Selasa, 23 September 2014

Makalah Sosiologi Islam

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sosiologi Islam
Dilihat dari pengetiannya sosiologi mempunyai pengertian bahwa ilmu yang mempelajari hubungan timbale balik antara orang yang satu dengan yang lain yang saling berinteraksi serta gejala sosial dan non sosial yang ada. Gejala-gejala itu ada setelah adanya kontak antara manusia sesama manusia ataupun alam.
Dari hal tersebut dapat di artikan bahwa sosiologi islam adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik, gejala sosial dan non sosial yang terjadi dalam masyarakat islam pada khususnya. Dalam pemahaman masyarakat islam adalh masyarakat yang tidak lebih dari sekumpulan individu atau keluarga.[1] Dalam masyarakat ini ada tiga komponen yang terdapat didalamnya yang menghubungkan antarindividu di dalamnya:
1.      Adanya pemikiran-pemikiran yang paling berpengaruh dalam masyarakat
2.      Adanya perasaan-perasaan yang berpengaruh masyarakat
3.      System pemerintahan yang  berkuasa
Ketiga komponen ini membentuk ikatan umum antar individu dalam masyarakat. Ikatan-ikatan umum inilah yang menjadikan masyarakat membentuk prilaku dalam kehidupan individu, termasuk segala macam aktivitas yang terjadi.[2] Berbagai ilustrasi pertanyaan yang mendasar “dari mana kita (ontologi), kemana tujuan kita (historis) dan apa yang terjadi setelah kita mati (aksiologi)”. Dengan pertanyaan tersebut akan menimbulkan jawaban secara umum dalam memilih tindakan dalam hidup. Bagi kaum muslimim itu berpegang teguh pada alquran dan hadist.
Perasaan-perasaan yang bersifat umum sangat luas dan ditentukan pemikiran masyarakat, baik atau tudak baik, tabu atau tidak tabu, oleh masyarakat islam ini diwaranai oleh Al Qur’an dan hadis yang di gunakan sebagai pedoman otentik. Disamping itu ada hal lain yang mempersatukan ikatan antar individu  dalam masyarakat yaitu kekuasaan ataupun pemerintah. Secara umum masyarakat sudah mengetahuinya, dengan kekuasaannya dia bisa beropini dan memperbaiki hubungan masarakat dan antar Negara.

B.     Epistemologi Sosiologi Profetik
Epistemologi (filsafat ilmu) adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat, dalam pengembangannya menunjukkan bahwa epistemologi secara langsung berhubungan secara radikal (mendalam) dengan diri dan kehidupan manusia. Pokok kajian epistemologi akan sangat menonjol bila dikaitan dengan pembahasan mengenai hakekat epistemologi itu sendiri. Secara linguistic kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia lazim disebut filsafat pengetahuan. c
Ilmu Sosial Profetik atau biasa disingkat ISP adalah salah satu gagasan penting Kuntowijoyo. Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja tapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di bidang sosiologi misalnya muncul gagasan Sosiologi Profetik yang dimaksudkan sebagai sosiologi berparadigma ISP.
Gagasan mengenai Ilmu Sosial Profetik (ISP) menurut Kuntowijoyo dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal[3] dan Roger Geraudy.[4] Dengan bersumber pada kedua tokoh ini, Kuntowijoyo memaknai tentang isi penting dari penunaian tugas-tugas kenabian (etika profetik) yang telah menjadi bagian darii proses sejarah umat manusia. Abdul Quddus (seorang sufi besar Islam dari Ganggoh) mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah memberikan “kesadaran kreatif” (creative consciousness) dalam menciptakan suatu dunia ide baru (Islam) dalam menghadapi kekuatan sejarah.
Berbeda dengan kalangan sufi umumnya yang lebih mengandung dimensi mistis, sedang kemunculan Nabi telah memasukkan unsur-unsur kenabian yang menancap dalam akar kehidupan duniawi. Artinya, realitas “perjuangan” Nabi lebih membumi dan masuk pada kancah zaman dan pergolakan sejarah manusia.
Sementara Roger Geraudy memandang kemerosotan peradaban Barat yang sekuler sebagai awal dari upaya untuk membangun dan menciptakan peradaban baru yang didasarkan pada keagamaan, ia menyatakan bahwa di tengah hancurnya peradaban umat manusia di mana filsafat Barat memiliki banyak kelemahan, maka kita sebaliknya menghidupkan kembali warisan Islam yan telah ada. Yang diambil adalah “Filsafat Kenabian” (filsafat profetika) dari Islam. Kenapa? Karena, yang menjadi pertanyaan sentral dalam filsafat Islam adalah: bagaimana wahyu (kenabian) itu mungkin? Yaitu, bagaimana keterlibatan aktif sejarah kenabian dalam proses penyampaian wahyu itu telah mampu mengubah sejarah masyarakat menjadi positif. Garaudy mengklaim bahwa bangunan filsafat itu telah dilakukan oleh para filsuf muslim sejak Al-Farabi sampai dengan Mulla Shadra, dengan puncaknya Ibn ‘Arabi.
Ide dasar dari Iqbal dan Garaudy tersebut memperoleh ruang “artikulasi” ilmiah ketika Kuntowijiyo menggali langsung dari Al-Quran, ketika itu katanya, sisi profetik yang harus diemban oleh ilmu sosial yang berbeda dari dakwah harus memenuhi tiga unsur yakni (amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuna billah. Unsur pertama adalah amar ma’ruf yang diartikan sebagai humanisasi. Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artiya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan,kekerasan, dan kebencian dari manusia.[5] Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.[6]
Dari epistimologi di atas, sosiologi profetik memiliki paradigma-baik mandiri dari paradigma sosiologi secara umum maupun menyatu dalam keseluruhan paradigma sosiologi, artinya paradigma sosiologo profetik juga tidak terlepas dari paradigma sosiologi secara umum, meski nanti akan ada upaya mengaitkan dengan teks-teks Islam, entah sifatnya teks ke konteks atau konteks ke teks, keduanya tidaklah begitu menjadi masalah, meski yang harus ditekankan oleh sosiologi adalah dari konteks ke teks, karena fakta-fakta empiris memerlukan penjelasan rasional, yang sering kali atau kadang-kadang mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma, tetapi dalam “rumah” sosiologi profetik sedapat mungkin konteks memperoleh legitimasi nilai etisnya dari Islam.
Pelebaran obyek studi sosiologi dan humaniora dengan menggunakan cara pandang Islam sebagai bentuk pertanggungjawaban intelektual akademisi muslim, yang sejak lama mengumandangkan islamisasi ilmu. Dalam waktu yang lama terjadi pemisahan antara ilmu-ilmu empiris dengan ilmu-ilmu agama. Selama ini yang lazim dikenal dalam ilmu sosial humaniora terbagi menjadi dua macam, yaitu ilmu-ilmu alami (kauniyah) dan ilmu-ilmu Quran (qauliyah). Pembagian ini menuut Kuntowijoyo perlu segera ditambahkan dengan ilmu nafsiyah. Kalau ilmu Kauniyah berkaitan dengan hukum Tuhan, dan ilmu nafsiyah berkaitan dengan, nilai, kesadaran. Ilmu nafsiyah itu menurut Kuntowijoyo disebut dengan humaniora. Pembagian ini tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ilmuwan sebelumnya, Ibn Sina mengelompokkan ke dalam tiga kategori teori ilmu pengetahuan Islam, yaitu ilmu-ilmu metafisika, ilmu-ilmu matematika, dan ilmu-ilmu alam atau fisik.
Pembagian seperti Ibn Sina di atas jug ditemukan dalam tradisi sosiologi klasik, August Comte misalnya membuat klasifikasi ilmu menjadi tiga yakni teologi, metafisika, dan positivis. Kemudian Kuntowijoyo membuat fase perkembangan keilmuwan dalam kerangka yang hampir sama yakni periode utopia, periode ideologi, dan periode ide. dalam kerangka perjuangan politik kalangan Islam misalnya, pada periode utopia, para pemimpin Islam hendak mendirikan negara Islam seperti apa yang kita harapkan tanpa melihat kondisi objektif. Periode ideologi, umat Islam menghendaki negara Islam teokrasi yang demokratis, sementara periode ide lebih menekankan pada spesifikasi seperti ekonomi Islam, universitas Islam, lebih dari itu kita butuh ide Islam tentang etika, estetika, pemikiran filsafat, dan lain-lain.

C.    Paradigma Sosiologi
Istilah paradigma (paradigm) pertama kali dikenalkan oleh Thomas Kuhn pada tahun 1962 dalam karyanya The Scientific Revolution. Karena karya ini muncul dari filsafat, ia bernasib memperoleh status marjinal dalam sosiologi terutama karena memusatkan perhatian pada ilmu yang sukar (contohnya, fisika) dan sedikit sekali membahas tentang ilmu social. (George Ritzer & Goodman)
Perbedaan paradigma dalam mengembangkan pengetahuan menurut Kuhn, akan melahirkan pengetahuan yang berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode of thought) para ilmuwan berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu realitas, maka dengan sendirinya pemahaman mereka tentang realitas itu juga menjadi beragam. Perbedaan paradigma ini menurut George Ritzer disebabkan tiga faktor utama. Pertama, perbedaan pandangan filsafat yang mendasari pemikirannya. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda, maka teori-teori yang dibangun dan dikembangkan masing-masing komunitas ilmuwan juga berbeda. Ketiga, metode yang digunakan untuk memahami dan menerangkan substansi ilmu berbeda antar komunitas ilmuwan lain.[7]
Berkembangnya suatu paradigma akan dtentukan oleh berbagai perangkat pendukung paradigma tersebut sehingga diterima luas, Fakih menyebut bahwa paradigma adalah konstelansi teori, pertanyaan, pendekatan, serta prosedur yang digunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran, konstelasi tersebut dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberikan makna realitas. Dalam hal ini, suatu paradigma memiliki kekuatan justru terletak pada kemampuannya membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa metode yang kita gunakan untukmeneliti dan berbuat.

Dalam sosiologi, paradigma muncul, berkembang, dan mengalami keruntuhan bukan soal benar dan salahnya suatu teori atau paradigma, tetapi lebig dipengaruhi oleh faktor pendukung yang menang, karena memiliki kekuatan dan kekuasaan dari pengikut paradigma yang dikalahkan. Paradigma merupakan cara suatu ilmu untuk memahami realitas dan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Sosiologi sendiri memiliki beragam paradigma dengan keunggulan masing-masing dalam memotret realitas kehidupan masyarakat, antarsatu paradigma dengan paradigma lainnya saling melengkapi.
Oleh sebab itulah, paradigma keilmuan sosiologi sangat beragam, ia tidak bersifat tunggal, sepeti yang disebutkan oleh Ritzer, dalam sosiologi terdapat tiga paradigma yang populer yaitu paradigma definisisosial dan paradigma perilaku sosial.[8] Ketiga paradigma ini menjadi pokok soal dalam kajian sosiologi, harus diteliti dan dikaji dalam dunia yang real, dunia empiris atau dunia nyata.
Dalam pandangan kaum positivitis, suatu pengetahuan harus dapat digunakan dalam berbagai keperluan atau kebutuhan guna menjelaskan fenomena sosial, shingga ilmu itu tidak memiliki ranjau-ranjau yang dapat menghalang penggunannya, ilmu tersebut tidak terikat oleh nilai-nilai tertentu, melainkan pada ilmu itu sendiri,ia bersifat netral dalam menjelaskan fakta-fakta sosial, itulah sebabnya pengetahuan ilmiah yang autentik itu harus bersifat netral, tidak memihak atau value free (bebas nilai).
Ritzer (1992) menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm). Dan masing-masing paradigma tersebut berbeda mengenai obyek kajian, teori, metode analisanya. Para ahli membagi empat paradigma dalam sosiologi, yakni paradigma Fakta sosial, Definisi Sosial, Perilaku Sosial, dan Integratif.
a.       Paradigma Fakta Sosial terdiri dari sekumpulan teori para teoritisi sosial yang memusatkan perhatian atau menjadikan apa yang disebut Durkheim sebagai fakta sosial; struktur dan institusi sosial berskala luas beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu sebagai subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritisi yang masuk dalam paradigma fakta sosial ini memusatkan pada struktur makro. Mereka mengasumsikan bahwa terdapat keajegana (in-stable) dalam kehidupan manusia. Dan di dalam keajegan tersebut ada perubahan dalam suatu waktu tertentu, serta tidak ada suatu fakta yang yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya. Exemplar paradigma ini adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Social Methode dan Suicide. Dua tulisan ini menggambarkan sasaran kajian sosiologi yang disebutnya sebagai fakta sosial. Menurutnya fakta sosial ialah barang (thing) yang berbeda dengan ide yang menjadi obyek kajian seluruh ilmu pengetahuan dan tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif), akan tetapi melalui pengumpulan data riil di luar pemikiran manusia.[9] Menutnya thing dapat dibagi menjadi dua, yakni dalam bentuk barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi, contohnya adalah arsitektur, norma hukum dan lainnya. Kedua dalam bentuk non-material, yakni fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri, hanya muncul dalam kesadaran manusia, contohnya kelompok, altruisme, egoisme dan sebagainya.[10] Metode yang digunakan dalam paradigma ini adalah kuantitatif, interview-kuesioner dan perbandingan sejarah. Metode ini memungkinkan adanya reduksi berbagai fakta ke dalam variable-variabel sederhana. Di antara kompleksitas fakta tersebut dimungkinkan terjadinya reduksi fakta secara simpel ke dalam variabel-variabel penelitian.[11] Teori yang dominan dalam paradigma ini adalah teori struktural fungsional, teori konflik dan teori sistem. Ringkasnya, paradigma ini memiliki asumsi dasar tentang fakta sosial sebagai berikut: general, external, and coercion.
b.      Paradigma definisi sosial mencakup teori-teori yang menganggap subject matter dari sosiologi adalah tindakan social yang penuh arti. Paradigma ini diambil dari salah satu aspek yang sangat khsusu dari karya Max Weber, yakni tentang tindakan social (social action). Konsep Weber tentang fakta social berbeda sekali dari konsep Durkheim. Weber tidak memisahkan dengan tegas antara struktur social dengan pranata social. Struktur social dan pranata social keduanya membantu untuk membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau penuh makna. Mempelajari perkembangan suatu pranata secara khusus dari luar tanpa memperhatikan tindakan manusianya sendiri, menurut Weber, berarti mengabaikan segi-segi yang prinsipil dari kehidupan social. Perkembangan dari hubungan social dapat pula diterangkan melalui tujuan tujuan-tujuan dari manusia yang melakukan hubungan social itu dimana ketika ia mengambil manfaat dari tindakan itu sendiri dalam tindakannya; memberikan perbedaan makna kepada tindakan itu sendiri dalam perjalanan waktu.[12] Karya Weber tersebut membantu menimbulkan minat para teoritisi yang menganut paradigma ini dalam mempelajari cara actor mendifinisikan situasi social mereka dan dalam mempelajari pengaruh definisi situasi social terhadap tindakan dan integrasi berikutnya. Ada beberapa teori yang masuk dalam paradigma ini, yakni teori tindakan, interaksionalisme-simbolik, fenomenologi, etnometodologi dan eksistensialisme.
Ringkasnya paradigma ini memeiliki tiga premis berikut:
Ø  Manusia adalah aktor kreatif
Ø  Fakta sosial memiliki arti subyektif (motivasi & tujuan)
Ø  Cara aktor mendefiniskan fakta sosial adalah cara mereka mendefinisikan situasi.
c.       Paradigma Perilaku Sosial adalah mengacu pada karya psikolog B.F. Skinner sebagai eksemplar. Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi. Karyanya meliputi spectrum yang sangat luas. Teori, gagasan dan praktek yang dilakukannya telah memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior. Skinner melihat paradigma fakta social dan definsi social sebagai perspektif yang bersifat mistik, dalam arti mengandung suatu persoalan yang bersifat teka-teki, tidak dapat diterangkan secara rasional. Kritik Skinner ini tertuju kepada masalah yang substansial dari kedua paradigma itu, yakni eksistensi obyek studinya sendiri. Menurutnya, kedua paradigma itu membangun obyek studi berupa sesuatu yang terdiri atas struktur social dan pranata social yang menjadi obyek studi paradigma fakta social serta sesuatu yang terjadi dalam pemikiran manusia berupa „tanggapan kreatif‟ terhadap suatu rangsangan atau stimulus dari luar dirinya, yang menjadi obyek penyelidikan paradigma definisi social oleh Skinner dinilai keduanya sebagai suatu obyek yang bersifat mistik. Menurutnya dengan memusatkan perhatian kepada kedua hal tersebut, berarti menjauhkan sosiologi dari obyek studi berupa barang sesuatu yang konkrit realistis. Menurut Skinner, obyek studi sosiologi yang konkrit-realistis itu adalah „perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavior of man and contingencies of reinforcement). Ringkasnya, perhatian utama paradigma perilaku social ini tertuju pada hadiah (rewards) yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman (punishments) yang mencegah perilau yang tidak diinginkan. Metode paradigma ini adalah eksperimen. Dan yang masuk dalam paradigma ini adalah sosiologi behavioralisme dan teori pertukran (exchange).[13]

D.    Konstruksi Paradigma Sosiologi Profetik
Sosiologi profetik yang dimaksudkan disini adalah Ilmu Sosial Profetik (ISP) Kuntowijoyo. Sebagian besar diskusi ISP, selalu saja menjadikan atau meletakkan sosiologi sebagi “rumah” yang tepat untuk konsep tersebut. Ilmu sosial yang dimaksud oleh Kuntowijoyo sangat luas termasuk ilmu-ilmu humaniora atau ilmu kemanusiaan, tetapi basis formal materialnya kalau dilakukan penglajian mendalam apa yang dimaksud oleh Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial Profetik itu secara sederhana dapat disebut “sosiologi”, ia berbicara masalah fungsionalisme dan strukturalisme misalnya. Kajian-kajian tentang ilmu sosial humaniora selalu memperoleh dukungan paradigma sosiologi, bahkan sebagian kalangan menyebut bahwa ilmu sosial yang “murni” adalah sosiologi.
Paradigma sosiologi profetik adalah menuju pada perubahan yang bersifat permanen dalam arti semakin dekatnya manusia kepada yang Maha Abadi, menurut Kuntowijoyo, Islam menghendaki adanya transformasi menjuju transendasi. Trasformasi inilah yang akan menjadi core dan dikaji oleh sosiologi dalam perspektif Islam. Tauhid merupakan suatu konsep yang bersifat dinamis, tauhid sebagai pandangan dunia dapat dimaknai sebagai sebuah pandangan umum tentang realitas, kebenaran,ruang dan waktu, dunia dan sejarah Islam.

E.     Kerangka Sosiologi Profetik
Sosiologi memeiliki beragam metodologi dalam rangka menjelaskan fakta-fakta sosial. Metode yang satu mungkin berhasil menjelaskan fenomena sosial tertentu, tetapi belum tentu dapat dan berhasil menjelaskan fenomena sosial yan lain. Metode yang digunakan mengikuti kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat, kalau dahulu sosiologi lebih didominasi oleh metode kuantitatif, menjelaskan fenomena-fenomena sosial dengan pendekatan statistik dan angka-angka, kini tidak lagi dominan, bahkan metode kualitatif dengan ragam tekniknya jauh lebih populer digunakan oleh para ilmuan sosial, khususnya sosiologi.
Metode-metode yang digunakan dalam studi sosiologi, tampaknya dapat digunakan dalam studi-studi yang lebih luas, termasuk studi yang berkaitan dengan agama dan kehidupan sosial.Kuntowijoyo menyebut metodologi yang digunakan untuk mengilmukan Islam adalah integralisasi dan objektivikasi. Yang pertama bertujuan mengintegralisasikan kekayaan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam Al-Quran beserta pelaksanaannya dalam sunnah Nabi) dan yang kedua menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang (rahmatan lil ‘alamin).
Ilmu-ilmu rasional-empiris merupakan ilmu yang dikonstruksi melalui pengalaman empiris manusia, ilmu yang didasarkan pada fenomena sosial yang ditangkap oleh pancaindra atau didasarkan pada riset, eksperimen dan sebagainya. Ilmu dalam pandangan Islam adalah ilmu yang merupakan hasil usaha manusia melalui akal, hati nurani, kesadaran, serta bantuan pancaindranya, yang disusun secara sistematis, untuk memahami fenomena-semesta Ketuhanan.
Ilmu yang didasarkan pada fakta-fakta empiris dengan ilmu yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran agama tidak dipisahkan, melainkan keduanya harus dikawinkan untuk mencapai suatu peradaban kemanusiaan yang maju. Untuk menyatukan kedua sumber ilmu itu, menurut Kuntowijoyo digunakan metodologi yang bersifat integralistik dan objektivikasi.
Metode Integralistik menurut Kuntowijoyo tidak hanya menyatukan agama dan hasil pemikiran manusia, tetapi bertujuan untuk menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dengan agama-agama radikal dalam banyak sektor.
Untuk mengembangkan paradigma sosiologi profetik memerlukan sejumlah metode untuk menjelaskan metode untuk menjelaskan fakta-fakta sosial, apalagi fakta-fakta objek yang cenderung “bebas nilai”dengan agama yang mengandung unsur-unsur moral tinggi.

F.     Sosiologi Profetik : Alternatif Pengembangan
Dengan menggunakan pendekatan integrasi dan interkoneksi, baik dalam cara memperoleh suatu “kebenaran” ilmu maupun alat yang digunakan untuk melakukan penyelidikan ilmiah guna menjelaskan fenomena sosial, akan lebih memeberikan suatu kekayaan yang besar terutama dalam kaitannya dengan usaha untuk meminjam istilah Kuntowijoyo yaitu mengilmukan Islam dalam ranah kajian sosiologi suatu langkah penting apabila dikaitkan dengan tradisi positivitis yang selama ini digunakan dalam sosiologi.
Seperti yang ditulis oleh Mutaqqin[14] bahwa sosiologi Profetik menggariskan beberapa hal:
a.       Sosiologi profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya, yaitu humanisasi, liberalisasi, dan transendasi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang atau lapangan penellitian.
b.      Secara Epistimologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos
c.       Secara metodologi sosiologi profetik jelas berdiri dalm posisi yang berhadap-hadapan dengan positivisme. Sosiologi profetik menolak klaim-klaim positivisme seperti klaim bebas nilai dan klaim bahwa yang sah sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera.
d.      Sosiologi profetik memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran (superstructure) menentukan basis material (structure).
Dengan menggunakan pendekatan sosiologi profetik, banyak fenomena sosial politik yang dapat dijelaskan, pendekatan ini lebih memberi ruang artikulasi konsepsional dan teoritis guna memahami kecenderungan global yang mengukuhkan hegemoni kapitalisme dan neoliberalisme dengan wajah yang multi kompleks. Kuntowijoyo dengan gagasan profetiknya, berupaya untuk menghindar dari berfikir yang berdasarkan mitos menuju cara berfikir yang bersifat empiris realis.



[1] Zainal Abidin, Sosiosphologi,(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003) hal 45
[2] Zainal Abidin, Ibid., hal 45
[3] Muhammad Iqbal, Membangun kembali Pikiran Agama dalam Islam, (Djakarta: Tinta Mas, 1966).
[4] Roger Geaurdy, Janji-janji Islam, (Bulan Bintang, 1982).
[5] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esei-esei Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, (Bandung: Mizan, 2001), hlm.364-365.
[6] Husnul Muttaqin, “Menuju Sosiologi Profetik”, dalam Jurnal Sosiolologi Profetik, Vol I, No. 1, Oktober 2006, hlm. 59-82.
[7] Geoger Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal.8.
[8] Ibid., hlm. 15
[9]Ibid., hal. 16-17
[10] Zamroni, “Pengantar Pengembangan teori Sosial” Yogyakarta, Tiara Wacana, 1992, hal. 24.
[11] Nur Syam,  “Bukan Dunia Berbeda; Sosiologi Komunitas Islam” Surabaya, Pustaka Eurika, 2005, hal.7
[12] Op, cit., Ritzer, “Sosiologi Ilmu Pengetahuan…..”. hal.43
[13] George Ritzer-Douglas J Goodman “Teori Sosiologi Modern” Jakarta, Prenada Media, 2004 hal.A-14
[14] Husnul Mutaqqin, “Menuju Sosial Politik”, dalam jurnal Sosiologi Reflektif, vol. I, no. I, Oktober, 2006, hlm. 59-82.

0 komentar:

Posting Komentar