BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keluarga pada hakekatnya merupakan satuan terkecil
sebagai inti dari suatu sistem sosial yang ada dimasyarakat. Keluarga adalah
bagian masyarakat yang peranannya sangat penting untuk membentuk kebudayaan
yang sehat.
Dalam keluargalah
kehidupan seseorang dimulai, dimana seorang anak mendapat perlindungan dengan
nyaman, seorang istri/ibu melakukan tugas, mendapatkan haknya dan melakukan
tugas-tugas keibuanya, seorang ayah/suami memberikan kenyamanan, ketentraman,
melakukan tugas-tugasnya sebagai kepala keluarga.
Sungguh ironis, jika setiap hari kita selalu
mendengar berita yang tersaji di koran atau televisi yang menginformasikan
terjadinya peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebagian besar
kekerasan tersebut terjadi pada perempuan dan anak-anak yang secara sosial
masih dianggap sebagai kaum yang lemah dan tidak berdaya. Padahal peran seorang
wanita/istri dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap kesuksesan suami untuk
memberikan dukungan dalam hal apapun. Wanita/Ibu juga berpengaruh terhadap anak
untuk memberikan motivasi dan kenyamanan tinggal dirumah. Namun, saat ini peran
Ibu dalam kehidupan keluarga mengalami kemajuan pesat.
Banyak streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di
masyarakat, misalnya tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada
di tangan ayah/suami, sementara tanggung jawab domestik selalu menjadi tanggung
jawab ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum wanita (istri/ibu) yang
mampu menjadi tulang punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya
dan lebih mampu bertahan dalam kesulitan ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi
di banyak daerah, peran perempuan dalam memperkuat ekonomi keluarga tersebut
seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja
(pencari nafkah tambahan).
Saat ini
seorang wanita masih dianggap sebagai kaum yang lemah. Hal ini disebabkan oleh
konstruksi sosial, kultural dan doktrin agama yang dipahami dan dianut oleh
masyarakat yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender. Budaya patriarkis
(laki-laki lebih berkuasa dari perempuan) yang masih melekat di masyarakat
menjadikan seorang wanita terbelenggu dalam kungkungan yang telah dibuat oleh
masyarakat itu sendiri. Hal
tersebut yang mengakibatkan sulitnya tercipta kesetaraan dan keadilan gender.
Dengan latar belakang di atas, Peneliti bermaksud
untuk melakukan riset pada seorang ibu rumah tangga, untuk mendapatkan
informasi yang lebih akut mengenai “Peran Wanita dalam Keluarga: Studi kasus
Pada wanita Karir-di surabaya”
B.
Rumusan Masalah
a. Apa saja peran wanita dalam keluarga?
b. Bagaimana Wanita karier dalam
membangun keluarga sakinah?
c.
Bagaimana
kesetaraan gender dalam keluarga, khususnya pada wanita karier?
C.
Tujuan penelitan
Dari rumusan
masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan:
a.
Ingin
mengetahui apa saja peran wanita dalam keluarga
b.
Ingin
mengetahui bagaimana wanita karier dalam membangun keluarga sakinah
c.
Ingin
mengetahui Bagaimana kesetaraan gender dalam keluarga, khususnya pada wanita
karier
D.
Manfaat
Penelitian
a.
Bagi
peneliti, memberikan pengetahuan yang lebih mengenai Peran Wanita dalam
Keluarga khususnya pada wanita karier di Surabaya, dan untuk melatih potensi
diri peneliti agar lebih bisa menghasilkan hasil penelitian yang lebih bagus
dan bermanfaat.
b.
Bagi
mahasiswa atau kalangan umum, supaya dapat mengetahui dan memahami masalah
peran wanita dalam keluarga khususya pada wanita karier di Surabaya.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
(Perspektif
dalam masalah yang dipilih)
Gender merupakan konsep yang menyoroti
persoalan-persoalan kemanusiaan yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan
antara laki-laki dan perempuan. Istilah ini mulai di perbincangkan pada tahun
1980-an dan merupakan isu yang baru di Indonesia. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan teori feminisme. Teori feminis adalah sistem gagasan umum
dengan cakupan luas tentang kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang
berkembang dari perspektif yang berpusat pada perempuan.[1]
Di dunia Barat, penanggalan formal feminisme dimulai
dari publikasi karya protes. Karya-karya ini pertama kali muncul pada tahun
1630-an dan terus berlanjut selama 150 tahun sebagai arus kecil namun terus
berlangsung.
Sepanjang perjalanan sejarahnya, teori feminis
secara konstan bersikap kritis terhadap tatanan sosial yang ada dan memusatkan
perhatiannya pada variabel-variabel sosiologi esensial seperti ketimpangan
sosial, perubahan sosial, kekuasaan, kepentingan dan kepercayaan, serta
institusi sosial keluarga, hukum, politik, keja, agama dan pendidikan.
Penelitian feminis terkini tentang sejarah sosiologi menunjukkan bahwa banyak
perempuan telah memberikan sumbangan penting dan bahkan terkadang sangat
mendasar bagi disiplin ini pada periode klasik.[2]
Pada awalnya gerakan feminisme ditujukan untuk
mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum
perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh
kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan
politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Gerakan
feminisme bukan untuk menjatuhkan posisi laki-laki, namun hanya untuk
menyetarakan derajat laki-laki dan perempuan.
Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki
cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di
dalam rumah. Pada dasarnya
kelompok feminis ini memandang keluarga sebagai suatu institusi yang melalui
struktur patriarkalnya, menindas perempuan dengan cara sosialisasi yang
terbedakan menurut gender. Lebih jauh lagi, keluarga berfungsi untuk
memproduksi ideologinya sendiri (femilialisme) serta untuk mempertahankan
stabilitas sosial yang memberlanjutkan kondis-kondisi sexist yang telah
ada sebelumnya.[3]
Dengan
sejarah yang amat panjang dan beragam tokoh pemikirnya, gerakan perempuan terus
tumbuh sesuai kondisi obyektif masyarakatnya. Gerakan perempuan akhirnya juga
berdialektika dan menghasilkan banyak sekali varian gerakan. Gerakan tersebut
adalah feminisme marxis, feminisme sosialis, feminise liberal, dan feminisme
radikal. Dalam penelitian ini, peneliti cenderung menggunakan feminisme
sosialis.
Feminisme
sosialis sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber
penindasan perempuan. Aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme
radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Akan tetapi,
feminisme sosialis tidak melihat laki-laki sebagai sumber penindasan ataupun
sebagai musuh kaum perempuan.
Feminisme
sosialis memandang bahwa perjuangan melawan penindasan atas perempuan adalah
perjuangan untuk melawan penindasan dan penghisapan dari kelas masyarakat,
bukan perjuangan melawan laki-laki karena penindasan perempuan merupakan produk
dari kelas masyarakat.
Feminisme
sosialis telah menetapkan proyek formal mereka, yaitu untuk mencapai sintesis
dan langkah teoritis diluar teori-teori feminis, terutama pemikiran feminis
marxian dan radikal. Feminisme radikal adalah kritik atas pratiarki. Feminisme
marxian secara tradisional telah memadukan analisis kelas sosial dengan protes
sosial feminis. namun dalam gabungan ini menggambarkan perkawinan yang sulit
yang seing kali tidak melahirkan teori intensif tentang penindasan gender,
namun justru lebih banyak melahirkan pernyataan bisu tentang persimpangan
gender. Feminisme marxian murni tetap penting sebagai pembawa pengaruh bagi
feminisme sosial. Pokok perhatian utamaya adalah penindasan kelas sosial, namun
terkadang mengalihkan perhatiannya pada penindasan gender. basis relasi subordinatif
perempuan terletak pada keluarga, institusi yang namanya berasal dari bahasa
latin, yang berarti pelayan. karena, keluarga sebagaimana pada masyarakat
kompleks adalah suatu sistem yang didalamnya laki-laki memerintahkan perempuan
agar melayaninya. Meskipun ideologi masyarakat kontemporer menganggap
masyarakat sebagai bagian universal dan fundamental bagi kehidupan sosial.[4]
Peran secara tradisional antara
suami-istri dalam masyarakat modem tidak lagi dapat dipertahankan, tetapi peran
didasarkan pada keterampilan dan daya saing. Laki-Iaki dan perempuan sama-sama
berpeluang untuk memperoleh kesempatan dalam persaingan.
Hasil
penelitian Saleha (2003) menunjukkan bahwa persepsi tentang gender yang paling
banyak dianut baik oleh suami maupun isteri adalah "isteri dan suami
menyadari bahwa perbedaan jenis kelamin tidak harus dipertentangkan dalam
menghidupi keluarga, tetapi justru bersifat saling mendukung dan
melengkapi", sedangkan pilihan tugas berdasarkan gender yang paling banyak
dianut baik oleh suami maupun isteri adalah "tugas utama istert adalah
mengurus rumahtangga, tetapi boleh membantu tugas suami dalam mencari nafkah
keluarga, sedangkan tanggung jawab mencari nafkah utama tetap tugassuami.[5]
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
Penelitian yang
di gunakan oleh peneliti kali ini, dengan menggunakan metode kulaitatif. Dengan
judul “Peran Wanita dalam Keluarga: Studi kasus Pada wanita Karir-di Surabaya”
A.
Jenis Penelitian
Jenis desain
penelitian yang digunakan adalah penelitian Deskriptif, yakni studi untuk menemukan fakta dan
interpretasi yang tepat mengenai Peran Wanita dalam Keluarga: Studi kasus Pada
wanita Karir-di Surabaya.
B. Tempat
dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di daerah Surabaya ; Jemurwonosari, Wonocolo, dan Mulyo
Rejo. Dan menghabiskan waktu selama 1 minggu untuk menemukan data sesuai
keinginan peneliti.
C. Sumber
Data
Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yakni data yang didapat
langsung saat melakukan penelitian yang diperoleh melalui keterangan responden.
D. Populasi
Dalam penelitian
tentang peran wanita dalam keluarga: studi kasus pada wanita karir-di Surabaya.
Peneliti memilih 5 responden, yakni seorang ibu rumah tangga yang mempunyai
pekerjaan sendiri dalam rumah tangganya, jadi tidak menggantungkan nafkah
sepenuhnya kepada suami, dan bisa membantu masukan perekonomian dalam keluarga.
Profil
masing-masing dari ke lima responden ;
·
Bu
Dewi, 36 tahun. Mulyorejo-surabaya
·
Bu
Ida, 35 tahun. Jemur sari-surabaya
·
Bu
Mita, 29 tahun. Wonocolo-Surabaya
·
Bu
Santi, 30 tahun. Jemursari-surabaya
·
Bu
Tika, 34 tahun. Wonocolo-surabaya
E. Teknik
Analisis Data
Langkah-langkah
yang dilakukan untuk mengolah dan menganalisis data adalah:
1. Menelaah
seluruh data dan informasi dari berbagai sumber yaitu hasil wawancara dan studi
dokumentasi
2. Meringkas
data
3. Menguraikan
kembali ringkasan data dalam bentuk narasi
4. Menyajikan
data dalam bentuk matrik data kualitatif
5. Melakukan
konseptualisasi
Data kualitatif
pada penelitian ini disajikan dalam bentuk matriks data kualitatif. Ringkasan
data dalam matriks data diuraikan kembali dalam bentuk narasi untuk kemudian
dilakukan konseptualisasi.[6]
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.
Temuan-temuan dan Riset
1.
Peran wanita dalam keluarga
Peranan wanita
itu sendiri tergantung dari fungsi wanita dalam keluarga itu sendiri. Wanita
dalam keluarga bisa berfungsi sebagai anak, ibu, istri, mertua, menantu, adik
dan kakak.
Dari penuturan
lima responden kami yakni ibu rumah tangga,
mereka menjelaskan mengenai peran dirinya dalam berkeluarga. Tentu
mereka bisa dipandang sebagai ibu dari anaknya, dan makmum bagi imamnya. Yang
dimana biasa disebut seorang ibu dan seorang istri.
Peran mereka
sebagai ibu dalam keluarga, idealnya yang bisa menjadikan dirinya teladan yang
bisa dicontoh oleh anak-anaknya dalam segala hal yang dilakukannya dalam urusan
rumah tangga.
Sedangkan wanita
dalam keluarga sebagai istri, berperan sebagai penolong, teman hidup
pasangannya di kala suka dan duka. Melayani suami bisa disebut hak kita sebagai
istri, bisa juga disebut sebagai kewajiban kita sebagai istri. Istri juga bisa
dianggap sebagai teman; teman berbagi dan teman untuk mendiskusikan segala
sesuatunya sebelum keputusan diambil oleh suami sebagai kepala keluarga.
Mereka juga
mengatakan, bahwa kita sebagai istri juga harus tunduk dan taat pada suami dengan sikap hati yang
benar. Artinya, sebagai istri mungkin pendapat kita kadang berbeda, tetapi bila
keputusan sudah diambil oleh suami, kita harus mendukung keputusan tersebut,
sesuai pepatah “karena di atas kapal hanya ada satu nahkoda dan di dalam
pernikahan hanya ada satu kepala keluarga”.
Tetapi, bukan
kita harus tunduk sepenuhnya pada suami, kita juga berhak menentang/berkomentar
jika ada sebuah kesalahan yang terdapat/di perbuat oleh suami. Kata tunduk yang
dimaksud di paragraf atas agar tak ada percecokan antara suami dan istri.
Sehingga keluarga kita bisa menjadi utuh/langgeng dan sakinah mawadah dan
warrahmah.
Peran dan fungsi
ibu sebagai “tiang rumah tangga” amatlah penting untuk terselenggaranya rumah
tangga yang sakinah yakni keluarga yang sehat dan bahagia. Seorang ibu juga
harus bisa membuat rumah tangga menjadi surga bagi keluarganya. Sehingga untuk
mencapai ketentraman dan kebahagiaan dalam keluarga dibutuhkan istri yang
saleh, yang bisa menjaga suami dan anak-anaknya. Serta dapat mengatur keadaan
rumah agar rumah menjadi rapi, menyenangkan, dan memikat hati seluruh anggota
keluarga.
Dari ke lima
responden kami, mereka juga berprofesi sebagai wanita karier. Mereka sering
mengeluh tentang beban pekerjaannya yang tidak
sedikit, belum pula beban peranannya sebagai ibu rumah tangga. Karena
dirumah mereka dituntut untuk memberi perhatian
kepada suami dan anak-anaknya. Bu mita dan bu santi menambahkan, belum
lagi jikalau dirumah dan di luar rumah (pekerjaan) terdapat konflik. Jelas
beban yang diterimanya dua kali lebih banyak dari pada wanita karir yang masih
single atau hanya ibu rumah tangga.
Meskipun,
peranan ganda mereka sangat sulit untuk dilakukan dan diterima dari salah
satunya. Mereka tetap memilih keluarga, karena bagaimanapun keluarga sangatlah
penting baginya. Mereka berusaha agar tidak ada konflik dalam keluarga atau
percecokan dengan suaminya, rata-rata dari mereka mengajak suami bekerja sama
demi pertumbuhan dan kepentingan anak.
Bu dewi
menuturkan pengalamanya, ketika anaknya dalam kondisi sakit. Ia pergi kerumah sakit dengan
menggendong anaknya. Setelah itu ia tetap menelepon kliennya dan meminta maaf
karena menunda pertemuan yang telah dijadwalkan sambil mengatakan bahwa
proposal akan segera di emailkan. Peneliti member acungan pada Ibu Dewi ini,
karena ia sangat memahami fungsinya sebagai ibu dan tetap professional sebagai
wanita karir.
Pada prinsipnya
dari apa yang dikemukakan oleh responden kepada kami dapat disimpulkan bahwa
peran seorang istri sebagai pendamping suami dapat sebagai teman, pendorong dan
penasehat yang bijaksana. Dan yang paling penting bahwa peran itu dapat
dilakukan dengan baik apabila ada keterbukaan satu sama lain, kerjasama dan
saling pengertian dalam keluarga, tak pandang sebagai wanita karier atau ibu
rumah tangga.
2. Wanita
karier dalam membangun keluarga sakinah
Kehidupan
keluarga yang sakinah adalah dambaan dan merupakan tujuan hidup bagi setiap
orang yang berkeluarga dan sekaligus merupakan bukti kekuasaan dan keagungan
Allah. Allah berfirman: 217 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.” (Q.S. al- Rum: 21).[7]
Keluarga sakinah
erat kaitannya dengan kondisi keluarga yang tenang, tidak ada konflik,
tenteram, bahagia, dan harmonis. Sebuah keluarga dikatakan sakinah apabila
suasana di dalam keluarga tersebut penuh dengan ketenangan, ketentraman, dan
kebahagiaan, serta terpeliharanya ketaatan dan kepatuhan di antara sesama
anggota keluarga untuk saling menjaga keutuhan dan kesatuan sehingga terbina
rasa cinta dan kasih sayang di dalam keluarga demi memperoleh keridhoan Allah
Swt.
Responden kami
(bu ida, bu tika, bu dewi, bu santi dan bu mita) memberikan sumbangsih asumsi
mereka, agar terjalinnya keluarga sakinah di dalam sebuah rumah tangga, yakni:
1) Antara
suami dan istri, haruslah saling pengertian.
2) Membangun
kepercayaan agar tetap setia dan saling mencintai.
3) Menghadapi
sebuah masalah haruslah didiskusikan bersama.
4) Saling
membantu dalam hal mengurus anak, dan rumah tangga.
5) Suami
istri haruslah bisa memahami kelemahan dan kekurangan masing-masing.
6) menerima
apa adanya dan lapang dada.
7) Selalu konsultasi dan musyawarah jika menemukan
pendapat/ide baru dalam membangun rumah tangga, dan
8) Saling
menghormati antar anggota keluarga.
Dalam membentuk
sebuah keluarga sakinah, istri yang sekaligus sebagai wanita karier
pertama-tama dituntut untuk melayani suaminya dengan sepenuh hati. Ia dituntut
untuk memiliki sikap kepatuhan, ketaatan dan kesetiaan terhadap suaminya.
Tentunya ketaatan dalam arti yang bersifat positif. Seorang istri harus merasa
bahwa dirinya adalah milik dan hanya diabdikan untuk suaminya dalam hal cinta
kasih bukan kepada orang lain, serta menjaga dan membelanjakan harta dan
pendapatannya secara bijaksana.
Ketaatan dan
kesetiaan adalah merupakan persoalan yang fundamental dalam kehidupan berumah
tangga. Sehingga apabila kesetiaan ini dilanggar oleh satu pihak akan membuat
keluarga menjadi berantakan. Seorang wanita karier yang telah melanggar
kesetiaan terhadap suaminya, ia akan seenaknya mengabaikan tugas-tugas rumah
tangganya. Ia akan dengan mudah melakukan tindakan penyelewengan-penyelewengan,
tidak jujur kepada diri sendiri, kepada suaminya, harta bendanya dan bahkan
kepada anak-anaknya. Seorang istri yang tidak dapat dipercaya, ibarat pencuri
di dalam rumah yang selalu dicurigai dan diawasi oleh suami dan anak-anaknya.
Oleh karena itu,
sebagai wanita karier, istri harus mampu menanamkan kepercayaan kepada suaminya, bahwa dirinya
adalah setia dan dapat dipercaya. Kalau perlu, seorang wanita karier hendaknya
mau diantarkan oleh suaminya sampai ke tempat kerja dan ia sanggup menjelaskan
bahwa teman-temannya adalah baik dan dapat dipercayai. Dengan demikian ia bisa
meraih kepercayaan dari suaminya.
Di sisi lain, di
dalam bekerja seorang wanita karier responden kami selalu meminta izin dari suaminya dan memiliki niat yang
baik yaitu semata-mata untuk mengabdikan diri kepada suami dan keluarganya,
bukan untuk dirinya sendiri atau yang lain.
Bu ida
memaparkan, Islam memperbolehkan seorang istri berkarier di luar rumah selama
mendapatkan izin dari suaminya dan semata-mata membantu mencukupi kebutuhan
keluarga. Apabila ia mengejar karier untuk melepaskan kedudukannya sebagai
anggota keluarga, atau sebagai jalan melepaskan kewajibannya sebagai istri,
maka hal tersebut dilarang dalam agama dan berlawanan dengan fitrah. Jika izin
atau kerelaan suami ini didapatkan, maka kebahagiaan dan kesejahteraan hidup
berkeluarga akan diperoleh. Seorang istri yang memperoleh izin dari suaminya,
akan dengan tenang menekuni kariernya, yang pada akhirnya akan mengantarkan
kepada kebahagiaan keluarga.
Lima responden
kami menambahkan, kita sebagai wanita karier juga dituntut untuk mampu menjaga
rahasia keluarga. mereka memahami kalau tidak bisa dipungkiri bahwa seorang
wanita karier biasanya memiliki pergaulan yang luas. Di dalam setiap pergaulan,
tidak mesti semua hal yang menyangkut urusan rumah tangga boleh diceritakan.
Mereka sebagai istri tidak boleh menceritakan tentang kelemahan-kelemahan
suaminya di hadapan orang lain. Sebab dengan membuka kelemahannya kepada orang
lain, akan menyebabkan orang lain
mempunyai pandangan yang tidak baik kepada suaminya atau setidaknya
orang lain akan mempergunjingkan kelemahan suaminya, yang pada akhirnya orang
lain akan merendahkannya.
Kita Sebagai
seorang wanita karier yang sekaligus sebagai ibu, wanita tetap dituntut untuk
mendidik dan memperhatikan anak-anaknya. Di dalam masyarakat manapun, baik yang
sudah maju maupun yang masih terbelakang, peranan ibu terhadap masa depan anak
tidak bisa dipungkiri.
Seorang anak
menjadi baik atau buruk, sukses atau tidak dalam hidupnya tentu peran seorang
ibulah yang sangat besar. Karena ibulah yang pertama kali dikenal dan dianggap
memberikan pengalaman pertama kali kepada seorang anak.
Dengan ini,
seorang ibu haruslah memaksimalkan tugasnya sebagai pengasuh anak. Maka
tidaklah cukup, apabila menginginkan anak yang sehat, bahagia, dan berakhal
baik, sementara hanya memenuhi kebutuhan lahiriyah saja. Justru pemenuhan rasa
cinta dan kasih sayang, serta pendidikan yang baiklah yang merupakan hal paling
penting yang tidak bisa diabaikan dalam menbina kepribadian anak.
Seorang ibu juga
dituntut untuk mampu memanfaatkan dan meluangkan waktu yang sebaik-baiknya
untuk bertemu dengan anak-anaknya. Sebab tidak bisa dipungkiri, seorang ibu,
sebagai wanita karier sering meninggalkan anak-anaknya dalam jangka waktu yang
panjang. Terkadang ibu berangkat kerja sementara anak belum bangun dari
tidurnya, anak pulang dari sekolah sementara ibu belum pulang, dan ibu pulang
ke rumah, si anak telah terlelap tidur. Keadaan yang demikian ini jelas tidak
menguntungkan bagi perkembangan si-anak. Dalam situasi keluarga semacam ini,
akan mudah menimbulkan konflik-konflik psikologis yang mendorong timbulnya
kenakalan anak.
Dengan demikian
sudah seharusnyalah seorang ibu menyediakan waktu khusus dan mengusahakan waktu
ekstra untuk berkumpul bersama anak-anaknya. Sebab dengan begitu kehangatan dan
kasih sayang seorang ibu dan sekaligus pendidikan langsung dari ibu sebagai
pembina utama kebahagiaan anak bisa diberikan.
3. Wanita
Karier dan Kesetaraan Gender
Tidak sedikit di
dunia ini, kaum wanita yang masih terus aktif dalam perjuangan persamaan hak
dengan kaum pria. Para wanita ini terus dan terus memperjuangkan kesetaraan
gender.
Sebenarnya
sebagian besar wanita yang sedang berjuang ini adalah para wanita yang sudah merdeka.
Biasanya mereka ini dari kalangan wanita karier yang sukses, punya prestasi dan
punya latar belakang pendidikan yang tinggi. Karena kemerdekaan inilah mereka
merasa perlu untuk berjuang atas nama semua wanita yang masih terpasung.
Penelitipun
bertanya pada responden, tanggapan mengenai kesetaraan gender dalam keluarga
mereka. akhirnya mereka mau menjelaskan tentang kesetaraan gender yang ada
dalam keluarga, seperti pada pihak wanita yang selalu menjadi kaum kedua dari
laki-laki.
Pembagian peran
dalam keluarga kini masih bersifat diskriminatif “tutur bu mita”, istri sebagai
ibu rumah tangga, sedangkan suami selalu diposisikan sebagai kepala rumah
tangga, pelindung dan memberi nafkah. Dari thesa inilah berakibat bahwa istri
amat tergantung pada suami secara ekonomi. Istripun dituntut untuk melayani
suami secara sempurna. Bila istri tidak dapat melahirkan anak, maka dianggap
tidak layak sebagai istri. Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang
mengatakan bahwa suami-istri harus saling setia, dan memberi bantuan lahir
batin.
Meskipun di Indonesia,
perempuan telah diberi peluang yang sama dengan laki-laki di bidang pendidikan,
namun pandangan masyarakat terhadap perempuan tidak mengalami perubahan yang
berarti “tambah bu ida”. Masih kuatnya anggapan bahwa pendidikan pada wanita
itu tujuannya hanyalah agar ia lebih mampu mendidik anak-anaknya. Perempuan
tetap saja dianggap the second sex, perempuan direndahkan ketika ia
hanya dirumah dan dieksploitasi ketika mereka berada ditempat kerja. Pandangan
demikian tidak hanya dianut oleh kaum awam melainkan juga cendekiawan.
BAB
V
ANALISI
DATA
Dari data yang ada, dapat dijelaskan bahwa peran wanita
dalam keluarga; sebagai seorang istri, dimana seorang istri sebagai pendamping suami dapat
sebagai teman, pendorong dan penasehat yang bijaksana. Dan yang paling penting bahwa peran itu dapat dilakukan dengan baik
apabila ada keterbukaan satu sama lain, kerjasama dan saling pengertian dalam
keluarga, tak pandang sebagai wanita karier atau ibu rumah tangga. Disamping itu, wanita dalam rumah tangga juga
berperan sebagai Ibu dari anak-anak, yang selalu mengurus dan mengasuh
anak-anaknya.
Seorang istri dan suami juga sama-sama
mempunyai hak dan kewajiban dalam mengasuh anak serta bekerja sama dalam
membentuk keluarga yang sakinah. Mereka juga (suami dan istri) sama-sama
mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarga mereka. Ini mencerminkan bahwa
adanya kesetaraan gender dalam keluarga yang kami teliti tersebut. Dalam
keluarga yang kami teliti, tidak ada sikap iri hati diantara suami dan istri
atas pembagian peran yang mereka lakukan. Seorang istri yang juga merangkap
sebagai wanita karier itu atas keinginannya sendiri dan juga atas persetujuan
dari suami.
Walaupun demikian, menurut kelima responden
kami, kedudukan suami masih yang paling
atas, seorang istri harus taat dan patuh terhadap seorang suami.
Dalam hal persepsi wanita terhadap peran
tradisional isteri pada keluarga Jawa berdasarkan status pekerjaan, isteri yang
bekerja tidak setuju pada beberapa paran tradisional isteri, sedangkan isteri
yang tidak bekerja sebagian besar setuju dengan peran tradisional isteri. Pada
responden yang setuju terhadap peran tradisional isteri (isteri harus selalu
menurut pada suami, isteri harus selalu melayani suami, isteri harus mengurus
rumahtangga dan isteri harus mengasuh sendiri anak-anak). Responden yang tidak
setuju terhadap peran tradisional isteri (isteri harus selalu menurut pada
suami, isteri harus selalu melayani suami dan isteri tidak boleh beke~a di luar
rumah), pola pengambilan keputusan terbanyak dilakukan secara bersama setara
antara suamiisteri.
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa pada keluarga Suku Jawa (Jawa Timur) istri mempunyai peranan yang cukup
besar dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, maka sebaiknya sumberdaya
pribadi (pengalaman organisasi) wanita/istri lebih ditingkatkan, agar
wanitalistri dapat berperan lebih optimal.[8]
BAB
VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat kami simpulkan bahwa, peran
seorang wanita dalam keluarga tidaka hanya pada pekerjaan domestik, namun
wanita juga mampu bekerja membantu suaminya untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya dalam melangsungkan hidup. Pembagian peran dalam keluarga menjadi
tanggung jawab bersama (suami dan istri), dengan begitu dapat tercipta
kesetaraan dan keadilan gender meskipun budaya patriarki masih diterapkan.
Walaupun demikian, seorang laki-laki dalam keluarga (suami) tetap menjadi kepala
keluarga dan seorang istri menjadi teman atau partner kerja dalam penyelesaian
maslah keluarga.
Seorang wanita tidak bisa tinggal diam melihat kondisi
perekonomian keluarga yang tergolong kurang, dengan begitu mendorong seorang
istri untuk menjadi wanita karier.
Dalam
membentuk sebuah keluarga sakinah, istri yang sekaligus sebagai wanita karier
pertama-tama dituntut untuk melayani suaminya dengan sepenuh hati. Ia dituntut
untuk memiliki sikap kepatuhan, ketaatan dan kesetiaan terhadap suaminya.
Tentunya ketaatan dalam arti yang bersifat positif. Seorang istri harus merasa
bahwa dirinya adalah milik dan hanya diabdikan untuk suaminya dalam hal cinta
kasih bukan kepada orang lain, serta menjaga dan membelanjakan harta dan
pendapatannya secara bijaksana.
[2]
Ibid., George Ritzer, hlm.491.
[5] Ika Marita Susanti, Kusdiana. 2000. Faktor-Faktor
yang Berpengaruh terhadap Pengambilan Keputusan Isteri dalam Keluarga pada Suku
Jawa, Skripsi. Bogar: Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.
[6]
Lexy J. Moeleong, Metode Penelitian
Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 247-248.
[8] Kusdiana Ika Marita Susanti, Faktor-Faktor
yang Berpengaruh terhadap Pengambilan Keputusan Isteri dalam Keluarga pada Suku
Jawa, Skripsi. Bogar: Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, 2000,.
0 komentar:
Posting Komentar