Minggu, 21 September 2014

Makalah sosiologi Korupsi Pajak

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Bicara Tentang masalah hukum dan politik di Indonesia memang tidak ada habis-habisnya. Karena hukum dan politik saling berkaitan. Apalagi dengan jabatan dan jenjang karir yang menjanjikan,seperti menjadi Calon PNS, Direktur, dan Petinggi-petinggi Negara. Bahkan sampai-sampai mereka tidak sadar bahwa ada hukum yang mengikat kuat dibalik semua itu.
Banyak sekali dari mereka yang menyalah gunakan wewenang dan jabatan hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Misalnya masaah korupsi. Korupsi adalah suatu tanda menuju keruntuhan sebagai juga sifat tidak jujur, pengeluaran yang bersifat membuang-buang yang mendatangkan kemiskinan yang meningkat dan sebagainya.
Hanya pemerintah yang tegas dan perekonomian yang sehat, dimana rakyat terjamin dalam kebutuhannya dapat menghilangkan penyakit ini, segalanya tentu dengan disertai kepercayaan dan penghargaan rakyat terhadap pemerintahnya yang berani bertanggung jawab atas segala tindakannya.
Korupsi tdak bisa dinamakan kebudayaan, atau merupakan sebagaian dari kebudayaan, karena kebudayaan berisi segala yang terpuji yang diterima berdasar consensus oleh rakyat dan sifatnya turun temurun. Sedangkan korupsi berarti pencurian uang Negara atau uang kantor atau uang sesuatu proyek. Korupsi memang harus ditindak dan dihukum, dan uang yang dikorup harus dikembalikan kepada pemilik aslinya.[1]
Seperti halnya kasus yang terjadi dengan Kasus Gayus Tambunan, Seorang Pegawai Dirjen Pajak  yang  hanya Pegawai negri Sipil (PNS) Golongan III A yang gajinya kurang dari dua juta rupiah tetapi di rekeningnya terdapat uang miliaran Rupiah.
Susno Duadji adalah mantan Kabareskrim yang berhasil membongkar  Markus Pajak tentang kasus gayus tambunan tersebut  dan markus di Institusinya sendiri. Keberaniannya membongkar kasus tersebut bahkan menyeret nama-nama seperti Andi Kosasih, Syahril johan, sejumlah petinggi negara yang terlibat dengan kasus Gayus, bahkan nama-nama di institusinya sendiri.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pajak dan bagaimana sejarah pajak?
2.      Bagaimana kasus korupsi di bidang perpajakan?
3.      Kejatahatan apa saja yang dilakukan pegawai pajak?
4.      Bagaimana analisis kasus korupsi di birokrasi perpajakan?








BAB II
PEMBAHASAN
A.     Definisi Pajak
Andriani menjelaskan dengan detail mengenai pajak. Pendapat Andriani sebagaimana ditulis ulang oleh Brotohadisuryo[2] dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, menyatakan bahwa:
”Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang menurut ketentuan perundang-undangan tanpa mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, yang tujuannya untuk digunakan membiayai pengeluaran publik sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
Definisi pajak sebagaimana dikemukakan oleh S.I. Djajadiningrat, dikutip oleh Munawir[3] dalam bukunya yang berjudul Perpajakan. Definisi pajak menurut S.I. Djajadiningrat itu adalah bahwa:
”Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.”
Berbeda dengan para ahli yang lain, Rochmat Soemitro[4] memberikan definisi pajak dari sisi mikro. Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro adalah bahwa:
”Pajak, ditinjau dari segi mikro ekonomi, merupakan peralihan uang (harta) dari sektor swasta/individu ke sektor masyarakat/pemerintah tanpa ada imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk.”
Dari berbagai pengertian di atas, kesimpulan definisi pajak telah dijelaskan oleh R. Mansury[5] dalam bukunya yang berjudul Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Kesimpulan tersebut adalah bahwa pajak merupakan:
1.      Iuran atau pungutan kepada negara;
2.      Pajak tersebut bukan hanya dapat dipaksakan tetapi juga ada unsur hukuman/denda;
3.      Besarnya pemungutan pajak harus didasarkan pada ketentuan perundang-undangan;
4.      Tidak dapat ditunjukkan kontra prestasinya secara langsung;
5.      Pajak digunakan untuk membiayai kebutuhan ekonomi dan sosial dari suatu bangsa yang ingin dicapai dari pengeluaran publik dengan mempergunakan hasil pemungutan pajak itu.
Dengan demikian, dapat disampaikan bahwa pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan dan besarnya pajak yang terutang dihitung berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang pemungutannya bertujuan untuk membiayai pengeluaran publik sehubungan dengan tugas negara dalam menjalankan pemerintahan.
B.     Sejarah Perpajakan
Apabila ditinjau dari sejarahnya, masalah pajak ini sudah ada sejak jaman dahulu kala, walaupun saat itu belum dinamakan pajak. Pada jaman dahulu tersebut “pajak” yang dimaksud merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela, yang diberikan oleh rakyat kepada rajanya. Besar kecilnya pemberian sukarela tersebut ditentukan/ditetapkan oleh pihak rakyat. Perkembangan selanjutnya pemberian itu berubah menjadi pemberian yang sifatnya dipaksakan dalam arti pemberian tersebut bersifat wajib, dan segala ketentuannya ditetapkan oleh negarasecara sepihak. Pemberian yang bersifat wajib tersebut yang juga biasa disebut dengan upeti. Maka yang semula merupakan pemberian berubah menjadi pungutan. Namun menurut negara bahwa pungutan yang dikenakan tersebut adalah sesuatu hal yang wajar karena kebutuhan negara akan dana semakin besar dalam rangka untuk memelihara kepentingan negara, yang meliputi kebutuhan untuk mempertahankan negara dan melindungi rakyatnya dari serangan musuh, sertauntuk melaksanakan pembangunan. Dengan demikian sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik dibidang ekonomi, sosial maupun kenegaraan. Dan dari perkembangan pemungutan pajak tersebut, hingga kini yang namanya pungutan tersebut tetap ada, yaitu yang disebut dengan pajak. Dimana segala ketentuan tentang pemungutan pajak tersebut tidak lagi ditentukan oleh rakyat sepihak atau ditentukan oleh negara secara sepihak, tetapi ditentukan oleh rakyat dan negara secara bersama-sama.

C.     Kasus Korupsi di Birokrasi Perpajakan
Pada kasus Gayus Tambunan, seorang pegawai Ditjen Pajak dengan Golongan III A ditemukan memiliki kekayaan di rekeningnya sebesar Rp 25 miliar, rumah mewah di Kelapa Gading bernilai sekitar Rp 1 miliar serta mobil mewah Mercedez Bens dan Ford Everest. Dengan kekayaan sebesar itu, Gayus Tambunan mengalahkan kekayaan Presiden SBY yang melaporkan kekayaannya sebesar Rp 7 miliar di KPU saat pilpres 2009 lalu. Sebelum menjadi miliarder, Gayus sendiri berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang pekerja di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan tinggal di sebuah gang padat penduduk di daerah Warakas, Jakarta Utara. Di lingkungannya, Gayus dikenal cerdas sehingga bisa menyelesaikan kuliahnya di STAN pada usia 20 tahun dan ditempatkan pada Ditjen Pajak di Jakarta. Dalam rentang 10 tahun bekerja di Ditjen Pajak, kehidupan Gayus menjelma bak hidup di negeri impian. Sebelum terkuak kekayaan di media massa, Gayus Tambunan pernah berurusan dengan Pengadilan Negeri Tangerang dengan dakwaan melakukan tindak pidana pencucian uang dan penipuan. Dakwaan ini berdasarkan aliran dana mencurigakan yang ditemukan oleh Bareskim Mabes Polri ke rekeningnya di Bank Central Asia (BCA) Bintaro, Kota Tangerang Selatan sebesar Rp 170 juta pada 21 September 2007 dan Rp 200 juta pada 15 Agustus 2008. Namun dakwaan tersebut tidak berhasil menjeratnya ke penjara karena Pengadilan Negeri Tangerang memberikan putusan vonis bebas baginya pada tanggal 12 Maret 2010. Pasca putusan Pengadilan Tangerang, Susno Duadji membeberkan kepada wartawan pada saat peluncuran bukunya bahwa pada saat dirinya menjabat Kabareskim terdapat satu kasus dugaan korupsi dengan ditemukannya aliran dana mencurigakan sebesar Rp 25 miliar ke rekening pribadi seorang pegawai pajak. Kasus tersebut kemudian berkembang menjadi kasus korupsi pajak untuk dana Rp 24,6 miliar, sedang sisanya dimasukkan sebagai kasus pencucian uang sebesar Rp 400 juta dan telah ditangani Bareski sejak Maret 2009. Namun setelah Susno Duadji diberhentikan sebagai Kabareskim, bersamaan dengan itu pula kasus korupsi pajak Gayus menguap dan diklaim sebagai titipan dari seorang pengusaha bernama Ade Kosasih. Namun Susno mencurigai dana tersebut sudah dicairkan dan dibagi-bagi diantara polisi yang melibatkan tiga orang jenderal polisi. Mencuatnya kasus Gayus Tambunan merembes pula pada program reformasi birokrasi yang diterapkan pada Departemen Keuangan yang telah menelan biaya yang sangat besar. Pada tahun 2008 saja tercatat anggaran yang tersedot untuk anggaran reformasi birokrasi untuk Depkeu mencapai Rp 1 triliun.
Program strategis tersebut bertujuan menegakkan disiplin pegawai dalam lingkup Depkeu dengan meningkatkan renumerasi yang berbeda dengan pegawai negeri pada umumnya. Gayus yang berstatus pegawai negeri golongan III A diberi gaji Rp 12,5 juta per bulan. Namun bukannya Gayus semakin disiplin dengan renumerasi diatas rata-rata pegawai negeri, namun justru menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya untuk memperkaya diri. Inilah ironi program reformasi birokrasi ala Sri Mulyani Indrawati.[6]

D.    Tindak Pidana Korupsi yang Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara
Tindak pidana korupsi yang merugikan Negara adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, pegawai negri sipil, dan penyelenggara Negara yang melawan hukum, menyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya  karena  jawaban ataukedudukan dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.[7]
Tindak pidana korupsi yang merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara di atur dalam:
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999
“setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pwerbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjar paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puliuh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Unsur-unsurnya:
Ø  Pelaku (manusia dan korporasi).
Ø  Melawan hukum.
Ø  Memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Ø  Dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara.
Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanyan atau karena jabatn atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara  atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima pulh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Unsur-unsurnya:
Ø  Pelaku (manusia dan koporasi).
Ø  Menguntungkan diri sendiri, orang lain, pelaku, atau koporasi.
Ø  Menyalahgunakan kewenangan Negara, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Ø  Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. [8]

E.     Kejahatan Dilakukan Oleh Pegawai Pajak
Salah satu tugas pegawai pajak yang terkait dengan kementeriannya, khususnya Direktorat Jenderal Pajak adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam pelaksaan tugas itu, pegawai pajak tidak boleh melakukan kejahatan yang mengarah pada perbuatan melanggar hukum pajak.
1.      Bertindak Diluar Kewenangan
Sebenarnya, pegawai pajak dilarang bertindak diluar kewenagan yang diberikan oleh hukum pajak. Larangan ini bertujuan agar pegawai pajak tidak melakuakn kejahatan di  bidang perpajakan. Dalm hal ini pegaai pajak diharapkan mapu berprilaku terbaik ketika bertindak berdasarkan kewenangan kepada wajib pajak.
Pasal 36A ayat (2) UUKUP menegaskan “pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenanganny yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat di adaukan kepada unit internal Departemen keuangan yang berwenag melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti nelakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. Untuk menetahui bahwa kejahatan itu termasuk delik pajak, harus memenuhi unsure-unsur sebagai berikut:
a.       Dilakukan oleh pegawai pajak;
b.      Dengan kesengajaan;
c.       Bertindak diluar kewenangan;
d.      Ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.

2.      Penyalahgunaan Kekuasaan
Kekuasan yang dimiliki oleh pegwai pajak merupakan konsekuensi dari tugas yang dipercayakan oleh Negara. Kekuasaan itu tidak boleh disalahgunakan dalam rangka pemberian pelayanan kepada wajib pajak yang melaksakan hak dan kewajibannya. Jika kekuasaan itu digunakan  tidak pada bidang tugasnya untuk menguntungkan dri sendiri seara melawan hukum berarti pegawai pajak melakukan kejahatan karena penyalahgunaan kekuasaan.
Penyalahgunaan kekuasaan oleh pegawai pajak diatur pada pasal 36A ayat (4) UUKUP. Ketentuan ini menentukan “pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan perubahannya”.
Untuk mengetahui kejahatan ini merupakan delik pajak, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Dilakukan oleh pegawai pajak
b.      Dengan maksud menguntungkan diri sendiri
c.       Secara melawan hukum
d.      Menyalahgukan kekuasaanya
e.       Memaksa sesorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar; atau menerima pembayaran, atau untuk mngerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.[9]

F.      Analisis Kasus Korupsi Gayus Tambunan
Mengacu pada kasus korupsi Gayus Tambunan, dapat dijelaskan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh Gayus itu dapat terlaksana karena dia memiliki suatu kekuasaan dan wewenang. Seperti yang kita ketahui bahwa Gayus bekerja di kantor pusat pajak, memegang jabatan sebagai Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Posisi yang demikian sangat memudahkannya untuk memanipulasi data, mempengaruhi suatu kebijakan sehingga ia dapat meraup keuntungan yang besar untuk dirinya sendiri. Menurut sumber Media Indonesia, modus Gayus melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007 Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih pemenangan banding. Misalnya seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp 3 Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Gayus memenangkan banding wajib pajak. Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs rupiah saat menangani pajak Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu (www.mediaindonesia.com, November 2009). Dari perkara-perkara seperti ini lah Gayus berhasil mendapatkan keuntungan tersebut. Dia memiliki kepintaran dan kelihaian yang merupakan ‘senjata’ dari sebuah kekuasaan dan kewenangan.
Manusia memiliki sifat dasar untuk terus mengonsumsi, atau paling tidak memenuhi kebutuhan pokoknya. Oleh karena itu, besar kemungkinan tuntutan-tuntutan pribadi tetap membayangi manusia di dalam melaksanakan kewajibannya, yang seharusnya kewajiban itu menuntut seseorang untuk dapat berperilaku bersih dan mengutamakan kepentingan umum dan tanggung jawab. Hal ini pula yang menimpa Gayus Tambunan. Ada kecurigaan bahwa kasus korupsi, penggelapan dan pencucian uang disebabkan oleh suap yang dilakukan oleh para pengusaha agar mau memudahkan jalan bagi usaha mereka. Seperti misalnya ketika Gayus menerima aliran duit sebesar Rp 370 juta. Selain itu, ada keterlibatan pengusaha bernama Andi Kosasih dalam kasus korupsi Gayus Tambunan.



BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan dan besarnya pajak yang terutang dihitung berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang pemungutannya bertujuan untuk membiayai pengeluaran publik sehubungan dengan tugas negara dalam menjalankan pemerintahan. Pajak sudah ada sejak zaman dahulu, namun pajak merupakan pemberian secara sukarela dari rakyat untuk Negara. Selanjutnya, pajak diwajibkan dan ditetapkan oleh  dengan ada unsure paksaan untuk membayarnya. Saat ini pajak masih tetap ada dan wajib dibayar rakyat untuk membantu keuangan Negara, namun jumlah pembayaran pajak tidak lagi ditentukan Negara saja tetapi ditentukan bersama sesuai kesepakatan rakyat dan Negara.
Salah satu kasus korupsi dibirokrasi perajakan adalah kasus korupsi Gayus Tambunan seorang pegawai negri sipil yang dipekerjakan di bidang perpajakan. Tindakan korupsi yang dilakukan oleh Gayus itu dapat terlaksana karena dia memiliki suatu kekuasaan dan wewenang.







DAFTAR PUSTAKA
Djafar Sain Muhammad dan Eka Merdekawti Djafar. Kejahatan di Bidang Perpajakn. Jakatar: PT RajaGrafindo Persada. 2012.
      Surachmin dan Suhandi Cahaya. Strategi dan Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika 2011.
      Diambil dari sebuah artikel  yang berjudul “Kasus Gayus Tambunan dan Survei Korupsi”, yang di publikasikan pada JUMAT, 02 APRIL 2010 | 21:11 WITA. Artikel tersebut bisa
      Ermansjah Djaja. Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
      Brotohadiharjo S., Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco NV. 1982.
      Munawir, S., Perpajaka., Liberty. 1992.
      Rochmat Soemitro. Asas dan Dasar Perpajakan. Bandung: PT Eresco. 1992.




[1] Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakt Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 216-217
[2] Brotohadiharjo S., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Eresco NV, 1982, hlm.2.
[3] Munawir, S., Perpajakan, Liberty, 1992, hlm. 3.
[4] Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung: PT Eresco, 1992, hlm. 2.
[5] Prof. R. Mansury, Ph.D., Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000, YP4, 2002, Jakarta, hlm. 2-3.
[6] Diambil dari sebuah artikel  yang berjudul “Kasus Gayus Tambunan dan Survei Korupsi”, yang di publikasikan pada JUMAT, 02 APRIL 2010 | 21:11 WITA. Artikel tersebut bisa dilihat di http://metronews.fajar.co.id/read/87657/19/index.php
[7] Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 59
[8] Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 17-18
[9] Muhammad Djafar Sain dan Eka Merdekawti Djafar, Kejahatan di Bidang Perpajakn, (Jakatar: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hal. 25-27

0 komentar:

Posting Komentar