BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Bicara
Tentang masalah hukum dan politik di Indonesia memang tidak ada habis-habisnya.
Karena hukum dan politik saling berkaitan. Apalagi dengan jabatan dan jenjang
karir yang menjanjikan,seperti menjadi Calon PNS, Direktur, dan
Petinggi-petinggi Negara. Bahkan sampai-sampai mereka tidak sadar bahwa ada hukum
yang mengikat kuat dibalik semua itu.
Banyak
sekali dari mereka yang menyalah gunakan wewenang dan jabatan hanya untuk
kepentingan mereka sendiri. Misalnya masaah korupsi. Korupsi adalah suatu tanda
menuju keruntuhan sebagai juga sifat tidak jujur, pengeluaran yang bersifat
membuang-buang yang mendatangkan kemiskinan yang meningkat dan sebagainya.
Hanya
pemerintah yang tegas dan perekonomian yang sehat, dimana rakyat terjamin dalam
kebutuhannya dapat menghilangkan penyakit ini, segalanya tentu dengan disertai
kepercayaan dan penghargaan rakyat terhadap pemerintahnya yang berani
bertanggung jawab atas segala tindakannya.
Korupsi
tdak bisa dinamakan kebudayaan, atau merupakan sebagaian dari kebudayaan,
karena kebudayaan berisi segala yang terpuji yang diterima berdasar consensus
oleh rakyat dan sifatnya turun temurun. Sedangkan korupsi berarti pencurian
uang Negara atau uang kantor atau uang sesuatu proyek. Korupsi memang harus
ditindak dan dihukum, dan uang yang dikorup harus dikembalikan kepada pemilik
aslinya.[1]
Seperti
halnya kasus yang terjadi dengan Kasus Gayus Tambunan, Seorang Pegawai Dirjen
Pajak yang hanya Pegawai negri Sipil (PNS) Golongan III
A yang gajinya kurang dari dua juta rupiah tetapi di rekeningnya terdapat uang
miliaran Rupiah.
Susno
Duadji adalah mantan Kabareskrim yang berhasil membongkar Markus Pajak tentang kasus gayus tambunan
tersebut dan markus di Institusinya
sendiri. Keberaniannya membongkar kasus tersebut bahkan menyeret nama-nama
seperti Andi Kosasih, Syahril johan, sejumlah petinggi negara yang terlibat
dengan kasus Gayus, bahkan nama-nama di institusinya sendiri.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan pajak dan
bagaimana sejarah pajak?
2.
Bagaimana kasus korupsi di bidang
perpajakan?
3.
Kejatahatan apa saja yang dilakukan
pegawai pajak?
4.
Bagaimana analisis kasus korupsi di
birokrasi perpajakan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Pajak
Andriani
menjelaskan dengan detail mengenai pajak. Pendapat Andriani sebagaimana ditulis
ulang oleh Brotohadisuryo[2]
dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, menyatakan bahwa:
”Pajak
adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang menurut
ketentuan perundang-undangan tanpa mendapat prestasi kembali yang langsung
dapat ditunjuk, yang tujuannya untuk digunakan membiayai pengeluaran publik
sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
Definisi
pajak sebagaimana dikemukakan oleh S.I. Djajadiningrat, dikutip oleh Munawir[3]
dalam bukunya yang berjudul Perpajakan. Definisi pajak menurut S.I.
Djajadiningrat itu adalah bahwa:
”Pajak
sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara
disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan
tertentu tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang
ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari
negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.”
Berbeda
dengan para ahli yang lain, Rochmat Soemitro[4]
memberikan definisi pajak dari sisi mikro. Pengertian pajak menurut Rochmat
Soemitro adalah bahwa:
”Pajak,
ditinjau dari segi mikro ekonomi, merupakan peralihan uang (harta) dari sektor
swasta/individu ke sektor masyarakat/pemerintah tanpa ada imbalan yang secara
langsung dapat ditunjuk.”
Dari
berbagai pengertian di atas, kesimpulan definisi pajak telah dijelaskan oleh R.
Mansury[5]
dalam bukunya yang berjudul Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000.
Kesimpulan tersebut adalah bahwa pajak merupakan:
1.
Iuran atau pungutan kepada negara;
2.
Pajak tersebut bukan hanya dapat
dipaksakan tetapi juga ada unsur hukuman/denda;
3.
Besarnya pemungutan pajak harus
didasarkan pada ketentuan perundang-undangan;
4.
Tidak dapat ditunjukkan kontra
prestasinya secara langsung;
5.
Pajak digunakan untuk membiayai
kebutuhan ekonomi dan sosial dari suatu bangsa yang ingin dicapai dari
pengeluaran publik dengan mempergunakan hasil pemungutan pajak itu.
Dengan
demikian, dapat disampaikan bahwa pajak adalah iuran kepada negara yang dapat
dipaksakan dan besarnya pajak yang terutang dihitung berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang pemungutannya bertujuan untuk membiayai pengeluaran
publik sehubungan dengan tugas negara dalam menjalankan pemerintahan.
B.
Sejarah
Perpajakan
Apabila
ditinjau dari sejarahnya, masalah pajak ini sudah ada sejak jaman dahulu kala, walaupun
saat itu belum dinamakan pajak. Pada jaman dahulu tersebut “pajak” yang
dimaksud merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela, yang diberikan oleh
rakyat kepada rajanya. Besar kecilnya pemberian sukarela tersebut
ditentukan/ditetapkan oleh pihak rakyat. Perkembangan selanjutnya pemberian itu
berubah menjadi pemberian yang sifatnya dipaksakan dalam arti pemberian
tersebut bersifat wajib, dan segala ketentuannya ditetapkan oleh negarasecara
sepihak. Pemberian yang bersifat wajib tersebut yang juga biasa disebut dengan
upeti. Maka yang semula merupakan pemberian berubah menjadi pungutan. Namun
menurut negara bahwa pungutan yang dikenakan tersebut adalah sesuatu hal yang
wajar karena kebutuhan negara akan dana semakin besar dalam rangka untuk
memelihara kepentingan negara, yang meliputi kebutuhan untuk mempertahankan
negara dan melindungi rakyatnya dari serangan musuh, sertauntuk melaksanakan pembangunan.
Dengan demikian sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan negara baik dibidang ekonomi, sosial maupun kenegaraan. Dan dari
perkembangan pemungutan pajak tersebut, hingga kini yang namanya pungutan tersebut
tetap ada, yaitu yang disebut dengan pajak. Dimana segala ketentuan tentang
pemungutan pajak tersebut tidak lagi ditentukan oleh rakyat sepihak atau
ditentukan oleh negara secara sepihak, tetapi ditentukan oleh rakyat dan negara
secara bersama-sama.
C.
Kasus
Korupsi di Birokrasi Perpajakan
Pada
kasus Gayus Tambunan, seorang pegawai Ditjen Pajak dengan Golongan III A
ditemukan memiliki kekayaan di rekeningnya sebesar Rp 25 miliar, rumah mewah di
Kelapa Gading bernilai sekitar Rp 1 miliar serta mobil mewah Mercedez Bens dan
Ford Everest. Dengan kekayaan sebesar itu, Gayus Tambunan mengalahkan kekayaan
Presiden SBY yang melaporkan kekayaannya sebesar Rp 7 miliar di KPU saat
pilpres 2009 lalu. Sebelum menjadi miliarder, Gayus sendiri berasal dari
keluarga sederhana. Ayahnya seorang pekerja di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta
dan tinggal di sebuah gang padat penduduk di daerah Warakas, Jakarta Utara. Di
lingkungannya, Gayus dikenal cerdas sehingga bisa menyelesaikan kuliahnya di
STAN pada usia 20 tahun dan ditempatkan pada Ditjen Pajak di Jakarta. Dalam
rentang 10 tahun bekerja di Ditjen Pajak, kehidupan Gayus menjelma bak hidup di
negeri impian. Sebelum terkuak kekayaan di media massa, Gayus Tambunan pernah
berurusan dengan Pengadilan Negeri Tangerang dengan dakwaan melakukan tindak
pidana pencucian uang dan penipuan. Dakwaan ini berdasarkan aliran dana
mencurigakan yang ditemukan oleh Bareskim Mabes Polri ke rekeningnya di Bank
Central Asia (BCA) Bintaro, Kota Tangerang Selatan sebesar Rp 170 juta pada 21
September 2007 dan Rp 200 juta pada 15 Agustus 2008. Namun dakwaan tersebut
tidak berhasil menjeratnya ke penjara karena Pengadilan Negeri Tangerang
memberikan putusan vonis bebas baginya pada tanggal 12 Maret 2010. Pasca
putusan Pengadilan Tangerang, Susno Duadji membeberkan kepada wartawan pada
saat peluncuran bukunya bahwa pada saat dirinya menjabat Kabareskim terdapat
satu kasus dugaan korupsi dengan ditemukannya aliran dana mencurigakan sebesar
Rp 25 miliar ke rekening pribadi seorang pegawai pajak. Kasus tersebut kemudian
berkembang menjadi kasus korupsi pajak untuk dana Rp 24,6 miliar, sedang
sisanya dimasukkan sebagai kasus pencucian uang sebesar Rp 400 juta dan telah
ditangani Bareski sejak Maret 2009. Namun setelah Susno Duadji diberhentikan
sebagai Kabareskim, bersamaan dengan itu pula kasus korupsi pajak Gayus menguap
dan diklaim sebagai titipan dari seorang pengusaha bernama Ade Kosasih. Namun
Susno mencurigai dana tersebut sudah dicairkan dan dibagi-bagi diantara polisi
yang melibatkan tiga orang jenderal polisi. Mencuatnya kasus Gayus Tambunan
merembes pula pada program reformasi birokrasi yang diterapkan pada Departemen
Keuangan yang telah menelan biaya yang sangat besar. Pada tahun 2008 saja
tercatat anggaran yang tersedot untuk anggaran reformasi birokrasi untuk Depkeu
mencapai Rp 1 triliun.
Program
strategis tersebut bertujuan menegakkan disiplin pegawai dalam lingkup Depkeu
dengan meningkatkan renumerasi yang berbeda dengan pegawai negeri pada umumnya.
Gayus yang berstatus pegawai negeri golongan III A diberi gaji Rp 12,5 juta per
bulan. Namun bukannya Gayus semakin disiplin dengan renumerasi diatas rata-rata
pegawai negeri, namun justru menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya untuk
memperkaya diri. Inilah ironi program reformasi birokrasi ala Sri Mulyani
Indrawati.[6]
D.
Tindak
Pidana Korupsi yang Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara
Tindak
pidana korupsi yang merugikan Negara adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
orang, pegawai negri sipil, dan penyelenggara Negara yang melawan hukum,
menyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jawaban ataukedudukan dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara.[7]
Tindak
pidana korupsi yang merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara di atur
dalam:
Pasal
2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999
“setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan pwerbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjar paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puliuh) tahun dan
denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Unsur-unsurnya:
Ø Pelaku
(manusia dan korporasi).
Ø Melawan
hukum.
Ø Memperkaya
diri sendiri atau orang lain.
Ø Dapat
merugikan Negara atau perekonomian Negara.
Pasal 3 UU No. 31 Tahun
1999
“Setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
koporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanyan
atau karena jabatn atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima pulh juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Unsur-unsurnya:
Ø Pelaku
(manusia dan koporasi).
Ø Menguntungkan
diri sendiri, orang lain, pelaku, atau koporasi.
Ø Menyalahgunakan
kewenangan Negara, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan.
Ø Merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara. [8]
E. Kejahatan Dilakukan Oleh Pegawai
Pajak
Salah
satu tugas pegawai pajak yang terkait dengan kementeriannya, khususnya
Direktorat Jenderal Pajak adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Dalam pelaksaan tugas itu, pegawai pajak tidak boleh melakukan
kejahatan yang mengarah pada perbuatan melanggar hukum pajak.
1.
Bertindak Diluar Kewenangan
Sebenarnya, pegawai
pajak dilarang bertindak diluar kewenagan yang diberikan oleh hukum pajak.
Larangan ini bertujuan agar pegawai pajak tidak melakuakn kejahatan di bidang perpajakan. Dalm hal ini pegaai pajak
diharapkan mapu berprilaku terbaik ketika bertindak berdasarkan kewenangan
kepada wajib pajak.
Pasal 36A ayat (2)
UUKUP menegaskan “pegawai pajak yang
dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenanganny yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat di
adaukan kepada unit internal Departemen keuangan yang berwenag melakukan
pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti nelakukannya dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. Untuk
menetahui bahwa kejahatan itu termasuk delik pajak, harus memenuhi unsure-unsur
sebagai berikut:
a.
Dilakukan oleh pegawai pajak;
b.
Dengan kesengajaan;
c.
Bertindak diluar kewenangan;
d.
Ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.
2.
Penyalahgunaan Kekuasaan
Kekuasan yang dimiliki
oleh pegwai pajak merupakan konsekuensi dari tugas yang dipercayakan oleh
Negara. Kekuasaan itu tidak boleh disalahgunakan dalam rangka pemberian
pelayanan kepada wajib pajak yang melaksakan hak dan kewajibannya. Jika kekuasaan
itu digunakan tidak pada bidang tugasnya
untuk menguntungkan dri sendiri seara melawan hukum berarti pegawai pajak
melakukan kejahatan karena penyalahgunaan kekuasaan.
Penyalahgunaan
kekuasaan oleh pegawai pajak diatur pada pasal 36A ayat (4) UUKUP. Ketentuan
ini menentukan “pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri
secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi dan perubahannya”.
Untuk mengetahui
kejahatan ini merupakan delik pajak, harus memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
a.
Dilakukan oleh pegawai pajak
b.
Dengan maksud menguntungkan diri sendiri
c.
Secara melawan hukum
d.
Menyalahgukan kekuasaanya
e.
Memaksa sesorang untuk memberikan
sesuatu, untuk membayar; atau menerima pembayaran, atau untuk mngerjakan sesuatu
bagi dirinya sendiri.[9]
F.
Analisis
Kasus Korupsi Gayus Tambunan
Mengacu
pada kasus korupsi Gayus Tambunan, dapat dijelaskan bahwa tindakan korupsi yang
dilakukan oleh Gayus itu dapat terlaksana karena dia memiliki suatu kekuasaan
dan wewenang. Seperti yang kita ketahui bahwa Gayus bekerja di kantor pusat
pajak, memegang jabatan sebagai Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak.
Posisi yang demikian sangat memudahkannya untuk memanipulasi data, mempengaruhi
suatu kebijakan sehingga ia dapat meraup keuntungan yang besar untuk dirinya
sendiri. Menurut sumber Media Indonesia, modus Gayus melakukan pelanggaran
dengan memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai
Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007
Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan
dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam
pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih pemenangan banding. Misalnya
seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp 3 Miliar. Lalu dia keberatan,
ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Gayus memenangkan banding wajib
pajak. Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), diduga modus Gayus
memanipulasi pajak dengan bermain kurs rupiah saat menangani pajak Bumi
Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban
pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu (www.mediaindonesia.com, November
2009). Dari perkara-perkara seperti ini lah Gayus berhasil mendapatkan
keuntungan tersebut. Dia memiliki kepintaran dan kelihaian yang merupakan
‘senjata’ dari sebuah kekuasaan dan kewenangan.
Manusia
memiliki sifat dasar untuk terus mengonsumsi, atau paling tidak memenuhi
kebutuhan pokoknya. Oleh karena itu, besar kemungkinan tuntutan-tuntutan
pribadi tetap membayangi manusia di dalam melaksanakan kewajibannya, yang
seharusnya kewajiban itu menuntut seseorang untuk dapat berperilaku bersih dan
mengutamakan kepentingan umum dan tanggung jawab. Hal ini pula yang menimpa
Gayus Tambunan. Ada kecurigaan bahwa kasus korupsi, penggelapan dan pencucian
uang disebabkan oleh suap yang dilakukan oleh para pengusaha agar mau
memudahkan jalan bagi usaha mereka. Seperti misalnya ketika Gayus menerima
aliran duit sebesar Rp 370 juta. Selain itu, ada keterlibatan pengusaha bernama
Andi Kosasih dalam kasus korupsi Gayus Tambunan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pajak
adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan dan besarnya pajak yang
terutang dihitung berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang pemungutannya
bertujuan untuk membiayai pengeluaran publik sehubungan dengan tugas negara
dalam menjalankan pemerintahan. Pajak sudah ada sejak zaman dahulu, namun pajak
merupakan pemberian secara sukarela dari rakyat untuk Negara. Selanjutnya,
pajak diwajibkan dan ditetapkan oleh
dengan ada unsure paksaan untuk membayarnya. Saat ini pajak masih tetap
ada dan wajib dibayar rakyat untuk membantu keuangan Negara, namun jumlah
pembayaran pajak tidak lagi ditentukan Negara saja tetapi ditentukan bersama
sesuai kesepakatan rakyat dan Negara.
Salah
satu kasus korupsi dibirokrasi perajakan adalah kasus korupsi Gayus Tambunan
seorang pegawai negri sipil yang dipekerjakan di bidang perpajakan. Tindakan
korupsi yang dilakukan oleh Gayus itu dapat terlaksana karena dia memiliki
suatu kekuasaan dan wewenang.
DAFTAR PUSTAKA
Djafar
Sain Muhammad dan Eka Merdekawti Djafar. Kejahatan
di Bidang Perpajakn. Jakatar: PT RajaGrafindo Persada. 2012.
Surachmin dan Suhandi Cahaya. Strategi dan Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika 2011.
Diambil dari sebuah artikel
yang berjudul “Kasus Gayus Tambunan dan Survei Korupsi”, yang di
publikasikan pada JUMAT, 02 APRIL 2010 | 21:11 WITA. Artikel tersebut bisa
Ermansjah Djaja. Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
Brotohadiharjo S., Pengantar
Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco NV. 1982.
Munawir, S., Perpajaka.,
Liberty. 1992.
Rochmat Soemitro. Asas
dan Dasar Perpajakan. Bandung: PT Eresco. 1992.
[1] Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakt Indonesia,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 216-217
[2] Brotohadiharjo
S., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Eresco NV, 1982, hlm.2.
[3] Munawir,
S., Perpajakan, Liberty, 1992, hlm. 3.
[4] Rochmat
Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung: PT Eresco, 1992, hlm. 2.
[5] Prof.
R. Mansury, Ph.D., Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000, YP4, 2002,
Jakarta, hlm. 2-3.
[6]
Diambil dari sebuah artikel yang
berjudul “Kasus Gayus Tambunan dan Survei Korupsi”, yang di publikasikan pada
JUMAT, 02 APRIL 2010 | 21:11 WITA. Artikel tersebut bisa dilihat di http://metronews.fajar.co.id/read/87657/19/index.php
[7] Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 59
[8] Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), hal. 17-18
[9] Muhammad Djafar Sain dan Eka
Merdekawti Djafar, Kejahatan di Bidang
Perpajakn, (Jakatar: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hal. 25-27
0 komentar:
Posting Komentar