PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sosiologi Islam
Dilihat
dari pengetiannya sosiologi mempunyai pengertian bahwa ilmu yang mempelajari
hubungan timbale balik antara orang yang satu dengan yang lain yang saling
berinteraksi serta gejala sosial dan non sosial yang ada. Gejala-gejala itu ada
setelah adanya kontak antara manusia sesama manusia ataupun alam.
Dari
hal tersebut dapat di artikan bahwa sosiologi islam adalah ilmu yang mempelajari
hubungan timbal balik, gejala sosial dan non sosial yang terjadi dalam
masyarakat islam pada khususnya. Dalam pemahaman masyarakat islam adalh
masyarakat yang tidak lebih dari sekumpulan individu atau keluarga.[1]
Dalam masyarakat ini ada tiga komponen yang terdapat didalamnya yang
menghubungkan antarindividu di dalamnya:
1.
Adanya pemikiran-pemikiran yang paling
berpengaruh dalam masyarakat
2.
Adanya perasaan-perasaan yang
berpengaruh masyarakat
3.
System pemerintahan yang berkuasa
Ketiga
komponen ini membentuk ikatan umum antar individu dalam masyarakat.
Ikatan-ikatan umum inilah yang menjadikan masyarakat membentuk prilaku dalam
kehidupan individu, termasuk segala macam aktivitas yang terjadi.[2]
Berbagai ilustrasi pertanyaan yang mendasar “dari mana kita (ontologi), kemana
tujuan kita (historis) dan apa yang terjadi setelah kita mati (aksiologi)”.
Dengan pertanyaan tersebut akan menimbulkan jawaban secara umum dalam memilih
tindakan dalam hidup. Bagi kaum muslimim itu berpegang teguh pada alquran dan
hadist.
Perasaan-perasaan
yang bersifat umum sangat luas dan ditentukan pemikiran masyarakat, baik atau
tudak baik, tabu atau tidak tabu, oleh masyarakat islam ini diwaranai oleh Al Qur’an
dan hadis yang di gunakan sebagai pedoman otentik. Disamping itu ada hal lain
yang mempersatukan ikatan antar individu
dalam masyarakat yaitu kekuasaan ataupun pemerintah. Secara umum
masyarakat sudah mengetahuinya, dengan kekuasaannya dia bisa beropini dan
memperbaiki hubungan masarakat dan antar Negara.
B.
Epistemologi
Sosiologi Profetik
Epistemologi
(filsafat ilmu) adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat, dalam
pengembangannya menunjukkan bahwa epistemologi secara langsung berhubungan
secara radikal (mendalam) dengan diri dan kehidupan manusia. Pokok kajian
epistemologi akan sangat menonjol bila dikaitan dengan pembahasan mengenai
hakekat epistemologi itu sendiri. Secara linguistic kata “Epistemologi” berasal
dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata
“Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan
sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan
istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan
sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia lazim disebut
filsafat pengetahuan. c
Ilmu
Sosial Profetik atau biasa disingkat ISP adalah salah satu gagasan penting
Kuntowijoyo. Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk
menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja tapi
lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju
cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai
dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan
transendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di bidang sosiologi misalnya
muncul gagasan Sosiologi Profetik yang dimaksudkan sebagai sosiologi
berparadigma ISP.
Gagasan
mengenai Ilmu Sosial Profetik (ISP) menurut Kuntowijoyo dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan
Muhammad Iqbal[3]
dan Roger Geraudy.[4]
Dengan bersumber pada kedua tokoh ini, Kuntowijoyo memaknai tentang isi penting
dari penunaian tugas-tugas kenabian (etika profetik) yang telah menjadi bagian
darii proses sejarah umat manusia. Abdul Quddus (seorang sufi besar Islam dari
Ganggoh) mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah memberikan “kesadaran kreatif”
(creative consciousness) dalam menciptakan suatu dunia ide baru (Islam) dalam
menghadapi kekuatan sejarah.
Berbeda
dengan kalangan sufi umumnya yang lebih mengandung dimensi mistis, sedang
kemunculan Nabi telah memasukkan unsur-unsur kenabian yang menancap dalam akar
kehidupan duniawi. Artinya, realitas “perjuangan” Nabi lebih membumi dan masuk
pada kancah zaman dan pergolakan sejarah manusia.
Sementara
Roger Geraudy memandang kemerosotan peradaban Barat yang sekuler sebagai awal
dari upaya untuk membangun dan menciptakan peradaban baru yang didasarkan pada
keagamaan, ia menyatakan bahwa di tengah hancurnya peradaban umat manusia di
mana filsafat Barat memiliki banyak kelemahan, maka kita sebaliknya
menghidupkan kembali warisan Islam yan telah ada. Yang diambil adalah “Filsafat
Kenabian” (filsafat profetika) dari Islam. Kenapa? Karena, yang menjadi
pertanyaan sentral dalam filsafat Islam adalah: bagaimana wahyu (kenabian) itu
mungkin? Yaitu, bagaimana keterlibatan aktif sejarah kenabian dalam proses
penyampaian wahyu itu telah mampu mengubah sejarah masyarakat menjadi positif.
Garaudy mengklaim bahwa bangunan filsafat itu telah dilakukan oleh para filsuf
muslim sejak Al-Farabi sampai dengan Mulla Shadra, dengan puncaknya Ibn ‘Arabi.
Ide
dasar dari Iqbal dan Garaudy tersebut memperoleh ruang “artikulasi” ilmiah
ketika Kuntowijiyo menggali langsung dari Al-Quran, ketika itu katanya, sisi
profetik yang harus diemban oleh ilmu sosial yang berbeda dari dakwah harus
memenuhi tiga unsur yakni (amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuna billah.
Unsur pertama adalah amar ma’ruf yang diartikan sebagai humanisasi. Dalam Ilmu
Sosial Profetik, humanisasi artiya memanusiakan manusia, menghilangkan
“kebendaan”, ketergantungan,kekerasan, dan kebencian dari manusia.[5]
Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera
ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme
antroposentris, konsep humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat
dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.[6]
Dari
epistimologi di atas, sosiologi profetik memiliki paradigma-baik mandiri dari
paradigma sosiologi secara umum maupun menyatu dalam keseluruhan paradigma
sosiologi, artinya paradigma sosiologo profetik juga tidak terlepas dari
paradigma sosiologi secara umum, meski nanti akan ada upaya mengaitkan dengan
teks-teks Islam, entah sifatnya teks ke konteks atau konteks ke teks, keduanya
tidaklah begitu menjadi masalah, meski yang harus ditekankan oleh sosiologi
adalah dari konteks ke teks, karena fakta-fakta empiris memerlukan penjelasan
rasional, yang sering kali atau kadang-kadang mengabaikan nilai-nilai dan
norma-norma, tetapi dalam “rumah” sosiologi profetik sedapat mungkin konteks
memperoleh legitimasi nilai etisnya dari Islam.
Pelebaran
obyek studi sosiologi dan humaniora dengan menggunakan cara pandang Islam
sebagai bentuk pertanggungjawaban intelektual akademisi muslim, yang sejak lama
mengumandangkan islamisasi ilmu. Dalam waktu yang lama terjadi pemisahan antara
ilmu-ilmu empiris dengan ilmu-ilmu agama. Selama ini yang lazim dikenal dalam
ilmu sosial humaniora terbagi menjadi dua macam, yaitu ilmu-ilmu alami (kauniyah)
dan ilmu-ilmu Quran (qauliyah). Pembagian ini menuut Kuntowijoyo perlu segera
ditambahkan dengan ilmu nafsiyah. Kalau ilmu Kauniyah berkaitan dengan hukum
Tuhan, dan ilmu nafsiyah berkaitan dengan, nilai, kesadaran. Ilmu nafsiyah itu
menurut Kuntowijoyo disebut dengan humaniora. Pembagian ini tidak berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh ilmuwan sebelumnya, Ibn Sina mengelompokkan ke
dalam tiga kategori teori ilmu pengetahuan Islam, yaitu ilmu-ilmu metafisika,
ilmu-ilmu matematika, dan ilmu-ilmu alam atau fisik.
Pembagian
seperti Ibn Sina di atas jug ditemukan dalam tradisi sosiologi klasik, August
Comte misalnya membuat klasifikasi ilmu menjadi tiga yakni teologi, metafisika,
dan positivis. Kemudian Kuntowijoyo membuat fase perkembangan keilmuwan dalam
kerangka yang hampir sama yakni periode utopia, periode ideologi, dan periode
ide. dalam kerangka perjuangan politik kalangan Islam misalnya, pada periode
utopia, para pemimpin Islam hendak mendirikan negara Islam seperti apa yang
kita harapkan tanpa melihat kondisi objektif. Periode ideologi, umat Islam
menghendaki negara Islam teokrasi yang demokratis, sementara periode ide lebih
menekankan pada spesifikasi seperti ekonomi Islam, universitas Islam, lebih
dari itu kita butuh ide Islam tentang etika, estetika, pemikiran filsafat, dan
lain-lain.
C.
Paradigma
Sosiologi
Istilah
paradigma (paradigm) pertama kali dikenalkan oleh Thomas Kuhn pada tahun 1962
dalam karyanya The Scientific Revolution. Karena karya ini muncul dari
filsafat, ia bernasib memperoleh status marjinal dalam sosiologi terutama
karena memusatkan perhatian pada ilmu yang sukar (contohnya, fisika) dan
sedikit sekali membahas tentang ilmu social. (George Ritzer & Goodman)
Perbedaan
paradigma dalam mengembangkan pengetahuan menurut Kuhn, akan melahirkan
pengetahuan yang berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode of thought) para
ilmuwan berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu realitas, maka dengan
sendirinya pemahaman mereka tentang realitas itu juga menjadi beragam.
Perbedaan paradigma ini menurut George Ritzer disebabkan tiga faktor utama.
Pertama, perbedaan pandangan filsafat yang mendasari pemikirannya. Kedua,
sebagai konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda, maka
teori-teori yang dibangun dan dikembangkan masing-masing komunitas ilmuwan juga
berbeda. Ketiga, metode yang digunakan untuk memahami dan menerangkan substansi
ilmu berbeda antar komunitas ilmuwan lain.[7]
Berkembangnya
suatu paradigma akan dtentukan oleh berbagai perangkat pendukung paradigma
tersebut sehingga diterima luas, Fakih menyebut bahwa paradigma adalah
konstelansi teori, pertanyaan, pendekatan, serta prosedur yang digunakan oleh
suatu nilai dan tema pemikiran, konstelasi tersebut dikembangkan dalam rangka
memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi
dalam memberikan makna realitas. Dalam hal ini, suatu paradigma memiliki
kekuatan justru terletak pada kemampuannya membentuk apa yang kita lihat,
bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah
yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa metode yang kita gunakan
untukmeneliti dan berbuat.
Dalam
sosiologi, paradigma muncul, berkembang, dan mengalami keruntuhan bukan soal
benar dan salahnya suatu teori atau paradigma, tetapi lebig dipengaruhi oleh
faktor pendukung yang menang, karena memiliki kekuatan dan kekuasaan dari
pengikut paradigma yang dikalahkan. Paradigma merupakan cara suatu ilmu untuk
memahami realitas dan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Sosiologi sendiri
memiliki beragam paradigma dengan keunggulan masing-masing dalam memotret
realitas kehidupan masyarakat, antarsatu paradigma dengan paradigma lainnya
saling melengkapi.
Oleh
sebab itulah, paradigma keilmuan sosiologi sangat beragam, ia tidak bersifat
tunggal, sepeti yang disebutkan oleh Ritzer, dalam sosiologi terdapat tiga
paradigma yang populer yaitu paradigma definisisosial dan paradigma perilaku
sosial.[8] Ketiga
paradigma ini menjadi pokok soal dalam kajian sosiologi, harus diteliti dan
dikaji dalam dunia yang real, dunia empiris atau dunia nyata.
Dalam
pandangan kaum positivitis, suatu pengetahuan harus dapat digunakan dalam
berbagai keperluan atau kebutuhan guna menjelaskan fenomena sosial, shingga
ilmu itu tidak memiliki ranjau-ranjau yang dapat menghalang penggunannya, ilmu
tersebut tidak terikat oleh nilai-nilai tertentu, melainkan pada ilmu itu
sendiri,ia bersifat netral dalam menjelaskan fakta-fakta sosial, itulah
sebabnya pengetahuan ilmiah yang autentik itu harus bersifat netral, tidak
memihak atau value free (bebas nilai).
Ritzer
(1992) menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma
(multiple paradigm). Dan masing-masing paradigma tersebut berbeda mengenai
obyek kajian, teori, metode analisanya. Para ahli membagi empat paradigma dalam
sosiologi, yakni paradigma Fakta sosial, Definisi Sosial, Perilaku Sosial, dan
Integratif.
a.
Paradigma
Fakta Sosial terdiri dari sekumpulan teori para
teoritisi sosial yang memusatkan perhatian atau menjadikan apa yang disebut
Durkheim sebagai fakta sosial; struktur dan institusi sosial berskala luas
beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu sebagai subject
matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritisi yang masuk dalam paradigma
fakta sosial ini memusatkan pada struktur makro. Mereka mengasumsikan bahwa
terdapat keajegana (in-stable) dalam kehidupan manusia. Dan di dalam keajegan
tersebut ada perubahan dalam suatu waktu tertentu, serta tidak ada suatu fakta
yang yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya. Exemplar paradigma ini
adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Social Methode dan Suicide.
Dua tulisan ini menggambarkan sasaran kajian sosiologi yang disebutnya sebagai
fakta sosial. Menurutnya fakta sosial ialah barang (thing) yang berbeda dengan
ide yang menjadi obyek kajian seluruh ilmu pengetahuan dan tidak dapat dipahami
melalui kegiatan mental murni (spekulatif), akan tetapi melalui pengumpulan
data riil di luar pemikiran manusia.[9]
Menutnya thing dapat dibagi menjadi dua, yakni dalam bentuk barang sesuatu yang
dapat disimak, ditangkap dan diobservasi, contohnya adalah arsitektur, norma
hukum dan lainnya. Kedua dalam bentuk non-material, yakni fenomena yang
terkandung dalam diri manusia sendiri, hanya muncul dalam kesadaran manusia,
contohnya kelompok, altruisme, egoisme dan sebagainya.[10]
Metode yang digunakan dalam paradigma ini adalah kuantitatif,
interview-kuesioner dan perbandingan sejarah. Metode ini memungkinkan adanya
reduksi berbagai fakta ke dalam variable-variabel sederhana. Di antara
kompleksitas fakta tersebut dimungkinkan terjadinya reduksi fakta secara simpel
ke dalam variabel-variabel penelitian.[11]
Teori yang dominan dalam paradigma ini adalah teori struktural fungsional,
teori konflik dan teori sistem. Ringkasnya, paradigma ini memiliki asumsi dasar
tentang fakta sosial sebagai berikut: general, external, and coercion.
b.
Paradigma
definisi sosial mencakup teori-teori yang menganggap
subject matter dari sosiologi adalah tindakan social yang penuh arti. Paradigma
ini diambil dari salah satu aspek yang sangat khsusu dari karya Max Weber,
yakni tentang tindakan social (social action). Konsep Weber tentang fakta
social berbeda sekali dari konsep Durkheim. Weber tidak memisahkan dengan tegas
antara struktur social dengan pranata social. Struktur social dan pranata
social keduanya membantu untuk membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau
penuh makna. Mempelajari perkembangan suatu pranata secara khusus dari luar
tanpa memperhatikan tindakan manusianya sendiri, menurut Weber, berarti
mengabaikan segi-segi yang prinsipil dari kehidupan social. Perkembangan dari
hubungan social dapat pula diterangkan melalui tujuan tujuan-tujuan dari
manusia yang melakukan hubungan social itu dimana ketika ia mengambil manfaat
dari tindakan itu sendiri dalam tindakannya; memberikan perbedaan makna kepada
tindakan itu sendiri dalam perjalanan waktu.[12]
Karya Weber tersebut membantu menimbulkan minat para teoritisi yang menganut
paradigma ini dalam mempelajari cara actor mendifinisikan situasi social mereka
dan dalam mempelajari pengaruh definisi situasi social terhadap tindakan dan
integrasi berikutnya. Ada beberapa teori yang masuk dalam paradigma ini, yakni
teori tindakan, interaksionalisme-simbolik, fenomenologi, etnometodologi dan
eksistensialisme.
Ringkasnya
paradigma ini memeiliki tiga premis berikut:
Ø Manusia
adalah aktor kreatif
Ø Fakta
sosial memiliki arti subyektif (motivasi & tujuan)
Ø Cara
aktor mendefiniskan fakta sosial adalah cara mereka mendefinisikan situasi.
c.
Paradigma
Perilaku Sosial adalah mengacu pada karya psikolog B.F.
Skinner sebagai eksemplar. Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip
psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi. Karyanya meliputi spectrum
yang sangat luas. Teori, gagasan dan praktek yang dilakukannya telah memegang
peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior. Skinner melihat
paradigma fakta social dan definsi social sebagai perspektif yang bersifat
mistik, dalam arti mengandung suatu persoalan yang bersifat teka-teki, tidak
dapat diterangkan secara rasional. Kritik Skinner ini tertuju kepada masalah
yang substansial dari kedua paradigma itu, yakni eksistensi obyek studinya
sendiri. Menurutnya, kedua paradigma itu membangun obyek studi berupa sesuatu
yang terdiri atas struktur social dan pranata social yang menjadi obyek studi
paradigma fakta social serta sesuatu yang terjadi dalam pemikiran manusia
berupa „tanggapan kreatif‟ terhadap suatu rangsangan atau stimulus dari luar
dirinya, yang menjadi obyek penyelidikan paradigma definisi social oleh Skinner
dinilai keduanya sebagai suatu obyek yang bersifat mistik. Menurutnya dengan
memusatkan perhatian kepada kedua hal tersebut, berarti menjauhkan sosiologi
dari obyek studi berupa barang sesuatu yang konkrit realistis. Menurut Skinner,
obyek studi sosiologi yang konkrit-realistis itu adalah „perilaku manusia yang
nampak serta kemungkinan perulangannya (behavior of man and contingencies of
reinforcement). Ringkasnya, perhatian utama paradigma perilaku social ini
tertuju pada hadiah (rewards) yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan
hukuman (punishments) yang mencegah perilau yang tidak diinginkan. Metode
paradigma ini adalah eksperimen. Dan yang masuk dalam paradigma ini adalah
sosiologi behavioralisme dan teori pertukran (exchange).[13]
D.
Konstruksi
Paradigma Sosiologi Profetik
Sosiologi
profetik yang dimaksudkan disini adalah Ilmu Sosial Profetik (ISP) Kuntowijoyo.
Sebagian besar diskusi ISP, selalu saja menjadikan atau meletakkan sosiologi
sebagi “rumah” yang tepat untuk konsep tersebut. Ilmu sosial yang dimaksud oleh
Kuntowijoyo sangat luas termasuk ilmu-ilmu humaniora atau ilmu kemanusiaan,
tetapi basis formal materialnya kalau dilakukan penglajian mendalam apa yang
dimaksud oleh Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial Profetik itu secara sederhana
dapat disebut “sosiologi”, ia berbicara masalah fungsionalisme dan
strukturalisme misalnya. Kajian-kajian tentang ilmu sosial humaniora selalu
memperoleh dukungan paradigma sosiologi, bahkan sebagian kalangan menyebut
bahwa ilmu sosial yang “murni” adalah sosiologi.
Paradigma
sosiologi profetik adalah menuju pada perubahan yang bersifat permanen dalam
arti semakin dekatnya manusia kepada yang Maha Abadi, menurut Kuntowijoyo,
Islam menghendaki adanya transformasi menjuju transendasi. Trasformasi inilah
yang akan menjadi core dan dikaji oleh sosiologi dalam perspektif Islam. Tauhid
merupakan suatu konsep yang bersifat dinamis, tauhid sebagai pandangan dunia
dapat dimaknai sebagai sebuah pandangan umum tentang realitas, kebenaran,ruang
dan waktu, dunia dan sejarah Islam.
E.
Kerangka
Sosiologi Profetik
Sosiologi
memeiliki beragam metodologi dalam rangka menjelaskan fakta-fakta sosial.
Metode yang satu mungkin berhasil menjelaskan fenomena sosial tertentu, tetapi
belum tentu dapat dan berhasil menjelaskan fenomena sosial yan lain. Metode
yang digunakan mengikuti kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat, kalau
dahulu sosiologi lebih didominasi oleh metode kuantitatif, menjelaskan
fenomena-fenomena sosial dengan pendekatan statistik dan angka-angka, kini
tidak lagi dominan, bahkan metode kualitatif dengan ragam tekniknya jauh lebih
populer digunakan oleh para ilmuan sosial, khususnya sosiologi.
Metode-metode
yang digunakan dalam studi sosiologi, tampaknya dapat digunakan dalam
studi-studi yang lebih luas, termasuk studi yang berkaitan dengan agama dan
kehidupan sosial.Kuntowijoyo menyebut metodologi yang digunakan untuk
mengilmukan Islam adalah integralisasi dan objektivikasi. Yang pertama
bertujuan mengintegralisasikan kekayaan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah
dalam Al-Quran beserta pelaksanaannya dalam sunnah Nabi) dan yang kedua
menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang (rahmatan lil
‘alamin).
Ilmu-ilmu
rasional-empiris merupakan ilmu yang dikonstruksi melalui pengalaman empiris
manusia, ilmu yang didasarkan pada fenomena sosial yang ditangkap oleh
pancaindra atau didasarkan pada riset, eksperimen dan sebagainya. Ilmu dalam
pandangan Islam adalah ilmu yang merupakan hasil usaha manusia melalui akal,
hati nurani, kesadaran, serta bantuan pancaindranya, yang disusun secara sistematis,
untuk memahami fenomena-semesta Ketuhanan.
Ilmu
yang didasarkan pada fakta-fakta empiris dengan ilmu yang didasarkan pada
nilai-nilai kebenaran agama tidak dipisahkan, melainkan keduanya harus
dikawinkan untuk mencapai suatu peradaban kemanusiaan yang maju. Untuk
menyatukan kedua sumber ilmu itu, menurut Kuntowijoyo digunakan metodologi yang
bersifat integralistik dan objektivikasi.
Metode
Integralistik menurut Kuntowijoyo tidak hanya menyatukan agama dan hasil
pemikiran manusia, tetapi bertujuan untuk menyelesaikan konflik antara
sekularisme ekstrem dengan agama-agama radikal dalam banyak sektor.
Untuk
mengembangkan paradigma sosiologi profetik memerlukan sejumlah metode untuk
menjelaskan metode untuk menjelaskan fakta-fakta sosial, apalagi fakta-fakta
objek yang cenderung “bebas nilai”dengan agama yang mengandung unsur-unsur
moral tinggi.
F.
Sosiologi
Profetik : Alternatif Pengembangan
Dengan
menggunakan pendekatan integrasi dan interkoneksi, baik dalam cara memperoleh
suatu “kebenaran” ilmu maupun alat yang digunakan untuk melakukan penyelidikan
ilmiah guna menjelaskan fenomena sosial, akan lebih memeberikan suatu kekayaan
yang besar terutama dalam kaitannya dengan usaha untuk meminjam istilah
Kuntowijoyo yaitu mengilmukan Islam dalam ranah kajian sosiologi suatu langkah
penting apabila dikaitkan dengan tradisi positivitis yang selama ini digunakan
dalam sosiologi.
Seperti
yang ditulis oleh Mutaqqin[14] bahwa
sosiologi Profetik menggariskan beberapa hal:
a.
Sosiologi profetik memiliki tiga nilai
penting sebagai landasannya, yaitu humanisasi, liberalisasi, dan transendasi.
Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang
atau lapangan penellitian.
b.
Secara Epistimologis, sosiologi profetik
berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris,
rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu
sebagai bagian dari mitos
c.
Secara metodologi sosiologi profetik jelas
berdiri dalm posisi yang berhadap-hadapan dengan positivisme. Sosiologi
profetik menolak klaim-klaim positivisme seperti klaim bebas nilai dan klaim
bahwa yang sah sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera.
d.
Sosiologi profetik memiliki keberpihakan
etis bahwa kesadaran (superstructure) menentukan basis material (structure).
Dengan
menggunakan pendekatan sosiologi profetik, banyak fenomena sosial politik yang
dapat dijelaskan, pendekatan ini lebih memberi ruang artikulasi konsepsional
dan teoritis guna memahami kecenderungan global yang mengukuhkan hegemoni
kapitalisme dan neoliberalisme dengan wajah yang multi kompleks. Kuntowijoyo
dengan gagasan profetiknya, berupaya untuk menghindar dari berfikir yang
berdasarkan mitos menuju cara berfikir yang bersifat empiris realis.
[1] Zainal
Abidin, Sosiosphologi,(Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2003) hal 45
[2] Zainal
Abidin, Ibid., hal 45
[3] Muhammad
Iqbal, Membangun kembali Pikiran Agama
dalam Islam, (Djakarta: Tinta Mas, 1966).
[4] Roger
Geaurdy, Janji-janji Islam, (Bulan
Bintang, 1982).
[5] Kuntowijoyo,
Muslim Tanpa Masjid: Esei-esei Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai
Strukturalisme Transendental, (Bandung: Mizan, 2001), hlm.364-365.
[6]
Husnul Muttaqin, “Menuju Sosiologi Profetik”, dalam Jurnal Sosiolologi
Profetik, Vol I, No. 1, Oktober 2006, hlm. 59-82.
[7]
Geoger Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal.8.
[8] Ibid., hlm. 15
[9]Ibid., hal. 16-17
[10]
Zamroni, “Pengantar Pengembangan teori
Sosial” Yogyakarta, Tiara Wacana, 1992, hal. 24.
[11]
Nur Syam, “Bukan Dunia Berbeda; Sosiologi Komunitas Islam” Surabaya, Pustaka
Eurika, 2005, hal.7
[12] Op, cit., Ritzer, “Sosiologi Ilmu
Pengetahuan…..”. hal.43
[13]
George Ritzer-Douglas J Goodman “Teori
Sosiologi Modern” Jakarta, Prenada Media, 2004 hal.A-14
[14]
Husnul Mutaqqin, “Menuju Sosial Politik”,
dalam jurnal Sosiologi Reflektif, vol. I, no. I, Oktober, 2006, hlm. 59-82.
0 komentar:
Posting Komentar