaga  Negara  yang  lain  selain  eksekutif-
legislatif namanya sudah sistem ketatanegaraan atau sistem pemerintahan dalam arti luas.
Demikian pula dalam tulisan ini hanya membahas sistem pemerintahan berdasarkan pada
UUD  1945  sebelum  dan  sesudah  diamandemen.  Bagaimana  sistem  pemerintahan  pada
saat  di  bawah  Konstitusi  RIS  dan  UUDS  1950  tentu  saja  penulis  tidak  akan
membahasnya.5


Bentuk-bentuk Sistem Pemerintahan
Dalam  teori  Hukum  Tata  Negara  dikenal  dua  bentuk  sistem  pemerintahan  yaitu
sistem  pemerintahan  parlementer  dan  sistem  pemerintahan  presidensiil  (presidensial).
Tetapi  dalam  praktek  ada  juga dikenal  sistem  pemerintahan  campuran  yang  disebut
sistem  parlementer  tidak  murni  atau  presidensiil  tidak  murni.6  Bahkan  untuk  kasus
Indonesia pra amandemen UUD 1945, Padmo Wahyono menamakannya dengan “sistem
MPR”  yang  mempunyai  kelainan  baik  dari  sistem  presidensiil,  parlementer  maupun
sistem parlementer/presidensiil tidak murni.7
Suatu  sistem  pemerintahan  disebut  sistem  pemerintahan  parlementer8apabila
eksekutif  (pemegang  kekuasaan  eksekutif)  secara  langsung  bertanggung  jawab  kepada
badan  legislatif  (pemegang  kekuasaan  legislatif).  Atau  dengan  kata-kata  Strong:  is  it
immediately  responsible  to  parlement,  artinya  kelangsungan  kekuasaan  eksekutif
tergantung  pada  kepercayaan  dan  dukungan  mayoritas  suara  di badan  legislatif.  Setiap
saat  eksekutif  kehilangan  dukungan  mayoritas  dari  para  anggota  badan  legislatif
(misalnya,  karena  adanya  mosi  tidak  percaya),  eksekutif  akan  jatuh  dengan  cara
mengembalikan mandat kepada Kepala Negara (Raja/Ratu/Kaisar atau Presiden).
Dalam  hubungan  ini  perlu  sedikit  penjelasan,  bahwa  keadaan  di  atas  tidak  selalu
demikian.  Dalam  keadaan  tertentu,  pemegang  kekuasaan  eksekutif  dapat  mengadakan


5  Dalam  tulisan  Rukmana  Amanwinata,  Sistem  ...Op.  Cit.,  dari  halaman  23-24  dibahas  cukup
dalam sistem pemerintahan di bawah Konstitusi RIS dan UUDS 1950 tersebut.
6  Bintan R. Saragih, Majelis Permusyawaratan … Op. Cit., hal. 7.
7   Ibid., hal. 26.
8  C.F.  Strong  menyebutnya  the  parliamentary  executive  dan  Alan  R.  Ball  menyebutnya  the
parliamentary types of government, lihat Rukmana ... Op. Cit., hlm. 20.


3




perlawanan  terhadap  kekuasaan  legislatif.  Jalan  yang  ditempuh  yaitu  dengan  cara
meminta  Kepala  Negara  membubarkan  badan  legislatif  dan  segera  menyelenggarakan
pemilihan  umum  baru.  Tetapi  apabila  kemudian  dalam  badan  legislatif    yang  baru
ternyata  eksekutif  dikalahkan  lagi,  badan  eksekutif  diwajibkan  mengembalikan
mandatnya.
Menurut  C.F.  Strong,  dalam  sistem  the  parliamentary  executive  terdapat  lima
karakteristik, yaitu :9
“...the political conception of the Cabinet as a body necessarily consisting :
1.   of members of the Legislature ;
2.   of  the  same  political  views,  and  chosen  from  the  party  possessing  a  majority
in the House of Commons ;
3.   prosecuting a concerted policy ; 
4.   under a common responsibility to be signified by collective resignation in the
event of parliamentary censure, and
5.   acknowledging a common subordination to one chief minister. 
Secara  sederhana,  sistem  pemerintahan  parlementer  murni  dapat  digambarkan
sebagai berikut 10:


membentuk


Eksekutif

bertanggung jawab




Rakyat
Pemilih



Pemilu

Legislatif
















111.






Gambar 1 :  Sistem Pemerintahan Parlementer Murni





9  C.F. Strong, Modern Political Constitutions, Perbanyakan Fakultas Hukum Unpad, 1973, hlm.

10  Bintan, Majelis ...Op. Cit., hlm. 8.


4






Sistem  presidensiil  adalah  sistem  pemerintahan  di  mana  eksekutif  tidak
bertanggung  jawab  pada  badan  legislatif.  Pemegang  kekuasaan  eksekutif  tidak  dapat
dijatuhkan  oleh  atau  melalui  badan  legislatif  meskipun  kebijaksanaan  yang  dijalankan
tidak  disetujui  oleh  pemegang  kekuasaan  legislatif.  Terdapat  beberapa  karakteristik
system  pemerintahan  presidensiil  atau  the  non-parliamentary  or  the  fixed  executive
menurut  C.F.  Strong  dan  Alan  R.  Ball  menyebutnya  sebagai  the  presidensial  types  of
government, yaitu 11:
1.   The president is both nominal and political head of state ;
2.   The  presiden  is  elected  not  by  the legislature,  but  directly  by  the  total
electorate  (the  Electoral  College  in  the  United  States  is  a  formality,  and  is
likely    to  disappear  in  the  near  future).  The  presiden  is  not  part  of    the
legislature,  and  he  cannot  be removed  from  effice  by  the  legislature  except
through rare legal impeachment ;
3.   The  presiden  cannot  disolve  the  legislature  and  call  a  general  election.
Usually the president and the legislature are elected for fixed terms.


Gambar sistem pemerintahan presidensial murni adalah sebagai berikut12 :



Eksekutif/Presiden

Pemilu








Rakyat Pemilih

Legislatif/Parlemen


Pemilu






Gambar 3.2 Sistem Pemerintahan Presidensial Murni


Seperti  dikatakan  di  atas  bahwa  dalam  praktek  ada  juga  dikenal  sistem
pemerintahan  campuran  yang  disebut  sistem  parlementer  tidak  murni  atau  presidensiil
tidak  murni atau  dikenal  dengan  nama  kuasi  parlementer  atau  kuasi  presidensiil. Dalam



11  Rukmana, Sistem ...Op. Cit., hlm. 22.
12  Bintan, Majelis ...Op. Cit., hlm. 8.


5






sistem  ini,  presiden  mempunyai  kekuasaan  untuk  membubarkan  legislatif  jika
bertentangan dengan konstitusi. Sebaliknya  bila presiden  melanggar UUD,  legislatif pun
dapat  menjatuhkan  presiden.  Bentuk  sederhana  dari  mekanisme  sistem  pemerintahan
kuasi ini adalah13 :





Presiden



dasar membubarkan




Eksekutif/
Kabinet


Pemilu


membentuk
bertanggungjawab



Rakyat Pemilih


Legislatif/
Parlemen


Pemilu





Sistem Pemerintahan Indonesia Pra Amandemen UUD 1945


Bagaimana sistem pemerintahan Republik Indonesia menurut UUD 1945 sebelum
amandemen?  Ada  tiga  macam  kelompok  pendapat  yang  lazim.  Pertama  mereka yang
berpendapat  bahwa  Republik  Indonesia  adalah  bersistem  presidensiil  (Ismail  Sunny,
Mariam  Budiarjo,  Bagir  Manan).  Kedua,  mereka  yang  berpendapat  bahwa  Republik
Indonesia  bersistem  campuran  (Usep  Ranawijaya,  Sri  Sumantri).14  Ketiga  adalah
pendapat Padmo Wahyono dengan “sistem MPRnya”.
Menurut  Bagir  Manan  Indonesia  menganut  sistem  presidensiil  murni  karena
Presiden adalah Kepala Pemerintah. Ditambah pula dengan ciri-ciri lain yaitu:15
a.   Ada kepastian masa jabatan Presiden (5 tahun).
b.   Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR; dan
c.   Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Mereka yang berpendapat bahwa Republik Indonesia bersistem campuran, karena
selain  memenuhi  syarat-syarat  ciri  presidensiil,    terdapat  pula  ciri  parlementer.  Presiden
bertanggung  jawab  kepada  MPR.  Sedangkan  MPR  berwenang  membuat  ketetapan-
ketetapan.  Jadi  MPR  adalah  badan  legislatif.  Presiden  bertanggung  jawab  kepada  MPR


13   Ibid.
14 Bagir Manan, Pertumbuhan dan … Op.Cit., hal. 78. 
15   Ibid., hal. 78-80.


6






berarti  bertanggung  jawab  kepada  badan  legislatif.  Menurut  Sri  Soemantri  ditinjau  dari
segi pertanggungan  jawab para Menteri  serta penentuan  masa  jabatan Presiden  selama 5
tahun,  maka  sistem  pemerintahan  yang  dianut  oleh  Undang-Undang  Dasar  1945  ialah
sistem  presidensiil.  Akan  tetapi  Presiden  bertanggung  jawab  kepada  Majelis
Permusyawaratan  Rakyat,  yang  berarti  adanya  segi  parlementer.  Oleh  karena  demikian
Undang-Undang  Dasar  yang  berlaku  sekarang  ini  sebenarnya  menganut  sistem
pemerintahan  yang  mengandung  segi  presidensiil  dan  parlementer.  Atas  dasar  uraian
tersebut  kita  (Sri  Soemantri) pula  mengatakan,  bahwa  sistem yang  dianut  adalah  sistem
campuran16
Menurut Bagir Manan baik John Lock maupun Montesquieu, menyatakan badan
legislatif  adalah  badan  yang  membuat  “ laws”.  Dan  istilah  “laws”,  lazim  diterjemahkan
menjadi  undang-undang.  Sehingga  dalam  buku-buku  bahasa  Indonesia  selalu  dikatakan
bahwa  badan  legislatif adalah badan pembuat undang-undang.  Kata  “laws” tidak pernah
diterjemahkan  dengan  “hukum”,  karena  “law”  dalam    arti  “hukum”  tidak  mengenal
bentuk  jamak.  Di  samping  itu  istilah  “hukum”  mencakup  hukum tidak  tertulis.  Apakah
“laws”  tidak  lebih  tepat  diterjemahkan  dengan  “hukum  perundang-undangan”.  Dengan
demikian    badan  legislatif  adalah  badan  pembuat  hukum  perundang-undangan.  Kalau
demikian  halnya,  maka  semua  yang  berwenang  membuat  hukum  perundang-undangan
adalah  badan  legislatif,  termasuk  presiden  (mengeluarkan  PP,  Kep.  Pres),  Menteri
(mengeluarkan peraturan Menteri). Hal ini tidak mungkin. Presiden bagaimanapun adalah
badan eksekutif , begitu pula menteri,  mungkin saja   mereka memiliki atau  menjalankan
fungsi legislatif, tetapi bukan badan legislatif. Maka lebih tepat “laws” itu diterjemahkan
dengan  “ undang-undang”. Dan undang-undang adalah  sekadar  salah satu jenis saja dari
berbagai hukum perundang-undangan. Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia,
Undang-undang  adalah  hukum  perundang-undangan  yang  dibuat  oleh  Presiden
(eksekutif)  dengan  persetujuan  DPR  (legislatif).  Karena  MPR bukan  pembuat  undang-
undang, maka bukan badan legislatif. Pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, bukan
pertanggungjawaban kepada badan legislatif. Sehingga unsur parlementer tidak ada sama






16 Sri Soemantri, Tentang Lembaga … Op. Cit., hal. 116. 


7




sekali.  Pertanggungjawaban  presiden  kepada  MPR,  tidak  boleh  di samakan  dengan
pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen dalam sistem parlementer.17
Menurut  Bagir  Manan  pertanggungjawaban  Presiden  kapada  MPR  merupakan
upaya     konstitusional      untuk   checking     dan    balancing.     Karena     itu     meminta
pertanggungjawaban  Presiden  dalam  masa  jabatannya  hanya  dilakukan  kalau  keadaan
sedemikan  rupa  sehingga  tidak ada  pilihan  lain.  Ini,  semacam  pranata  impeachment  di
Amerika Serikat sebagai senjata konstitusional yang bersifat preventif daripada reprensif.
Sehingga sampai saat ini belum pernah terjadi seorang Presiden Amerika berhenti karena
impeachment.  Apabila  pranata  pertanggungjawaban  Presiden  kepada  MPR  disejajarkan
dengan pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen, maka salah satu esensi UUD 1945
yaitu  “eksekutif  yang  kuat  dan  stabil”  menjadi  tidak  berarti  apa-apa  lagi.  Oleh  karena
MPR bukan badan legislatif, dan pertanggungjawaban presiden kepada MPR tidak dapat
disejajarkan  dengan  pertanggungjawaban  kabinet  kepada  parlementer  (dalam  sistem
parlementer),  maka  UUD  1945  tidak  mengandung  segi-segi  atau  unsur  parlementer.
Unsur  yang  ada  adalah  presidentiil.  Dengan  demikian  UUD  1945  itu  menganut  sistem
presidentiil murni, bukan campuran.18
Menurut  Prof.  Padmo  Wahyono,  sistem  pemerintahan  negara  Indonesia  adalah
sistem MPR karena alasan-alasan sebagai berikut 19:
1.   Penyelenggara negara berdasarkan kedaulatan rakyat adalah MPR.
2.   Penyelenggara  pemerintahan  negara  adalah  kepala  negara  selaku  mandataris
MPR.
3.   Penyelenggara  negara  pembentuk  peraturan  perundangan  ialah  mandataris
MPR bersama-sama dengan DPR sebagai bagian dari MPR.
4.   Penentu terakhir dalam hal pengawasan jalannya pemerintahan ialah MPR.










17   Loc. Cit.
18   Loc. Cit.
19  Bintan Saragih, Majelis Permusyawaratan … Op. Cit., hlm. 26.



8










Mekanisme penyelenggaraan negara menurut sistem MPR itu dapat digambarkan
sebagai berikut 20:

MPR
3
4



Presiden

DPR



1

2

5      6     7


8








Keterangan :

Menteri



Rakyat Indonesia


1.   Menteri bertanggung jawab kepada presiden
2.   Presiden  mengangkat  menteri  sebagai  pembantunya  dalam  penyelenggaraan
pemerintahan
3.   MPR mengangkat presiden
4.   Dengan  diangkatnya  presiden  oleh  MPR  maka  presiden  mempunyai
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada MPR
5.   Utusan golongan
6.   Utusan Daerah
7.   Pemilu
8.   Pengangkatan


Kemudian  apabila        meninjau  rumusan  sistem  pemerintahan            berdasarkan
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 maka akan ditemukan hal-hal sebagai berikut:21


I.

Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat

20 Ibid.
21  H.A.K. Pringgodigdo, Tiga Undang-Undang Dasar , Jakarta : PT. Pembangunan, 1989, hlm.


127-130.




9







  Negara  Indonesia  berdasarkan  atas  hukum  (Rechtsstaat),  tidak  berdasarkan
kekuasaan belaka (Machtsstaat).


II.

Sistem Konstitusional.
Pemerintahan  berdasarkan  atas  sistem  konstitusi  (Hukum  Dasar)  tidak  bersifat


Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).


III.

Kekuasaan  Negara  yang  tertinggi  berada  di  tangan  Majelis    Permusyawaratan
Rakyat.(Die gezamte Staatsgewalt liegt allein bei der Majelis). 
Kedaulatan      rakyat      dipegang      ole      suatu      Badan,      b               “Majelis


Permusyawaratan      Rakyat”,      sebagai     penjelmaan       seluruh       Rakyat       I
(Vertretungsorgan des Willens des staatsvolkes). 
Majelis  ini menetapkan Undang-undang Dasar, dan menetapkan garis-garis besar
haluan  Negara.  Majelis  ini  mengangkat  Kepala  Negara  (Presiden)  dan  Wakil Kepala
Negara (Wakil-Presiden).
Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden
harus  menjalankan  haluan  Negara  menurut  garis-garis  besar  yang  telah  ditetapkan  oleh
Majelis.  Presiden  yang  diangkat  oleh  Majelis,  tunduk  dan  bertanggung-jawab  kepada
Majelis.  Ia  ialah  “Mandataris”  dari  Majelis  ia  berwajib  menjalankan  putusan-putusan
Majelis. Presiden tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.
IV.       Presiden ialah Penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi dibawah Majelis.
Dibawah  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat,  Presiden  ialah  penyelenggara
pemerintahan  Negara  yang  tertinggi.  Dalam          menjalankan  pemerintahan  Negara,
Kekuasaan  dan  tanggung-jawab  adalah  di  tangan  Presiden  (concentration  of  power  and
responsibility upon the President).


V.

Presiden tidak bertanggung-jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Disampingnya  Presiden  adalah  Dewan  Perwakilan  Rakyat,  Presiden  harus


mendapat  persetujuan  Dewan  Perwakilan  Rakyat  untuk  membentuk  Undang-undang
(Gezetsgebung)  dan  untuk  menetapkan  Anggaran  Pendapatan  dan  Belanja  Negara
(“Staatsbegrooting”).
Oleh karena itu Presiden harus bekerja bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi
Presiden  tidak  bertanggung-jawab  kepada  Dewan,  artinya  kedudukan  Presiden  tidak
tergantung daripada Dewan.



10







VI.       Menteri  Negara  ialah  pembantu  Presiden.  Menteri  Negara  tidak  bertanggung
jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden  mengangkat  dan  memberhentikan  Menteri-menteri  Negara.  Menteri-
menteri  itu  tidak  bertanggung-jawab  kepada  Dewan  Perwakilan  Rakyat,  kedudukannya
tidak tergantung daripada Dewan, akan tetapi tergantung daripada Presiden. Mereka ialah
pembantu Presiden.
VII.     Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Meskipun  kepala  negara  tidak  bertanggung-jawab  kepada  Dewan  Perwakilan
Rakyat, ia bukan “diktator”, artinya kekuasaan tidak tak terbatas.
Diatas     telah     ditegaskan     bahwa  ia     bertanggung-jawab    kepada     Majelis
Permusyawaran  Rakyat  kecuali  itu  ia  harus  memperhatikan  sungguh-sungguh  suara
Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan  Dewan  Perwakilan  Rakyat  adalah  kuat.  Dewan  ini tidak  bisa
dibubarkan  oleh  Presiden  (berlainan  dengan  sistem  parlementer).  Kecuali  itu  anggota-
anggota  Dewan  Perwakilan  Rakyat  semuanya  merangkap  menjadi  anggota  Majelis
Permusyawaratan  Rakyat.  Oleh  karena  itu  Dewan  Perwakilan  rakyat  dapat  senantiasa
mengawasi  tindakan-tindakan  Presiden  dan  jika  Dewan  menganggap  bahwa  Presiden
sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau
oleh  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat,  maka  Majelis  itu  dapat  diundang  untuk
persidangan istimewa supaya bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden.
Menteri-menteri  Negara  bukan  pegawai  tinggi  biasa.  Meskipun  kedudukan
Menteri  negara tergantung dari pada Presiden, akan tetapi  mereka  bukan pegawai tinggi
biasa oleh karena Menteri-menterilah  yang terutama  menjalankan kekuasaan pemerintah
(pouvoir executief) dalam praktek.
Sebagai  pemimpin  Departemen,  Menteri  mengetahui  seluk  beluk  hal-hal  yang
mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu Menteri mempunyai pengaruh
besar     terhadap     Presiden     dalam  menentukan     politik     Negara     yang  mengenai
Departemennya.  Memang  yang  dimaksud  ialah,    para  Menteri  itu  Pemimpin-pemimpin
Negara.







11




Untuk menetapkan politik pemerintah dan koordinasi dalam pemerintahan Negara
para  Menteri  bekerja  bersama-sama,  satu  sama  lain  seerat-sertnya  di  bawah  pimpinan
Presiden.
Menurut Padmo Wahyono yang dikutip oleh Bintan R. Saragih22, ketujuh unsur di
atas  (dalam  sistem  pemerintahan  menurut  UUD  1945)  membentuk  satu  sistem
pemerintahan negara atau bentuk pemerintah (Ilmu Negara). Sistem pemerintahan negara
yang lazim dikenal di dalam Hukum Tata Negara ialah sistem presiden (siil) dan sistem-
parlemen  (ter).  Namun  dengan  adanya  perbedaan  prinsipil  dengan  kedua  klise  ilmiah
tersebut,  maka  menurut  Padmo  Wahyono  berdasarkan  teori  bernegara  bangsa  Indonesia
dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan negara Indonesia ialah sistem-MPR. Sistem-
MPR, berporoskan MPR sebagai negara tertinggi, di mana apabila dikaji dengan analisis-
analisis klasik maka:
a.   Penyelenggara negara berdasarkan kedaulatan ialah MPR;
b.   Penyelenggara negara yang Kepala Negara ialah Mandataris MPR;
c.   Penyelenggara  negara  pembentuk  peraturan  perundangan  ialah  Mandataris  MPR,
bersama-sama dengan DPR sebagai bagian dari MPR;
d.   Penentu terakhir dalam hal pengawasan jalannya pemerintahan ialah MPR;
Dalam  menentukan  sistem  pemerintahan  apa  yang  dianut  UUD  1945?  penulis
mengikuti pendapat Bagir Manan23, bahwa sistem pemerintahan  yang dikehendaki  UUD
1945  adalah  sistem  presidensiil.  Sehingga  pertanggungjawaban  eksekutif  (Presiden)
kepada  MPR  bukan  dalam  rangka pertanggungjawaban  kepada  parlemen  seperti  dalam
sistem  parlementer,  sehingga  setiap  kebijakan  Presiden  bisa  dinilai  dan  Presiden  bisa
dijatuhkan  kapan  saja  karena  ada  persepsi  yang  berbeda  antara  MPR  dengan  Presiden.
Presiden  hanya  bisa dijatuhkan  jika  “sungguh”24 telah  melanggar UUD 1945 dan haluan
negara lainnya.
Kemudian, agar semua orang memahaminya dengan jelas (tidak debatable) bahwa
sistem  pemerintahan  yang  dianut  UUD  1945  itu  sistem  presidensial  murni  maka

22 Bintan R. Saragih, Majelis …Op. Cit., hal. 26-27.
23 Lihat Bagir Manan, Pertumbuhan dan … Op.Cit., hal. 78. Lihat juga Bagir Manan, Lembaga…,
Op.Cit., hal. 107-113.
24 Menurut penulis dari kata “sungguh” ini mengandung pesan yang dalam dari founding fathers
and mothers kita bahwa dugaan pelanggaran itu harus benar-benar dibuktikan dulu melalui prosedur yang
jelas  dan  tegas  sehingga  tercipta  keadilan  bagi  semua  pihak.  Jadi  Presiden  hanya  bisa  jatuh  akibat
melanggar hukum bukan berbeda politik dengan anggota-anggota MPR.


12




amandemen UUD 1945 harus menyentuh persoalan ini. Penulis memahami pemikiran Sri
Bintang Pamungkas yang menyebutkan bahwa keruwetan sistem politik penyelenggaraan
negara  ini  akan  tetap  berlangsung,  tidak  pernah  selesai,  berulang  kembali,  dan  setiap
pergantian  Presiden  akan  selalu  diwarnai  dengan  berbagai  krisis  yang  “tidak
konstitusional”,  karena  apa  yang  dimaksud  dengan  “konstitusional”  (baca  :  presidensiil
atau  parlementer)  dalam  UUD  1945  memang  “tidak  jelas”.25  Penulis  tambahkan  “tidak
jelas” itu bagi kebanyakan orang. 


Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945
Pasca amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan NKRI  menjadi  benar-benar
presidensiil.  Hal  ini  dapat  teridentifikasi  dengan  mudah  setelah  Presiden  dan  Wakil
presiden dipilih  langsung oleh Rakyat dalam  suatu Pemilihan Umum. Seperti  yang telah
digambarkan  di  atas  bahwa  ciri-ciri  sistem  pemerintahan  presidensiil  adalah  baik
eksekutif  maupun  legislatif  dipilih  langsung  oleh  rakyat  dan  antara  keduanya  tidak  ada
hubungan pertanggungjawaban.
Ciri  utama  yang  lain  dari  sistem  pemerintahan  Presidensiil  adalah  bahwa
pemegang kekuasaan eksekutif tunggal (presiden) tidak bertanggung jawab kepada badan
perwakilan  rakyat,  melainkan  langsung  kepada  rakyat  pemilih,  karena  presiden  dipilih
langsung  oleh  rakyat  atau  dipilih  melalui  badan  pemilih  (electoral  college)  seperti  di
Amerika Serikat.

Sehubungan  dengan  sistem  pemerintahan  ini,  amandemen  UUD  1945  sudah
cukup  baik  mengadopsi  ciri-ciri  sistem  pemerintah  Presidensiil  yang  semakin  menguat
jaring-jaring  yang  akan  menjamin  stabilitas  penyelenggaraan  pemerintahan.  Hal  ini
ditandai dengan adanya klausula pemilihan Presiden (dan  Wapres) secara  langsung oleh
rakyat.  Presiden  tidak  lagi  tunduk  dan  bertanggungjawab  kepada  MPR.  Apapun
perbedaan pandangan antara Presiden dan  MPR,  Presiden akan tetap sampai  habis  masa
jabatannya. Satu-satunya cara untuk menjatuhkan Presiden dalam masa jabatannya adala
melalui  pranata  “impeachment”.  Tetapi  dasar  “impeachment”  itu  terbatas,  baik  secara
substansial  maupun  prosedural  tidak  mudah  dilaksanakan.  Impeachment  hanya  dapat


25    Sri  Bintang  Pamungkas,  Sistem  MPR  : Pengingkaran  Kedaulatan  Rakyat  Tanggapan  untuk
Harry Tjan Silalahi, Harian KOMPAS, Selasa, 19 Juni 2001.


13




dilakukan apabila Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan , tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela dan
tidak  lagi  memenuhi  syarat  sebagai  Presiden.  Dengan  demikian,    perubahan  UUD  1945
telah  cukup  baik  menentukan  jaring-jaring  yang  menjamin  stabilitas  penyelenggaraan
pemerintahan, termasuk kemungkinan  memberhentikan Presiden dalam  masa  jabatannya
melalui pranata impeachment meskipun tidak mudah dilakukan.

Menurut  I  Gde  Pantja  Astawa26,  masih  sangat  disayangkan  bila  mekanisme
ataupun  prosedur impeachment  untuk  memberhentikan  Presiden  dalam  masa  jabatannya
yang  apabila  memenuhi  ketentuan  pasal  7  A,  menjadi  lain  bila  dihadapkan  dengan
ketentuan  pasal  7  B,  terutama  pada  ayat  (7)  perubahan  ketiga  UUD  1945.  Artinya,  jika
oleh Mahkamah konstitusi diputuskan bahwa Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan
pasal  7  A,  apa  reasoningnya  kemudian  MPR  (masih)  memberi  kesempatan  kepada
Presiden  untuk  menyampaikan  penyelasan  dalam  rapat  paripurna  MPR.  Jika  itu  yang
terjadi,  ada  kemungkinan  Presiden  tidak  diberhentikan  oleh  MPR  meskipin  Mahkamah
Konstitusi  sudah  (jelas-jelas)  memutuskan  Presiden  telah  terbukti  memenuhi  ketentuan
pasal  7  A.  Memang  MPR  adalah  institusi/badan  politik  yang  memiliki  wewenang  untuk
memberhentikan  ataupun  tidak  memberhentikan  Presiden  dalam  masa  jabatannya.
Sebagai  badan  politik,  tentu  sajaa  pertimbangan-pertimbangan  MPR  dalam  mengabil
keputusan  (memberhentikan  atau  tidak  memberhentikan  Presiden  dalam  masa
jabatannya)  lebih  diwarnai  oleh  nuansa  politis,  sungguhpun  sudah  ada  putusan
Mahkamah  Konstitusi  yang  menyatakan    presiden  bersalah  secara  hukum.  Persoalannya
kemudian  bukan  terletak  pada  keberadaan  MPR  itu  sebagai  institusi  politik,  melainkan
lebih terletak pada komitmen MPR itu sendiri untuk menghormati proses hukum sebagai
bagian  dari  upaya  penegakan  hukum  dalam  kerangka  supremasi  hukum.  Dalam  konteks
ini,  tidak  ada  alasan  bagi  MPR  untuk  tidak  memberhentikan  Presiden  dalam  masa
jabatannya  apabila  mahkamah  Konstitusi  sudah  memutuskan  Presiden  telah  terbukti
memenuhi ketentuan pasal 7  A. Seabab,  jika tidak, untuk apa dan apa gunanya Presiden
diusulkan untuk diadili ke Mahkamah Konstitusi oleh DPR dan apa pula gunanya putusan
MK  yang  menyatakan  Presiden  telah  terbukti  memenuhi  ketentuan  pasa  7  A  bila  MPR

26 I Gde Pantja Astawa, Identifikasi Masalah Atas Hasil Perubahan UUD 1945 Yang Dilakukan
oleh  MPR  dan  Komisi  Konstitusi.  Makalah,  pada  tgl  3  September  2004,  di  Gedung  Notariat  FH  Unpad,
Bandung.


14





kemudian tidak memberhentikan Presiden dengan alasan dan pertimbangan politik ? Hak
itu sama saja hendak menegaskan bahwa hukum (akan selalu ) tunduk pada kekuasan dan
bukan sebaliknya sebagai perwujudan prinsip supremasi Hukum di Indonesia.



Penutup
Bahwa  bicara  tentang  sistem  pemerintahan  yang  lazim  adalah  bicara  tentang
perhubungan  kekuasaan  (de  onderlinge)  antara  eksekutif  dan  legislatif.  Sebelum
amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan  NKRI susah  mengidentifikasinya  sehingga
ada yang berpendapat : menganut sistem pemerintahan presidensiil, sistem pemerintahan
campuran bahkan sistem tersendiri yang disebut ”sistem MPR”. Tetapi pasca amandemen
UUD 1945 sistem pemerintahan NKRI adalah sistem presidensiil murni.









































15









A. Buku-buku.



DAFTAR PUSTAKA



Bagir  Manan,  Pertumbuhan  dan  Perkembangan  Konstitusi  Suatu  Negara,  Bandung  :
Mandar Maju, 1995.
---------------,  Lembaga  Kepresidenan,    Yogyakarta  :  Pusat  Studi  Hukum  UII –  GAMA
Media, 1999.
---------------, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta : PSH FH UII, 2001.
Bintan  R.  Saragih,  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat.  Jakarta  :  Gaya  Media  Pratama,
1992.
---------------------, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Jakarta
: Perintis Press, 1985.
Pringgodigdo, H.A.K., Tiga Undang-Undang Dasar , Jakarta : PT. Pembangunan, 1989.
Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN. Bandung : Tarsito,
1976.
----------------, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1993.
Strong,  C.F.,  Modern  Political  Constitutions,  Perbanyakan  Fakultas  Hukum  Unpad,
1973.




B. Sumber Lain.

I  Gde  Pantja  Astawa, Identifikasi  Masalah  Atas  Hasil  Perubahan  UUD  1945  Yang
Dilakukan  oleh  MPR  dan  Komisi Konstitusi,  Makalah,  pada  tgl  3  September
2004, di Gedung Notariat FH Unpad, Bandung.
Sri  Bintang  Pamungkas, Sistem  MPR  :  Pengingkaran  Kedaulatan  Rakyat  Tanggapan
untuk Harry Tjan Silalahi, Harian KOMPAS, Selasa, 19 Juni 2001.
Sri  Soemantri  M,  Perkembangan  Sistem  Ketatanegaraan  Indonesia  Pasca  Amandemen
1945,  dalam  buku  Soewoto  Mulyosudarmo,  Pembaharuan  Ketatanegaraan
Melalui Perubahan Konstitusi, Malang : Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa
Timur kerja sama dengan In-Trans, Februari 2004,

















16