Senin, 22 September 2014

PERAN WANITA DALAM KELUARGA (Studi kasus Pada wanita Karir-di Surabaya)

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Keluarga pada hakekatnya merupakan satuan terkecil sebagai inti dari suatu sistem sosial yang ada dimasyarakat. Keluarga adalah bagian masyarakat yang peranannya sangat penting untuk membentuk kebudayaan yang sehat.
Dalam keluargalah kehidupan seseorang dimulai, dimana seorang anak mendapat perlindungan dengan nyaman, seorang istri/ibu melakukan tugas, mendapatkan haknya dan melakukan tugas-tugas keibuanya, seorang ayah/suami memberikan kenyamanan, ketentraman, melakukan tugas-tugasnya sebagai kepala keluarga.
Sungguh ironis, jika setiap hari kita selalu mendengar berita yang tersaji di koran atau televisi yang menginformasikan terjadinya peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebagian besar kekerasan tersebut terjadi pada perempuan dan anak-anak yang secara sosial masih dianggap sebagai kaum yang lemah dan tidak berdaya. Padahal peran seorang wanita/istri dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap kesuksesan suami untuk memberikan dukungan dalam hal apapun. Wanita/Ibu juga berpengaruh terhadap anak untuk memberikan motivasi dan kenyamanan tinggal dirumah. Namun, saat ini peran Ibu dalam kehidupan keluarga mengalami kemajuan pesat.
Banyak streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggung jawab domestik selalu menjadi tanggung jawab ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum wanita (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya dan lebih mampu bertahan dalam kesulitan ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran perempuan dalam memperkuat ekonomi keluarga tersebut seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja (pencari nafkah tambahan).
Saat ini seorang wanita masih dianggap sebagai kaum yang lemah. Hal ini disebabkan oleh konstruksi sosial, kultural dan doktrin agama yang dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender. Budaya patriarkis (laki-laki lebih berkuasa dari perempuan) yang masih melekat di masyarakat menjadikan seorang wanita terbelenggu dalam kungkungan yang telah dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Hal tersebut yang mengakibatkan sulitnya tercipta kesetaraan dan keadilan gender.
Dengan latar belakang di atas, Peneliti bermaksud untuk melakukan riset pada seorang ibu rumah tangga, untuk mendapatkan informasi yang lebih akut mengenai “Peran Wanita dalam Keluarga: Studi kasus Pada wanita Karir-di surabaya”

B.      Rumusan Masalah
a.       Apa saja peran wanita dalam keluarga?
b.       Bagaimana Wanita karier dalam membangun keluarga sakinah?
c.        Bagaimana kesetaraan gender dalam keluarga, khususnya pada wanita karier?

C.      Tujuan penelitan
Dari rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan:
a.       Ingin mengetahui apa saja peran wanita dalam keluarga
b.       Ingin mengetahui bagaimana wanita karier dalam membangun keluarga sakinah
c.        Ingin mengetahui Bagaimana kesetaraan gender dalam keluarga, khususnya pada wanita karier

D.      Manfaat Penelitian
a.       Bagi peneliti, memberikan pengetahuan yang lebih mengenai Peran Wanita dalam Keluarga khususnya pada wanita karier di Surabaya, dan untuk melatih potensi diri peneliti agar lebih bisa menghasilkan hasil penelitian yang lebih bagus dan bermanfaat.
b.       Bagi mahasiswa atau kalangan umum, supaya dapat mengetahui dan memahami masalah peran wanita dalam keluarga khususya pada wanita karier di Surabaya.

BAB II
KAJIAN TEORI
(Perspektif dalam masalah yang dipilih)

Gender merupakan konsep yang menyoroti persoalan-persoalan kemanusiaan yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Istilah ini mulai di perbincangkan pada tahun 1980-an dan merupakan isu yang baru di Indonesia. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori feminisme. Teori feminis adalah sistem gagasan umum dengan cakupan luas tentang kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang berkembang dari perspektif yang berpusat pada perempuan.[1]
Di dunia Barat, penanggalan formal feminisme dimulai dari publikasi karya protes. Karya-karya ini pertama kali muncul pada tahun 1630-an dan terus berlanjut selama 150 tahun sebagai arus kecil namun terus berlangsung.
Sepanjang perjalanan sejarahnya, teori feminis secara konstan bersikap kritis terhadap tatanan sosial yang ada dan memusatkan perhatiannya pada variabel-variabel sosiologi esensial seperti ketimpangan sosial, perubahan sosial, kekuasaan, kepentingan dan kepercayaan, serta institusi sosial keluarga, hukum, politik, keja, agama dan pendidikan. Penelitian feminis terkini tentang sejarah sosiologi menunjukkan bahwa banyak perempuan telah memberikan sumbangan penting dan bahkan terkadang sangat mendasar bagi disiplin ini pada periode klasik.[2]
Pada awalnya gerakan feminisme ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Gerakan feminisme bukan untuk menjatuhkan posisi laki-laki, namun hanya untuk menyetarakan derajat laki-laki dan perempuan. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Pada dasarnya kelompok feminis ini memandang keluarga sebagai suatu institusi yang melalui struktur patriarkalnya, menindas perempuan dengan cara sosialisasi yang terbedakan menurut gender. Lebih jauh lagi, keluarga berfungsi untuk memproduksi ideologinya sendiri (femilialisme) serta untuk mempertahankan stabilitas sosial yang memberlanjutkan kondis-kondisi sexist yang telah ada sebelumnya.[3]
Dengan sejarah yang amat panjang dan beragam tokoh pemikirnya, gerakan perempuan terus tumbuh sesuai kondisi obyektif masyarakatnya. Gerakan perempuan akhirnya juga berdialektika dan menghasilkan banyak sekali varian gerakan. Gerakan tersebut adalah feminisme marxis, feminisme sosialis, feminise liberal, dan feminisme radikal. Dalam penelitian ini, peneliti cenderung menggunakan feminisme sosialis.
Feminisme sosialis sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Akan tetapi, feminisme sosialis tidak melihat laki-laki sebagai sumber penindasan ataupun sebagai musuh kaum perempuan.
Feminisme sosialis memandang bahwa perjuangan melawan penindasan atas perempuan adalah perjuangan untuk melawan penindasan dan penghisapan dari kelas masyarakat, bukan perjuangan melawan laki-laki karena penindasan perempuan merupakan produk dari kelas masyarakat.
Feminisme sosialis telah menetapkan proyek formal mereka, yaitu untuk mencapai sintesis dan langkah teoritis diluar teori-teori feminis, terutama pemikiran feminis marxian dan radikal. Feminisme radikal adalah kritik atas pratiarki. Feminisme marxian secara tradisional telah memadukan analisis kelas sosial dengan protes sosial feminis. namun dalam gabungan ini menggambarkan perkawinan yang sulit yang seing kali tidak melahirkan teori intensif tentang penindasan gender, namun justru lebih banyak melahirkan pernyataan bisu tentang persimpangan gender. Feminisme marxian murni tetap penting sebagai pembawa pengaruh bagi feminisme sosial. Pokok perhatian utamaya adalah penindasan kelas sosial, namun terkadang mengalihkan perhatiannya pada penindasan gender. basis relasi subordinatif perempuan terletak pada keluarga, institusi yang namanya berasal dari bahasa latin, yang berarti pelayan. karena, keluarga sebagaimana pada masyarakat kompleks adalah suatu sistem yang didalamnya laki-laki memerintahkan perempuan agar melayaninya. Meskipun ideologi masyarakat kontemporer menganggap masyarakat sebagai bagian universal dan fundamental bagi kehidupan sosial.[4]
Peran secara tradisional antara suami-istri dalam masyarakat modem tidak lagi dapat dipertahankan, tetapi peran didasarkan pada keterampilan dan daya saing. Laki-Iaki dan perempuan sama-sama berpeluang untuk memperoleh kesempatan dalam persaingan.
Hasil penelitian Saleha (2003) menunjukkan bahwa persepsi tentang gender yang paling banyak dianut baik oleh suami maupun isteri adalah "isteri dan suami menyadari bahwa perbedaan jenis kelamin tidak harus dipertentangkan dalam menghidupi keluarga, tetapi justru bersifat saling mendukung dan melengkapi", sedangkan pilihan tugas berdasarkan gender yang paling banyak dianut baik oleh suami maupun isteri adalah "tugas utama istert adalah mengurus rumahtangga, tetapi boleh membantu tugas suami dalam mencari nafkah keluarga, sedangkan tanggung jawab mencari nafkah utama tetap tugassuami.[5]

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang di gunakan oleh peneliti kali ini, dengan menggunakan metode kulaitatif. Dengan judul “Peran Wanita dalam Keluarga: Studi kasus Pada wanita Karir-di Surabaya”
A.      Jenis Penelitian
Jenis desain penelitian yang digunakan adalah penelitian Deskriptif, yakni studi untuk menemukan fakta dan interpretasi yang tepat mengenai Peran Wanita dalam Keluarga: Studi kasus Pada wanita Karir-di Surabaya.
B.      Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di daerah Surabaya ; Jemurwonosari, Wonocolo, dan Mulyo Rejo. Dan menghabiskan waktu selama 1 minggu untuk menemukan data sesuai keinginan peneliti.
C.      Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yakni data yang didapat langsung saat melakukan penelitian yang diperoleh melalui keterangan responden.
D.      Populasi
Dalam penelitian tentang peran wanita dalam keluarga: studi kasus pada wanita karir-di Surabaya. Peneliti memilih 5 responden, yakni seorang ibu rumah tangga yang mempunyai pekerjaan sendiri dalam rumah tangganya, jadi tidak menggantungkan nafkah sepenuhnya kepada suami, dan bisa membantu masukan perekonomian dalam keluarga.
Profil  masing-masing dari ke lima responden ;
·         Bu Dewi, 36 tahun. Mulyorejo-surabaya
·         Bu Ida, 35 tahun. Jemur sari-surabaya
·         Bu Mita, 29 tahun. Wonocolo-Surabaya
·         Bu Santi, 30 tahun. Jemursari-surabaya
·         Bu Tika, 34 tahun. Wonocolo-surabaya
E.      Teknik Analisis Data
Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengolah dan menganalisis data adalah:
1.       Menelaah seluruh data dan informasi dari berbagai sumber yaitu hasil wawancara dan studi dokumentasi
2.       Meringkas data
3.       Menguraikan kembali ringkasan data dalam bentuk narasi
4.       Menyajikan data dalam bentuk matrik data kualitatif
5.       Melakukan konseptualisasi

Data kualitatif pada penelitian ini disajikan dalam bentuk matriks data kualitatif. Ringkasan data dalam matriks data diuraikan kembali dalam bentuk narasi untuk kemudian dilakukan konseptualisasi.[6]

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A.      Temuan-temuan dan Riset
1.       Peran wanita dalam keluarga
Peranan wanita itu sendiri tergantung dari fungsi wanita dalam keluarga itu sendiri. Wanita dalam keluarga bisa berfungsi sebagai anak, ibu, istri, mertua, menantu, adik dan kakak.
Dari penuturan lima responden kami yakni ibu rumah tangga,  mereka menjelaskan mengenai peran dirinya dalam berkeluarga. Tentu mereka bisa dipandang sebagai ibu dari anaknya, dan makmum bagi imamnya. Yang dimana biasa disebut seorang ibu dan seorang istri.
Peran mereka sebagai ibu dalam keluarga, idealnya yang bisa menjadikan dirinya teladan yang bisa dicontoh oleh anak-anaknya dalam segala hal yang dilakukannya dalam urusan rumah tangga.
Sedangkan wanita dalam keluarga sebagai istri, berperan sebagai penolong, teman hidup pasangannya di kala suka dan duka. Melayani suami bisa disebut hak kita sebagai istri, bisa juga disebut sebagai kewajiban kita sebagai istri. Istri juga bisa dianggap sebagai teman; teman berbagi dan teman untuk mendiskusikan segala sesuatunya sebelum keputusan diambil oleh suami sebagai kepala keluarga.
Mereka juga mengatakan, bahwa kita sebagai istri juga harus tunduk  dan taat pada suami dengan sikap hati yang benar. Artinya, sebagai istri mungkin pendapat kita kadang berbeda, tetapi bila keputusan sudah diambil oleh suami, kita harus mendukung keputusan tersebut, sesuai pepatah “karena di atas kapal hanya ada satu nahkoda dan di dalam pernikahan hanya ada satu kepala keluarga”.
Tetapi, bukan kita harus tunduk sepenuhnya pada suami, kita juga berhak menentang/berkomentar jika ada sebuah kesalahan yang terdapat/di perbuat oleh suami. Kata tunduk yang dimaksud di paragraf atas agar tak ada percecokan antara suami dan istri. Sehingga keluarga kita bisa menjadi utuh/langgeng dan sakinah mawadah dan warrahmah.
Peran dan fungsi ibu sebagai “tiang rumah tangga” amatlah penting untuk terselenggaranya rumah tangga yang sakinah yakni keluarga yang sehat dan bahagia. Seorang ibu juga harus bisa membuat rumah tangga menjadi surga bagi keluarganya. Sehingga untuk mencapai ketentraman dan kebahagiaan dalam keluarga dibutuhkan istri yang saleh, yang bisa menjaga suami dan anak-anaknya. Serta dapat mengatur keadaan rumah agar rumah menjadi rapi, menyenangkan, dan memikat hati seluruh anggota keluarga.
Dari ke lima responden kami, mereka juga berprofesi sebagai wanita karier. Mereka sering mengeluh tentang beban pekerjaannya yang tidak  sedikit, belum pula beban peranannya sebagai ibu rumah tangga. Karena dirumah mereka dituntut untuk memberi perhatian  kepada suami dan anak-anaknya. Bu mita dan bu santi menambahkan, belum lagi jikalau dirumah dan di luar rumah (pekerjaan) terdapat konflik. Jelas beban yang diterimanya dua kali lebih banyak dari pada wanita karir yang masih single atau hanya ibu rumah tangga.
Meskipun, peranan ganda mereka sangat sulit untuk dilakukan dan diterima dari salah satunya. Mereka tetap memilih keluarga, karena bagaimanapun keluarga sangatlah penting baginya. Mereka berusaha agar tidak ada konflik dalam keluarga atau percecokan dengan suaminya, rata-rata dari mereka mengajak suami bekerja sama demi pertumbuhan dan kepentingan anak.
Bu dewi menuturkan pengalamanya, ketika anaknya dalam kondisi sakit. Ia pergi kerumah sakit dengan menggendong anaknya. Setelah itu ia tetap menelepon kliennya dan meminta maaf karena menunda pertemuan yang telah dijadwalkan sambil mengatakan bahwa proposal akan segera di emailkan. Peneliti member acungan pada Ibu Dewi ini, karena ia sangat memahami fungsinya sebagai ibu dan tetap professional sebagai wanita karir.
Pada prinsipnya dari apa yang dikemukakan oleh responden kepada kami dapat disimpulkan bahwa peran seorang istri sebagai pendamping suami dapat sebagai teman, pendorong dan penasehat yang bijaksana. Dan yang paling penting bahwa peran itu dapat dilakukan dengan baik apabila ada keterbukaan satu sama lain, kerjasama dan saling pengertian dalam keluarga, tak pandang sebagai wanita karier atau ibu rumah tangga.

2.       Wanita karier dalam membangun keluarga sakinah
Kehidupan keluarga yang sakinah adalah dambaan dan merupakan tujuan hidup bagi setiap orang yang berkeluarga dan sekaligus merupakan bukti kekuasaan dan keagungan Allah. Allah berfirman: 217 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. al- Rum: 21).[7]
Keluarga sakinah erat kaitannya dengan kondisi keluarga yang tenang, tidak ada konflik, tenteram, bahagia, dan harmonis. Sebuah keluarga dikatakan sakinah apabila suasana di dalam keluarga tersebut penuh dengan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan, serta terpeliharanya ketaatan dan kepatuhan di antara sesama anggota keluarga untuk saling menjaga keutuhan dan kesatuan sehingga terbina rasa cinta dan kasih sayang di dalam keluarga demi memperoleh keridhoan Allah Swt.
Responden kami (bu ida, bu tika, bu dewi, bu santi dan bu mita) memberikan sumbangsih asumsi mereka, agar terjalinnya keluarga sakinah di dalam sebuah rumah tangga, yakni:
1)       Antara suami dan istri, haruslah saling pengertian.
2)       Membangun kepercayaan agar tetap setia dan saling mencintai.
3)       Menghadapi sebuah masalah haruslah didiskusikan bersama.
4)       Saling membantu dalam hal mengurus anak, dan rumah tangga.
5)       Suami istri haruslah bisa memahami kelemahan dan kekurangan masing-masing.
6)       menerima apa adanya dan lapang dada.
7)       Selalu  konsultasi dan musyawarah jika menemukan pendapat/ide baru dalam membangun rumah tangga, dan
8)       Saling menghormati antar anggota keluarga.
Dalam membentuk sebuah keluarga sakinah, istri yang sekaligus sebagai wanita karier pertama-tama dituntut untuk melayani suaminya dengan sepenuh hati. Ia dituntut untuk memiliki sikap kepatuhan, ketaatan dan kesetiaan terhadap suaminya. Tentunya ketaatan dalam arti yang bersifat positif. Seorang istri harus merasa bahwa dirinya adalah milik dan hanya diabdikan untuk suaminya dalam hal cinta kasih bukan kepada orang lain, serta menjaga dan membelanjakan harta dan pendapatannya secara bijaksana.
Ketaatan dan kesetiaan adalah merupakan persoalan yang fundamental dalam kehidupan berumah tangga. Sehingga apabila kesetiaan ini dilanggar oleh satu pihak akan membuat keluarga menjadi berantakan. Seorang wanita karier yang telah melanggar kesetiaan terhadap suaminya, ia akan seenaknya mengabaikan tugas-tugas rumah tangganya. Ia akan dengan mudah melakukan tindakan penyelewengan-penyelewengan, tidak jujur kepada diri sendiri, kepada suaminya, harta bendanya dan bahkan kepada anak-anaknya. Seorang istri yang tidak dapat dipercaya, ibarat pencuri di dalam rumah yang selalu dicurigai dan diawasi oleh suami dan anak-anaknya.
Oleh karena itu, sebagai wanita karier, istri harus mampu menanamkan  kepercayaan kepada suaminya, bahwa dirinya adalah setia dan dapat dipercaya. Kalau perlu, seorang wanita karier hendaknya mau diantarkan oleh suaminya sampai ke tempat kerja dan ia sanggup menjelaskan bahwa teman-temannya adalah baik dan dapat dipercayai. Dengan demikian ia bisa meraih kepercayaan dari suaminya.
Di sisi lain, di dalam bekerja seorang wanita karier responden kami selalu meminta  izin dari suaminya dan memiliki niat yang baik yaitu semata-mata untuk mengabdikan diri kepada suami dan keluarganya, bukan untuk dirinya sendiri atau yang lain.
Bu ida memaparkan, Islam memperbolehkan seorang istri berkarier di luar rumah selama mendapatkan izin dari suaminya dan semata-mata membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Apabila ia mengejar karier untuk melepaskan kedudukannya sebagai anggota keluarga, atau sebagai jalan melepaskan kewajibannya sebagai istri, maka hal tersebut dilarang dalam agama dan berlawanan dengan fitrah. Jika izin atau kerelaan suami ini didapatkan, maka kebahagiaan dan kesejahteraan hidup berkeluarga akan diperoleh. Seorang istri yang memperoleh izin dari suaminya, akan dengan tenang menekuni kariernya, yang pada akhirnya akan mengantarkan kepada kebahagiaan keluarga.
Lima responden kami menambahkan, kita sebagai wanita karier juga dituntut untuk mampu menjaga rahasia keluarga. mereka memahami kalau tidak bisa dipungkiri bahwa seorang wanita karier biasanya memiliki pergaulan yang luas. Di dalam setiap pergaulan, tidak mesti semua hal yang menyangkut urusan rumah tangga boleh diceritakan. Mereka sebagai istri tidak boleh menceritakan tentang kelemahan-kelemahan suaminya di hadapan orang lain. Sebab dengan membuka kelemahannya kepada orang lain, akan menyebabkan orang lain  mempunyai pandangan yang tidak baik kepada suaminya atau setidaknya orang lain akan mempergunjingkan kelemahan suaminya, yang pada akhirnya orang lain akan merendahkannya.
Kita Sebagai seorang wanita karier yang sekaligus sebagai ibu, wanita tetap dituntut untuk mendidik dan memperhatikan anak-anaknya. Di dalam masyarakat manapun, baik yang sudah maju maupun yang masih terbelakang, peranan ibu terhadap masa depan anak tidak bisa dipungkiri.
Seorang anak menjadi baik atau buruk, sukses atau tidak dalam hidupnya tentu peran seorang ibulah yang sangat besar. Karena ibulah yang pertama kali dikenal dan dianggap memberikan pengalaman pertama kali kepada seorang anak.
Dengan ini, seorang ibu haruslah memaksimalkan tugasnya sebagai pengasuh anak. Maka tidaklah cukup, apabila menginginkan anak yang sehat, bahagia, dan berakhal baik, sementara hanya memenuhi kebutuhan lahiriyah saja. Justru pemenuhan rasa cinta dan kasih sayang, serta pendidikan yang baiklah yang merupakan hal paling penting yang tidak bisa diabaikan dalam menbina kepribadian anak.
Seorang ibu juga dituntut untuk mampu memanfaatkan dan meluangkan waktu yang sebaik-baiknya untuk bertemu dengan anak-anaknya. Sebab tidak bisa dipungkiri, seorang ibu, sebagai wanita karier sering meninggalkan anak-anaknya dalam jangka waktu yang panjang. Terkadang ibu berangkat kerja sementara anak belum bangun dari tidurnya, anak pulang dari sekolah sementara ibu belum pulang, dan ibu pulang ke rumah, si anak telah terlelap tidur. Keadaan yang demikian ini jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan si-anak. Dalam situasi keluarga semacam ini, akan mudah menimbulkan konflik-konflik psikologis yang mendorong timbulnya kenakalan anak.
Dengan demikian sudah seharusnyalah seorang ibu menyediakan waktu khusus dan mengusahakan waktu ekstra untuk berkumpul bersama anak-anaknya. Sebab dengan begitu kehangatan dan kasih sayang seorang ibu dan sekaligus pendidikan langsung dari ibu sebagai pembina utama kebahagiaan anak bisa diberikan.

3.       Wanita Karier dan Kesetaraan Gender
Tidak sedikit di dunia ini, kaum wanita yang masih terus aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan kaum pria. Para wanita ini terus dan terus memperjuangkan kesetaraan gender.
Sebenarnya sebagian besar wanita yang sedang berjuang ini adalah para wanita yang sudah merdeka. Biasanya mereka ini dari kalangan wanita karier yang sukses, punya prestasi dan punya latar belakang pendidikan yang tinggi. Karena kemerdekaan inilah mereka merasa perlu untuk berjuang atas nama semua wanita yang masih terpasung.
Penelitipun bertanya pada responden, tanggapan mengenai kesetaraan gender dalam keluarga mereka. akhirnya mereka mau menjelaskan tentang kesetaraan gender yang ada dalam keluarga, seperti pada pihak wanita yang selalu menjadi kaum kedua dari laki-laki.
Pembagian peran dalam keluarga kini masih bersifat diskriminatif “tutur bu mita”, istri sebagai ibu rumah tangga, sedangkan suami selalu diposisikan sebagai kepala rumah tangga, pelindung dan memberi nafkah. Dari thesa inilah berakibat bahwa istri amat tergantung pada suami secara ekonomi. Istripun dituntut untuk melayani suami secara sempurna. Bila istri tidak dapat melahirkan anak, maka dianggap tidak layak sebagai istri. Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang mengatakan bahwa suami-istri harus saling setia, dan memberi bantuan lahir batin.
Meskipun di Indonesia, perempuan telah diberi peluang yang sama dengan laki-laki di bidang pendidikan, namun pandangan masyarakat terhadap perempuan tidak mengalami perubahan yang berarti “tambah bu ida”. Masih kuatnya anggapan bahwa pendidikan pada wanita itu tujuannya hanyalah agar ia lebih mampu mendidik anak-anaknya. Perempuan tetap saja dianggap the second sex, perempuan direndahkan ketika ia hanya dirumah dan dieksploitasi ketika mereka berada ditempat kerja. Pandangan demikian tidak hanya dianut oleh kaum awam melainkan juga cendekiawan.

BAB V
ANALISI DATA

Dari data yang ada, dapat dijelaskan bahwa peran wanita dalam keluarga; sebagai seorang istri, dimana seorang istri sebagai pendamping suami dapat sebagai teman, pendorong dan penasehat yang bijaksana. Dan yang paling penting bahwa peran itu dapat dilakukan dengan baik apabila ada keterbukaan satu sama lain, kerjasama dan saling pengertian dalam keluarga, tak pandang sebagai wanita karier atau ibu rumah tangga. Disamping itu, wanita dalam rumah tangga juga berperan sebagai Ibu dari anak-anak, yang selalu mengurus dan mengasuh anak-anaknya.
Seorang istri dan suami juga sama-sama mempunyai hak dan kewajiban dalam mengasuh anak serta bekerja sama dalam membentuk keluarga yang sakinah. Mereka juga (suami dan istri) sama-sama mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarga mereka. Ini mencerminkan bahwa adanya kesetaraan gender dalam keluarga yang kami teliti tersebut. Dalam keluarga yang kami teliti, tidak ada sikap iri hati diantara suami dan istri atas pembagian peran yang mereka lakukan. Seorang istri yang juga merangkap sebagai wanita karier itu atas keinginannya sendiri dan juga atas persetujuan dari suami.
Walaupun demikian, menurut kelima responden kami,  kedudukan suami masih yang paling atas, seorang istri harus taat dan patuh terhadap seorang suami.
Dalam hal persepsi wanita terhadap peran tradisional isteri pada keluarga Jawa berdasarkan status pekerjaan, isteri yang bekerja tidak setuju pada beberapa paran tradisional isteri, sedangkan isteri yang tidak bekerja sebagian besar setuju dengan peran tradisional isteri. Pada responden yang setuju terhadap peran tradisional isteri (isteri harus selalu menurut pada suami, isteri harus selalu melayani suami, isteri harus mengurus rumahtangga dan isteri harus mengasuh sendiri anak-anak). Responden yang tidak setuju terhadap peran tradisional isteri (isteri harus selalu menurut pada suami, isteri harus selalu melayani suami dan isteri tidak boleh beke~a di luar rumah), pola pengambilan keputusan terbanyak dilakukan secara bersama setara antara suamiisteri.
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada keluarga Suku Jawa (Jawa Timur) istri mempunyai peranan yang cukup besar dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, maka sebaiknya sumberdaya pribadi (pengalaman organisasi) wanita/istri lebih ditingkatkan, agar wanitalistri dapat berperan lebih optimal.[8]

BAB VI
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat kami simpulkan bahwa, peran seorang wanita dalam keluarga tidaka hanya pada pekerjaan domestik, namun wanita juga mampu bekerja membantu suaminya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dalam melangsungkan hidup. Pembagian peran dalam keluarga menjadi tanggung jawab bersama (suami dan istri), dengan begitu dapat tercipta kesetaraan dan keadilan gender meskipun budaya patriarki masih diterapkan. Walaupun demikian, seorang laki-laki dalam keluarga (suami) tetap menjadi kepala keluarga dan seorang istri menjadi teman atau partner kerja dalam penyelesaian maslah keluarga.
Seorang wanita tidak bisa tinggal diam melihat kondisi perekonomian keluarga yang tergolong kurang, dengan begitu mendorong seorang istri untuk menjadi wanita karier.
Dalam membentuk sebuah keluarga sakinah, istri yang sekaligus sebagai wanita karier pertama-tama dituntut untuk melayani suaminya dengan sepenuh hati. Ia dituntut untuk memiliki sikap kepatuhan, ketaatan dan kesetiaan terhadap suaminya. Tentunya ketaatan dalam arti yang bersifat positif. Seorang istri harus merasa bahwa dirinya adalah milik dan hanya diabdikan untuk suaminya dalam hal cinta kasih bukan kepada orang lain, serta menjaga dan membelanjakan harta dan pendapatannya secara bijaksana.




[1] [1] George Ritzer, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), hlm.
[2] Ibid., George Ritzer, hlm.491.
[3] Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 141.
[4] George Ritzer, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), hlm. 510.
[5] Ika Marita Susanti, Kusdiana. 2000. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Pengambilan Keputusan Isteri dalam Keluarga pada Suku Jawa,  Skripsi. Bogar: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.
                                                                                            

[6] Lexy J. Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 247-248.
[7] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), hlm. 324.
[8] Kusdiana Ika Marita Susanti, Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Pengambilan Keputusan Isteri dalam Keluarga pada Suku Jawa,  Skripsi. Bogar: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, 2000,.

0 komentar:

Posting Komentar