Perbuatan Melawan Hukum
Perspektif Hukum Perdata
Pasal 1365 BW yang terkenal sebagai pasal
yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum memegang peranan penting dalam
hukum perdata.
Dalam pasal 1365 BW tersebut memuat
ketentuan sebagai berikut :
“Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh
karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena
kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”
Dari pasal tersebut dapat kita lihat bahwa
untuk mencapai suatu hasil yang baik dalam melakukan gugatan berdasarkan
perbuatan melawan hukum maka harus dipenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur
sebagai berikut :
Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak
subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si
pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang[1]. Dengan perkataan lain
melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang-undang.
Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara :
Obyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia
yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan
mencegah manusia yang baik untu berbuat atau tidak berbuat.
Subyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si pembuat berdasarkan
keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari perbuatannya.
Selain itu orang yang melakukan perbuatan
melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban atas perbuatannya, karena orang
yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi.
Sehubungan dengan kesalahan in terdapat dua
kemungkinan :
Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya
kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang dirugikan juga bersalah atas
timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya
kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja[2].
Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu
ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-masing orang
yang bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk
keseluruhannya.[3]
3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan.
Dalam pengertian bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum
dapat berupa :
Kerugian materiil, dimana
kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan
keuntungan yang seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si
pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian
yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh.
Kerugian idiil, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan
kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan
hidup.
Untuk menentukan luasnya kerugian yang
harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut, untuk
itu pada azasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan
seperti keadaan jika terjadi perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan berhak
menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu
diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan
datang.
4. Adanya
hubungan causal antara perbuatan dan kerugian. Untuk memecahkan hubungan causal
antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat dua teori yaitu :
Condition sine qua non, dimana menurut
teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggung jawab
jika perbuatannya condition sine qua non menimbulkan kerugian (yang dianggap
sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus
ada untuk timbulnya akibat).
Adequate veroorzaking, dimana menurut
teori ini si pembuat hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya
dapat diharapkan sebagai akibat dari pada perbuatan melawan hukum.
Terdapat
hubungan causal jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan
akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum.[4]
Jadi secara
singkat dapat diperinci sebagai berikut :
Untuk perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh organ badan hukum, pertanggungjawabannya didasarkan pada pasal
1364 BW.
Untuk perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh seorang wakil badan hukum yang mempunyai hubunga kerja dengan
badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal 1367 BW.
Untuk perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh organ yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum,
pertanggung jawabannya dapat dipilih antara pasal 1365 dan pasal 1367 BW
Perspektif
Hukum Pidana
Dalam hukum
pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan
hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Langemeyer
mengatakan untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang
tidak dipandang keliru, itu tidak masuk akal”. Mengenai ukuran daripada keliru
atau tidaknya suatu perbuatan tersebut ada dua pendapat yaitu :
Yang pertama ialah apabila perbuatan telah
mencocoki larangan undang-undang maka disitu ada kekeliruan. Letak perbuatan
melawan hukumnya sudah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan
undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh
undang-undang pula. Dalam pendapat pertama ini melawan
hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang.
Pendirian yang demikian disebut pendirian yang formal.
Yang kedua berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang
mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum, karena menurut
pendapat ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, disamping
undang-undang (hukum yang tertulis) adapula hukum yang tidak tertulis yaitu
norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian
yang demikian disebut pendirian yang materiil.
Yang berpendapat formal untuk dapat
dipidana perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam wet, jika
sudah demikian biasanya tidak perlu lagi untuk menyelidiki apakah perbuatan
melawan hukum atau tidak.
Selanjutnya menurut Simons[5] “hemat saya
pendapat tentang sifat melawan hukum yang materiil tidak dapat diterima, mereka
yang menganut faham ini menempatkan kehendak pembentuk undang-undang yang telah
ternyata dalam hukum positif, dibawah pengawasan keyakinan hukum dari hakim
persoonlijk. Meskipun betul harus diakui bahwa tidak selalu perbuatan yang
mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan hukum, akan tetapi
perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila mempunyai dasar
hukum dalam hukum positif sendiri”.
Kiranya perlu ditegaskan disini bahwa
dimana peraturan-perautan hukum pidana kita sebagian besar telah dimuat dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan laian-lain perundang-undangan, maka
pandangan tentang hukum dan sifat melawan hukum materiil diatas hanya mempunyai
arti dalam memperkecualikan perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan
undang-undang itu toh tidak merupakan perbuatan pidana.
Akan tetapi jika kita mengikuti pandangan
yang materiil maka bedanya dengan pandangan yang formal adalah :
Mengakui adanya pengecualian atau penghapusan dari sifat melawan
hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis,
sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam
undang-undang saja.
Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan
perbuatan pidana juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur
tersebut, sedang bagi pandanagan yang formal sifat tersebut tidak selalu
menjadi unsur daripada perbuatan pidana, hanya jika dalam rumusan delik
disebutkan dengan nyata nyata barulah menjadi unsur delik.
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum
selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus
selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah harus
dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam
rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata, jika dalam rumusan delik
unsur tersebut tidak dinyatakan maka juga tidak perlu dibuktikan.
Adapun konsekuensi daripada pendirian yang
mengakui bahwa sifat melawan hukum
selalu menjadi unsur tiap-tiap delik adalah sebagai berikut :
-
Jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik maka unsur
itu dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya
oleh pihak terdakwa.
-
Jika hakim ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau
tidak maka dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh
karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana.
Menurut Jonkers dan Langemeyer dalam hal iu
terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van recht
vervolging).
Perspektif Hukum Administrasi Negara
“Perbuatan hukum adalah perbuatan yang
mengakibatkan peristiwa hukum, secara
yuridis dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
Yang bersifat perdata
Pihak aparat atau penguasa atau
administrasi dapat bertindak sebagai salah satu pihak dalam perjanjian perdata
atau sebagai individu perdata yang dapat membuat kontrak untuk melakukan
perbuatan tertentu.
Contoh :
tender pengadaan bangunan atau kontrak perjanjian.
Yang bersifat
publik
Bersegi satu atau sepihak
Unsur dalam membuat ketentuan secara
sepihak yaitu :
-
Dilakukan oleh administrasi Negara.
-
Berdasarkan kekuasaan istimewa.
-
Demi kepentingan umum.
Contoh : secara sepihak pihak yang
berwenang berhak untuk menutup pabrik yang melanggar IPAL.
Bersegi dua atau dua pihak
Yaitu perbuatan hukum dimana terjadi
perjanjian atau kesepakatan atau penyesuaian kehendak antara kedua belah pihak
yang hubungan hukumnya tersebut diatur oleh hukum istimewa yaitu hukum publik.
Dalam hukum administrasi Negara perbuatan
atau keputusan yang sewenang-wenang adalah suatu perbuatan atau keputusan
administrasi Negara yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang relevan
dengan kasus yang bersangkutan secara lengkap dan wajar sehingga tampak atau
terasa oleh orang-orang yang berpikir sehat (normal) adanya ketimpangan.
Sikap sewenang-wenang akan terjadi bilamana
pejabat administrasi Negara yang bersangkutan menolak untuk meninjau kembali
keputusannya yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak wajar.
Keputusan tersebut dapat digugat pada Pengadilan Perdata sebagai “perbuatan
melawan hukum” atau “onrechmatige over heidsdaad”.
Didalam hukum admininstrasi Negara
Inggris-Amerika Serikat asas yang sangat penting dan dibahas secara luas adalah
asas larangan “ultra vires” yakni penyalahgunan jabatan atau wewenang dalam
segala bentuk. Di Indonesia istilah yang dipergunakan adalah “detournement de
pouvoir” yakni bilamana suatu wewenang oleh pejabat yang bersangkutan
dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan atau menyimpang daripada apa
yang dimaksudkan atau dituju oleh wewenang sebagimana ditetapkan atau
ditentukan oleh undang-undang (dalam arti luas, dalam arti materiil) yang
bersangkutan.
[1] Rumusan Hoge Raad sebelum tahun 1919
[2]
Vollmar, op. cit. halaman 458
[3]
Vollmar, loc. cit
[4] Voolmar, Ibid 457
[5]
Moeljatno, Azas-azsas Hukum Pidana. Rineka Cipta.
Jakarta. 2002. halaman
0 komentar:
Posting Komentar