Minggu, 31 Juli 2011

August Comte


A.    SKETSA BIOGRAFIS AUGUSTE COMTE
            Auguste comte lahir di Mountpelier, perancis, 19 januari 1798 (pickering, 1993: 7). Orangtuannya berstatus kelas menengah dan ayahya kemudian menjadi pejabat lokal kantor pajak. Meski tergolong cepat menjadi mahasiswa, ia tak pernah mendapat ijazah perguruan Negeri. Dalam setiap kelasnya Ecole polytecnique, Comte bersama seluruh kelasnya di keluarkan karena gagasan politik dan pemberontakan yang mereka lakukan. Pemecatan ini berpengaruh dalam karir akademis Comte. Tahun 1817 ia menjadi sekretaris (dan menjadi anak angkat) saint simon, filsuf yang 40 tahun lebih tua. Mereka bekerjasama sangat akrab selama beberapa tahun dan Comte menyatakan utang budinya kepada saint simon, ia memberikan dorongan sangat besar kepada ku dalam studi filsafat yang memungkinkan diriku menciptakan pemikiran filsafat ku sendiri dan yang akan aku ikuti tanpa ragu selama hidup ku. tetapi tahun 1824 keduanya bersengketa karena comte yakin saint-simon menghapus namanya dari salah satu karya sumbangannya. Comte kemudian menyurati teman-temanya sambil menuduh saint simon bersifat “katastropik” dan melukiskan saint simon sebagai penyulap besar”. Tahun 1852 comte bekata tentang saint-simon” aku tak berhutang apapun pada tokoh terkemuka itu”.
Comte terkenal mempunyai daya ingat yang luar biasa, berkat daya ingatnya ia mampu menceritakan kembali kata-kata yang tertulis di satu halaman buku yang sekali di baca kemampuan yang sedemikian rupa sehingga ia mampu mengungkapkan keseluruahan isi sebuah buku yang akan ditulisnya tanpa harus menulisnya. Kuliahnya di sajikan tanpa berbekal catatan, bila ia duduk untuk menulis buku, ia menuliskan segalanya dari ingatan. Tahun 1826 comte membuat sebuah catatan-catatan yang kemudian menjadi bahan kuliah umum sebanyak 72 kali tentang pemikiran filsafatnya. Ceramah itu dilakukan dirumahnya sendiri kuliah itu menarik minat kalangan orang terpandang. Tetapi setelah jalan tiga kali kuliah itu terhenti karena comte mengalami gangguan syaraf. Sejak itu ia terus terserang gangguan serang gangguan mental. Di  tahun1827 ia mencoba bunuh diri dengan mencebur ke sungai Saine, untungnya ia selamat. 
            Pada tahun 1823 ia diberi jabatan sebagai asisten dosen, tahun 1837 ia diberi pekerjaan tambahan ahlak untuk menguji. Comte berkosentrasi menulis 6 jilid buku yang membuatnya sangat terkenal, berjudul Cour de Philosophie positive, yang akhirnya diterbitkan secara utuh pada1842 jilid pertama terbit tahun1830. Pada 1844 jabatan asisten dosennya di perpanjang, tahun 1851 ia menyelesaikan 5 jilid yang berjudul systeme politique positive. Yang mengandung pemikiran lebih praktis dan menawarkan rencana besar meeorganisasi masyarakat.
            Heilbron menyatakan bahwa gangguan mental besar dalam kehidupan comte terjadi tahun 1813. Dan itulah membuatnya putus asa dan dia sudah tidak mau membaca karya seseorang dan membuat dia ketinggalan perkembangan intelektual. Dan dia menghayal dirinya sebagai pendeta agama baru kemanusiaan. Dan akhirnya comte meningglan 5 september 1857.
B.   Perspektif  Positivistis Comte Tentang Masyarakat
            Meskipun comte yang memberikan istilah”positivisme”, gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan dari dia asalnya. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat menggunakan bagian dari alam dan bahw metode-metode penelitian dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya, sudah tersebarluas dilingkungan dia hidup. Skeptisisme comte yang berhubungan dengan usaha-usaha pembaruan besar-besaran serta penghargaanya terhadap tonggak-tonggak keteraturan tradisional mengakibatkan dia dimasukkan kategori orang konservatif.
            Comte melihat masayarakat sebagai Sesutu yang keseluruhan organik yang kenyatannya lebih dari pada sekedar jumlah bagian yang tergantung.[1] Comte menempatkan dunia ide sebagai sebagai pokok persoalan studi sosiologi, ia lebih menekankan ide keteraturan masyarakat (social order) dari pada berusaha melakukan penelitian empiris.[2] Tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empiris digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan sesuatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Andreski berpendapat, pendirian Comte bahwa masayarakat merupakan bagian alam dan bahwa memperoleh pengetahuan tentang masayarakat menurut penggunaan metode-metode penelitin dari empiris dan ilmu alam lainya[3]. Merupakan sumbanganya yang tak terhinnga nilainya terhadap perkembangan sosiologi. Tentu saja keyakinan inilah, dan bukan substantifnya tentang masyarakat yang bernilai bagi usaha sosiologi sekarang ini.
            Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah ini sebagai puncak suatu proses intelektual yang logis melalui mana semua ilmu-ilmu sudah melewatinya. Kemajuan ini mencakup perkembangan mulai dari bentuk-bentuk pemikiran teologis purba, penjelassan metafisik, sampai ke terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif. Bidang sosiologi(atau fisika sosial) adalah paling akhir melewati tahap-tahap ini, karena pokok permasalahanya lebih kompleks dari pada ilmufisika dan biologi.[4]
            Mengatasi cara-cara berfikir mutlak yang terdapat dalam tahap-tahap pra-posirtiv, menerima kenisbian pengatahuan kita serta terus menerus terbuka terhadap kenyataan-kenyataan baru, merupakn ciri khas yang membedkan pendekatan positiv yang digambarkan Comte.
Dalam konteks kemasyarakatan Comte, dapat dipahami bahwa tujuan utama sosiologinya ialah mengalami konstruksi masyarakatan masyarakat modern secara revolusioner (seperti menghentikan disorganisasi moral). Ia tertarik dengan organisasi masyarakat dalam konteks humanisme positivistik filsafahnya.
Sejak melakukan fondasi terhadap masyarakat, gagasan sosiologinya menekankan pada tuntutan moral. Ia berusaha mengembangkan ”fisika sosial” yang akan melahirkan hukum-hukum sosial dan reorganisasi sosial, sesuai dengan system Comte yang banyak bernilai dan dipandang sebagai hal yang sangat natural.[5]
Menurut Comte, alam semesta diatur oleh hukum-hukum alam yang tak terlihat (invisable natural) sejalan dengan evolusi dan perkembangan alam pikiran atau nilai-nilai sosial yang dominan.
Comte juga membagi sistem sosial menjadi dua bagian penting, yaitu masyarakat dan hukum-hukum keberadaan manusia sebagai makhluk social dan yang kedua adalah dinamika sosial atau hukum-hukum perubahan sosial.[6] Yang mendasari system ini adalah naluri kemanusiaan yang terdiri dari atas tiga faktor utama tersebut ialah:
1.      Naluri-naluri pelestarian (naluri seksual maupun material)
2.      Naluri-naluri perbaikan (dalm bidang militer dan industri)
3.      Naluri sosial (kasih sayang, pemujaan dan cinta semesta )
Diantara ketiganya ada naluri kebanggaan dan kesombongan.
I.     Metodologi
Menurut Comte, metode positif mengarah pada perkembngan kebenaran organis (kebenaran yang paling tinggi). Metode ini mengembangkan penggunaan observasi (penelitian), percobaan (exsperiment), serta perbandingan untuk memahami keseluruhan statisika dan dinamika sosial, metode-metode tersebut memberi gambaran terhadap hukum-hukum sosial melalui eksperimentasi, baik secara langsung maupun tak langsung, sebagai halnya evolusi masyarakat secara umum, dengan cara ini Comte sebagaimana metodologi yang mengarah perkembangan yang lebih luas terhadap model teorinya yang didasarkan organic dan natural, yaitu pada asumsi-asumsi organic dan natural.
II.  Tipologi  
Sebagai mana dikatakan sebelumnya, Comte membagi model masyarakat menjadi dua bagian utama, yaitu model masyarakat statis dan masyarakat yang dinamis yang menggambarkan struktur kelembagaan masyarakat dan prinsip perubahan social.[7] Adapun unsur-unsur masyarakat statis meliputi:
1.      Sifat-sifat sosial, yang didalamnya berisi tentang  agama, seni, keluarga, kekayaan dan organisasi sosial
2.      Sifat kemanusian, meliputi naluri, emosi, perilaku dan intelegensi
Sedangkan unsur-unsur masyarakat dinamis terdiri atas:
1.      Perubahan social dan faktor-faktor yang behubungan dengan tingkatan kebosanan masyarakat, usia harapan hidup, perkembangan hidup
2.      Tingkat perkembangan intelektual yang sangat cepat.

C.    Hukum Tiga Tahap Comte tentang Proses Evolusi Manusia
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa peradaban perancis abad ke-19 yang sangat maju. Hukum ini, yang mungkin paing terkenal dari gagasan-gagasan tepritis poko comte tidak lagi diterim sebgai suatu penjelasan mengenai perubahan sejarah secara memadai. Juga terlalu luas dan umum sehingga tdak dapat benar-benar tunduk terhadap pemgujian empiris secara teliti, yang menurut comte harus ada untuk mmbenuk hukum sosiologi.
Singkatnya, hukum itu menyatkan bahwa masyarakat (umat manusia) berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini dtentukan menerut cara berfikir yang dominan teologis, metafisik, dan positive. (Ingat bahwa masing bidang-bdang ilmu melalui tahap-tahap ini juga). Lebih lagi, pengaruh cara berfikir yang berbeda-beda ini meluas kepola kelembagaan dan organisasi sosil masyarakat. Adi wtak stuktur social masyarakat bergantung pda gaya etimologisnya atau pandangan dunia, atau cara mengenal dan menjelakn gejala yang dominan.
·         Comte menjelaskan  hukum tiga tahap sebagai berikut:
Dari studi mengenai perkembangan inteligensi manusia, di segala enjuru dan melalui segala zaman, penemuan muncul dari suatu hukum dasar yang besar,… Inilah hukumnya: bahwa setiap konsrpsi kita yang paling maju-setiap cabang pengetahuan kita-berturut-turut melalui tiga kondisi teoretis yang berbeda: teologis atau fiktif: metafisik atau abstrak; ilmiah atau positif. Dengan kata lain pikiran manusia pada dasarnya, dalam perkembangannya, menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakernya sangat berbeda dan malah sangat bertentangan… yang pertama smerupakan titik tolak yang harus ada dalam emahaman manusia; Yang kedua suatu keadaan peralihan; dan yang ketiga adalah pemahaman dalam keadaan yang asli dan tak tergoyahkan.
·         Karakter yang khusus dari ketiga tahap ini disajikan secara singkat sebagai berikut :
Dalam fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala akibat-singlaynya, pengetahuan absolute- mengandaikan bahwa gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supernatural, Dalam fase metafisik, yang hanya merupakan suatu bentuk lain dari yang pertama, akal budi mengandaikan bukan hal sipranatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda (abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasi), dan yang mampu menghasilkan semua gejala. Dalam fase terakhir, yakni fase positif, akal budi sudah meniggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolute,asal dan tujuan alam semesta, serta seba-sebab gejala, dan memusatkan perhayiannya pada studi tentang hokum-hukumnya- yakni hubungan-hubungan urutan dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabumgkan secara tepat, merupat sarana-sarana pengetahuan ini.[8]
            Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa yang lebih terperinci, Comte membaginya kedalam periode fetisisme, politisme, dan monoteisme,. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitive, meliputi kepercayaan bahwa semua bena memiliki kelengkapan kekuatan hidup sendiri. Akhirnya fetisisme diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda denga benda-benda alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak dewa itu diganti dengan kepercayaan akan stu yang tiggi. Katolisisme di abad pertengahan meperlihatkan uncak tahap monoteisme.
            Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh suatu kepercayaan aka hokum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengn akal budi. Protestantisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang berturut-turut dari semangat teologis ke munculnya semangat metafisik yang mantap. Satu manifestasi yang serupa dari semangat ini dinyataka dalam Declaration of Independence : “ kita menganggap kebenara ini jelas dari dirinya sendiri…” Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai ukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sagat mendasar lam cara berfikir metafisik.
            Tahap positif ditandai oleh epercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahua selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivism memperlihatkan suatu keterbukan terus-menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan dipeluas. Akal budi penting, seprti dalam periode etafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisa rasional mengenai data emiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris lebih dari pada kemutlakan metafisik.[9]
Metode positif memungkinkan seseorang untuk menemukan dan memahami hukum-hukum alam dan gejala-gejala sosial, sehingga mampu mengembangkan potensi intelekual dan tatanan moral yang akan menyatukan kemajuan dan keteraturan bertentangan dengan situasi kacau yang masih berlangsung sekarang ini, sosiologi harus merupakan ilmu yang terpadu dan menyatu, berdasarkan metode positif yang secara langsung memberi sumbangan terhadap evolusi sebuah tatanan moral. Oleh karena itu, Comte memandang seluruh pengetahuan sebagai ilmu sosial alam dalam pengertianya yang luas karena ia menggambarakan perkembangan konteks sosial, khususnya sebagai salah satu dari tiga tahapan intelektual tersebut.

D.    Hubungan antara Tahap-Tahap Intelektual dan Organisasi Sosial
Argumentasi-argumentasi Comte untuk menjelaskan hubungan-hubungan secara terperinci menekankan bahwa dalam tahap teologis, dukungan dari otoritas religius yang mengesahkan adalah perlu menanamkan disiplin social yang peril untuk kegiatan militer. Kegiatan militer diperlukan hanya karena hal itu merupakan cara yang paling menarik dan alimng sederhana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materil. Juga mentalitas teologis dan militer, seperti yang dianalis Comte, sangat bersifat mutlaki.
Selama periode teologis, keluarga merupakan satuan social yang dominan (meskipun ada kelompok-kelompok yang lebih besaryang didirikan untuk kegiatan militer, atau sebagai hasil dari penguadaan militer). Dalam periode metafisik Negara-negara menjadi suatu organisasi yag dominan. Comte optimis bahwa munculnya tahap positif, nasionalisme akan digantikan dangan keteraturan social yang meliputi humanitas seluluhnya. Terkandung dalam diskusi mengenai arti social dari ketiga fase ini. Adalah pengaruhnya terhadao perasan manusia. Sehubungan dengan evolusi intelektual, ada evolusi perasaan yang dibatasi oleh lingakaran yang makin lama makin luas dengan mana individu meentuk ikaan-ikatan emosionalnya. Pada tahap awal anusi dikenal terutaa dengan keluarganya; kemudian ikatan emosional meluas; akhirya manusia terasa terikat dengan humanitas keseluruhannya.
Comte mungkin mau menjelaskan bagaimana penjelasan-penjeasan religius mengenai berbagai gejala disebagian besar kalangan penduduk modern masih diberikan dengan cara ini. Tetapi kebanyakan ahli sosiologi agama masa kini akan mengemukaan bahwa pemikiran agama modern berorientasi dunia pengetahuan yang berbeda secara kualitatif dari ilmu pengetahuan ; miasalnya, ilmu berhubungan dengan penjelasan mengenai gejala empiris, tetapi agama berhubungan dengan pertanyaan tentang arti tujuan hidup, yang tidak bias dijawab dengan metode-metode ilmiah.
Cepatnya perubahan dari satu tahap intelektual ke yang berikutnya, berlainan dalam periode sejarah yang berbrda-beda. Beberapa periode ditandai dengan stabilitas yang agak tinggi, apabila konsensus atas dasar kepercayaan dan pandangan-harmonis pandangan adalah relatif tinggi, dan organisasi social, struktur politik, cita-cita moral, dan kondisi-kondisi materil memperlihatkan suatu tingkat saling ketergantungan harmonis yang tinggi. Sebaliknya periode-periode dimana perubahan yang pesat dari suatu tahap (tahap kecil) ke tahap berikutnya sedeang terjadi, ditandai oleh kekacauan intlektual dan sosial.
Meskipun hukum kemajuan menjamin evolusi jangka panjang dari suatu tahap ke tahap berikutnya, berbagai factor sekunder dapat mempercepat atau menghambat, misalnya pertumbuhn penduduk. Proses evolusa dapat dihambat oleh dominasi filsafat olot yang berkepanjangan, yang merupakan kibat dari usaha-usaha kelompok konservatif untuk mengatasi kekacauan suatu periode transisi dengan mengemukakan kembali metode yang cocok dengan periode sebelumnya. juga dapat dihalangi oleh usaha untuk mengadakan perubahan yang demikian radikalnya sehingga mereka menghancurkan keteraturan social yang mendasar yang perlu untuk kemajuan intelektual atau sosial.
Comte sangat tajam dalam mencela mereka yang mau mengubah masyarakat tanpa secukupnya sadar akan batas-batas yang diberikan oleh hukum-hukum dasar mengenai kemajuan atau sumbangan-sumbangan yang bernilai secara sosial dari tahap-tahap sebelumnya. Mereka yang mau meningkatkan kemajuan tanpa sadar akan persyaratan-persyaratan keteraturan, sebenarnya mendukung bertahannya keadaan transisi anarkis.[10]
E.     Prinsip-prinsip Keteraturan Sosial
Analisa Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivism, tetapi yang menyagkut perasaan dan intelek.
Satu sumbangan sosial Comte yang penting dari tahap perkrmbangan pra-positif adalah bahwa mereka mementingkan consensus intelektual. Consensus terhadap kepercayaan-keparcayaan serta pandngn-pandangan dasar selalu merupakan dasar utama untuk solidaritas dalam masyarakat. Karen kebanyakan sejarah manusia berada di bawah dominasi cara brpikir teologis, tidak mengherankan kalau agama dilihat uatam sebagai sumber solidaritas sosial dan konsensus. Selain ini isi kepercayaan agama mendorong individu untuk berdisiplin dalam mencapai tujuan yang mengatasi kepentingan individu dan meningkatkan perkembangan ikatan emosional yang mempersatukan individu dalam keteraturan sosial.
Pentingnya agama dalam mendukung solidaritas  sosial dapat dilihat dalam kenyataan bahwa otoritas politik dan agama biasanya berhubungan erat. Singkatnya secara tradisional agama sudah merupakan institusi pokok yang mementingkan altruism dari pada egoism.
Comte berpandangan bahwa, individu sedemikian besarnya dipengaruhi dan dibentuk oleh linkungan sosial, sehingga satuan masyarakat yang asasi adalah bukan individu-individu, melainkan keluarga-keluarga. Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama ekonomi.
Comte mengemukakan bahwa pemerintah merupakan suatu gejala sosial alamiah yang dapat dirunut bentuk dasarnya, sampai pada masyarakat-masyarakat primitive. Tetapi pemerintah akan meluas, begitu masyarakat menjadi menjadi lebih kompleks karena bertambahnya pembagian kerja.[11]       


[1] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1986), hlm.81-82.
[2] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), hlm. 16.
[3] Ibib., Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1986), hlm. 82
[4] Doyle Paul Johnson, Op. Cit., hlm. 83.
[5]  Graham C. Kinloloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, ( Bandung: Pustaka Setia,  2005), hlm. 74.
[6]  Ibid., hlm. 75.
[7]  Ibid., Graham C. Kinloloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 77.
[8] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1986). hlm. 84.
[9] Ibid., hlm. 86.
[10] Ibid., hlm. 88-89.
[11] Ibid., hlm. 90-91.

0 komentar:

Posting Komentar