A. Pengertian
Pluralisme
Istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, pendapat orang tentang
istilah ini juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak,
beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu
dikatakan plural pasti terdiri dari
banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang. [1]
Pluralisme menurut bahasa adalah teori yang mengatakan bahwa realitas
terdiri dari banyak substansi. Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak
etnik,
budaya, tradisi, suku maupun agama. Hal tersebut memberikan bukti bahwa Indonesia adalah negara yang pluralistic.
budaya, tradisi, suku maupun agama. Hal tersebut memberikan bukti bahwa Indonesia adalah negara yang pluralistic.
Pluralisme
adalah suatu keadaan atau kondisi masyarakat dimana para anggota dari beragam
kelompok suku, ras, agama, ataupun sosial memelihara/ menegakkan partisipasi
otonom mereka dana perkembangan kultur tradisional mereka atau kepentingan
khusus mereka dalam batas-batas peradaban bersama.
Lorens
Bagus dalam Kamus Filsafat-nya menjelaskan ‘pluralisme’ sebagai pandangan yang
berupaya membenarkan keberagaman filsafat, dengan menegaskan bahwa semua
kebenaran bersifat relatif, dan menganggap semua keyakinan filosofis dan
religius dalam pengertian relativisme murni, sebagai pendapat-pendapat pribadi
yang semuanya mempunyai nilai yang sama.[2]
Istilah pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang
hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Dikatakan
istilah lama karena perbincangan mengenai pluralitas telah dielaborasi secara
lebih jauh oleh para pemikir filsafat Yunani secara konseptual dengan aneka
ragam alternatif memecahkannya. Para pemikir tersebut mendefinisikan pluralitas
secara berbeda-beda lengkap dengan beragam tawaran solusi menghadapi
pluralitas. Permenides menawarkan solusi yang berbeda dengan Heraklitos, begitu
pula pendapat Plato tidak sama dengan
apa yang dikemukakan Aristoteles.[3] Hal itu berarti bahwa isu pluralitas
sebenarnya setua usia manusia.
B.
Sejarah Pluralisme
Pluralisme telah muncul diindia pada akhir abad ke 15 dalam
gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya yaitu guru nanak (1469-1538)
Pencetus-pencetus Pluralisme
Ernst Troelsch (1865-1923): seorang teolog Kristen liberal dalam sebuah
makalahnya yang berjudul (posisi agama Kristen diantara agama-agama dunia) doi
berpendapat bahwa dalam semua agama termasuk Kristen selalu mengandung elemen
kebenaran mutlak. konsep tentang ketuhanan dimuka bumi ini beragam dan tidak
hanya Satu.
William E.
Hocking dalam bukunya Rethinking Mission pada tahun 1932 dan berikutnya Living
Religions and A World Faith doi memperediksikan munculnya model keyakinan atau
agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan global.
Arnold
Toynbee(1889-1975) pemikirannya hamper sama dengan Ernst Troelsch dalam
karyanya An Historian’s Approach To Religion (1965) dan dan Crishtianity An
World Religions (1957).
Wilfred
Cantwell Smith dalam karyanya Towards A
World Theology (1981) karena gagasan doi inilah pluralisme semakin berkembang
dia menyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang
bisa dijadikan pijakan bersama (commond ground) bagi agama-agama dunia dalam
berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis.
C. Pluralisme
di Indonesia
Tipologi pluralisme di Indonesia adalah bentuknya modifikasi. Beberapa
mengambil sebagian aliran global teologi dan sebagian mengambil dari
Transendent Unity of Religions. Dan
kedua aliran tersebut bertujuan sama, yaitu; keberadaan agama-agama sama
derajatnya. Tetapi aliran yang diminati oleh kaum pluralis Indonesia
adalah aliran transendent unity of religions. Sebab wacana agama Indonesia banyak dilatar
belakangi oleh konflik sosial dari pada konflik teologi.
1. Pluralisme
Basis Relativisme
Kebenaran dogma menjadi
salah satu perbincangan dalam masalah pluralisme agama. Truth claim terhadap
dogma agama yang dipeluk para penganut agama-agama seakan mengusik kaum
pluralis, sehingga kaum pluralis menganjurkan kepada pemeluk agama untuk
menganut paham ini. Tetapi kaum pluralis sendiri memaknai pluralisme masih
dalam perdebatan.
Pluralisme yang ada di
Indonesia memiliki beberapa tipe, pada satu sisi mengandung nilai-nilai
toleransi, pada sisi yang lain mengandung nilai relativisme, bahkan sampai pada
tingkat nihilisme. Doktrin relativisme beramula dari Protagoras sorang
sofis yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the
measure of all things).[4]
Doktrin relativisme hanya mengandalkan akal manusia maknanya agama hanyalah
tradisi. Agama tidak layak dijadikan patokan/standarisasi nilai-nilai kebenaran
yang absolute.[5]
Kaum relativis berkeyakinan yang absolute hanya Tuhan, jadi kebenaran agama
hasil tafsiran manusia adalah relative dan tidak absolut.
Pluralisme berkaitan erat dengan relativisme kebenaran, sedangkan
relativisme memandang, bahwa semua keyakinan keagamaan, idiologi, dan pemikiran
filosofis, sama-sama mengandung kebenaran dan memiliki posisi yang sederajat.
Jadi tidak ada kebenaran yang mutlak yang dapat ditemukan dalam suatu agama
karena memiliki kapasitas yang sama.[6]
Pluralis-relativisme adalah gagasan yang menekankan, bahwa perbedaan dan
kemajemukan adalah prinsip yang tertinggi. Pemahaman pluralisme mengharuskan manusia menghormati semua bentuk
keanekaragaman dan perbedaan, dengan menerima hal tersebut adalah bentuk dari
menerima realitas yang sebenarnya. Dalam sikap seorang pluralis bukan hanya
berhenti pada pluralitas, tetapi menurut Nurcholish Madjid dalam buku Islam
Doktrin dan Peradaban menyatakan bahwa sikap menerima pluralitas dengan sikap
menerima pluralisme.
2. Pluralisme
Berbasis Nihilisme
Tipe pluralisme basis
nihilisme adalah bahwa jika semua agama adalah sama benar maka logika
terbaliknya adalah tidak ada kebenaran dalam semua agama. Sehingga Ludwig
Feuerbach menunjukkan esensi agama terletak pada manusia. [7]sehingga
Feuerbach memaknai agama hanyalah gambaran akan keinginan manusia yang tak
terbatas, yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri dan tidak lebih
dari proyeksi hakikat manusia.
Agama itu hanya
merupakan perwujudan cita- cita: “Ilusi religius yang terdiri dari suatu objek
bersifat imanen pada pikiran kita menjadi lahiriah,[8]
mewujudkannya, mempersonifikasikannya. ”Atribut- atribut Ilahi merupakan
perwujudan dari predikat- predikat manusiawi, yang tidak sesuai dengan individu
manusia sebagai individu, Allah yang kekal, itulah akal budi manusia dengan
coraknya yang bersifat mutlak yang sekali lagi merupakan hasil proyeksi
manusia. Agama merupakan kesadaran yang tidak terhingga.
Pada tipe ini menyatakan
bahwa, kebenaran sejatinya tidak ada, sebab dari pemahaman tentang kebenaran adalah sama benarnya. Karena
kebenaran sama benarnya atau bisa jadi semua kebenaran adalah sama salahnya,
itu berarti kebenaran itu tidak ada. Selain itu juga kaum pluralis menganggap
bahwa toleransi jika tidak dibarengi dengan sikap pluralisme itu bukanlah sikap
toleransi sejati. Seorang pluralis sejati memaknai pluralisme dengan kesamaan
dan kesetaraan dalam segala hal, termasuk beragama. Setiap pemeluk agama harus
memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Kaum pluralis juga beranggapan bahwa
umat beragama jika tidak mengaplikasikan pluralisme dalam keagamaanya berarti
toleran atau intoleran terhadap pemeluk agama yang lain.
3.
Pluralisme Basis Theosofis
Theosofis merupakan
organisasi aliran kebatinan, wadah studi, dan pemahaman mengenai kebijaksanaan
Ilahi yang tersirat di alam raya ini. Menurut Artawijaya yang menulis Gerakan
Theosofi di Indonesia, bahwa antara Freemasonry
dan theosofi adalah satu tujuan dan hanya beda nama.[9]
Inti ajaran dari theosofi adalah agama apapun selama menjunjung tinggi
kemanusiaan dan menebarkan kebajikan adalah pada hakekatnya sama. Tidak ada
yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kebenaran. Inilah ajaran teosofi dalam
memandang agama.[10]
Pluralisme pertama-tama
dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab
perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan
untuk membangun harmoni. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi
sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya,
pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.[11]
4.
Pluralisme Bukan Toleransi
Dalam konsep Islam
mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, tetapi tidak sampai pada tingkat
pembenaran terhadap teologinya. Islam tetap mengakui kesalahan teologi agama yang
lain bahkan sampai tingkat mengoreksi, tetapi Islam juga tidak memaksakan
mereka untuk untuk masuk Islam. Islam juga membiarkan agama selain Islam untuk
melaksanakan ritual agamanya, selama tidak mengganggu agama Islam. Ini
berarti Islam tidak mentolerir persamaan agama (lakum dinukum wa liyadin).
D.
Polemik pluralisme di Indonesia
a.
Polemik.
Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia
karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism
sehingga memiliki arti :
1. pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya
sosial cultural
- pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama
- pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang
berkembang, jelas bahwa pluralisme di indonesia tidaklah sama dengan pluralism
sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini
memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.
Berbagai pertentangan yang terjadi semakin
membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism
dalam arti non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam
arti asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar tidak timbul
kerancuan.
Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism - non
asimilasi, hal ini di-salah-paham-i sebagai pelarangan terhadap pemahaman
mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman
memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai
suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi penganut
definisi pluralisme - asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang
mereka kembangkan. Ide mereka untuk
mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya.
b. Kristalisasi Polemik.
Adanya kenyataan bahwa tingkat pendidikan yang kurang
baik, sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan penduduk indonesia kurang
kritis dalam menangani suatu informasi. Sebuah kata yang masih rancu pun
menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam. Emosi dan perasaan tersinggung seringkali melapisi
aroma debat antar tiga pihak yaitu :
- penganut pluralisme dalam arti asimilasi
- penganut pluralism dalam arti non asimilasi
- penganut anti-pluralisme (yang sebenarnya setuju dengan pluralism dalam arti non-asimilasi).
E. Pluralisme Persepektif Gus Dur
Pandangan Gus Dur tentang Pluralisme,bahwa
ia mengambarkan tentang Pluralime seperti yang dialami ,ada tiga orang
mahasiswa yang dujuluki punya kemampuan intelektual yang sangat tinggi
dalam memahami persamaan nasib di Negara
orang lain.Intelektual pertama adalah penganut pandangan Pluralistik dalam
soal-soal Agama,ia mengakui tentang pentingnya perbedaan pandangan antar
kelompok yang begitu beragam.Lalu Sarjana yang kedua,Penganut Ortodoksi agama
dalam artian yang tulen ia tidak keberatan ,jika ada orang menyatakan tentang
pendapat berbeda,tetapi ia sendiri tidak pernah mempertanyakan pada ajaran-
ajaran formal agamanya.Maka ia dikatakan sebagai seorang intelektual
baik-baik.Dan yang ketiga adalah Orang yang dulunya penganjur pembaruan dan kini berubah identitas,oleh kebutuhan
politik .Lebih tepat ia dinamai Pluralistik cultural dan monolotik
Politik.Selama perjalanan puluhan jam ke Negeri asing itu,ada beberapa
kemungkinan yang terjadi diantara mereka.Mungkin mereka berdebat mempertahankan
kecenderungan mereka masing-masing.Atau beramanis-manis membicarakan hal-hal
yang disepakati,yang jelas turun dari pesawat terbang masing-masing berpegang teguh pada pendirian
masing-masing,akan tetapi pengalaman di Negeri Orang itu ternyata menyamakan
sikap mereka.Ketiga orang itu menolak mengikuti konfrensi dan seminar ,ketika
seorang tokoh separatis dari Negerinya sendiri diterima sebagai peserta.Tokoh
separatis itu jelas akan dihukum mati kalau teretangkap,dan dibawa ke pengadilan
Negerinya-yang juga negeri mereka bertiga-Indonesia tercinta.Ia bisa selamat
dari hukuman mati karena menghilang dan muncul di luar Negeri.Antara lain di
forum, Ilmiyah di atas.Yang menarik dari pernyataan tiga mahasisa diatas adalah
kenyataan ikatan kebangsaan atas ikatan keagamaan .Bukan membentuk Persekutuan baru untuk memperluas kesadaran,dengan tokoh
separatis yang menjadi orang keempat itu,melainkan mereka malah menutup pintu
bagi kehadirannya.Ikatan keagamaan sesama pejuang Islam ternyata tidak mempersatukan
mereka. Di dalam cabinet Republik Indonesia yang pertama,yang dengan sebutan
Kabinet Soekarno yang berumur pendek,tidak disebut-sebut nama kementrian
agama.Baru dalam kabinet berikutnya lembaga itu tercantumkan,dan sejak itu tidak
pernah hilang dari peredaran. Kabinet kedua itu dikenal dengan sebutan Kabinet
Sjahrir.Mengapa Soekarno yang senang bergulat dengan pemikiran Islam tidak mencantumkan Kementerian Agama sedang Sjahrir yang diklasifikasi
tokoh sekuler justru menciptakanny? Apakah karena dorongan keimanan sendiri
Sjahrir?Mustahil:tokoh ini tidak pernah percaya keimananan dapat dikongritkan
ke dalam sebuah lembaga,tanpa kehilangan aktivitas dan elemennya.Lalu
mengapa?.Maka Jawabnya sederhana saja sebabnya:Kepentingan nasional tanpa kehadiran
Kementerian Agama,gologan Islam tidak dapat menerima kehadiran pemerintah yang
sah yang dipimpinnya.Dan sebagai Pemimpin Bangsa ,ia harus memperhatikan
aspirasi kelompok-kelompok lain.Sedang Soekarno tidak dihadapkan pada tuntutan
itu,ketika membentuk cabinet pertama ,atau setidak-tidaknya,tidak mengangap
penting aspirasi Ummat beragama itu.Ternyata kepentingan nasional memiliki
hukum-hukum sendiri,yang dalam banyak hal dimanfaatkan untuk kepentingan
Agama.Ia dapat menciptakan ikatan kebangsaan untuk mengkongritkan hidup
beragama.Tidak sebaliknya.Inilah kenyataan penting yang harus selalu diingat
karena seringnya muncul kembali kecenderungan menghadapkan rasa kebangsaan
kepada rasa keagamaan.Kedua-duanya adalah sector kehidupan yang harus saling
terkait,kalau diinginkan kehidupan memiliki arti penuh.Sedang Gus Dur memandang
sebuah pluralisme adalah sebuah keniscayaan nilai-nilai Kebangsaan yang beliau
miliki terhadap pemeluk-pemeluk agama lain atau kepercayaan agama selain islam
yang dibungkus dalam wadah yang bernama Islam,yang ia miliki sejak beliau lahir
sampai wafat,tetap Islam,namun beliau sangat concern terhadap pemeluk-pemeluk
agama selain islam dalam bingkai kebangsaan,Istilah beliau Berjuang tidak harus
menonjolkan Identitas Agama.Akan tetapi, Mewarnai agama Lain dengan bahasa akhlaq yang beliau miliki terhadap pemeluk
agama lain ,bisa juga bagian dari perjuanagan nilai-nilai Agama.Yang pada
hakikatnya Islam diutus melalui nabinya hannya untuk menata akhlaq manusia,dan
sejatinya Allah Swt.mengutus Engkau Muhammad untuk Rahmatal Lil
Alamin,sehingga Islam dimata non muslim
akan menampakkan Akhlaqnya,maka disitulah Agama-agama lain akan punya simpatik
terhadap prilaku yang ditampakkan Ummatnya,seperti Gus Dur terkadang bersikap
nyeleh terhadap selain islam,namun sejatinya Gus Dur semata-mata ingin
menunjukkan rasa simpatik beliau terhadap pemeluk Agama lain.
F. Dampak Pluralisme
Dengan mencermati hal tersebut dapat dimengerti jika
gagasan pluralisme merupakan ide yang berhubungan erat dengan sekulerisme yang
memandang bahwa agama harus dipisahkan dalam kehidupan publik. Sekulerisme
tidak mempersoal-kan perbedaan keyakinan seseorang namun dalam kehidupan publik
agama harus dikesam-pingkan. Pluralisme yang menganggap semua agama sama
dianggap sebagai gagasan yang tepat untuk menghilangkan eksklusifitas agama
dalam kehidupan publik. Dengan kata lain dalam sebuah tatanan masyarakat dan
negara tidak boleh ada suatu agama yang mendominasi agama lain karena kebenaran
semua agama bersifat relatif.
Tidak heran jika tokoh-tokoh pluralisme termasuk di
Indonesia paling getol menentang pemberlakuan syariat Islam. Pada saat yang sama mereka mendukung eksistensi
berbagai aliran-aliran sesat semisal Ahmadiyah dan Jamaah Salamullah.
Pluralisme yang menganggap semua agama sama telah
memberikan ruang bagi siapapun untuk berpindah agama, tidak beragama atau
bahkan mendirikan agama baru sekalipun. Ini karena orang yang menganut
pluralisme menganggap tidak ada perbedaan yang substansial antara satu agama
dengan agama lainnya. Oleh karena itu aktivitas berpindah agama (riddah)
dianggap sebagai hal yang lumrah dan bukan merupakan tindakan kriminal.
G. Kebatilan Pluralisme
Sebagai sebuah gagasan, pluralisme haram untuk
diadopsi, disebarkan dan dipraktekkan. Hal karena antara lain:
Pertama, ide tersebut lahir dari gagasan sekulerisme
yang memisahkan agama dari kehidupan. Dari sini saja sebenarnya sudah cukup
untuk menyatakan kebatilan ide tersebut, sebab gagasan apapun yang tidak
bersumber dari aqidah Islam meski memiliki kesamaan tetap dianggap sebagai
sebuah keba-tilan. Gagasan ini juga tidak dapat diterapkan atas umat Islam
sebagaimana awalnya ditujukan kepada agama Kristen. Dengan kata lain ia
bersifat ekskulisif bagi agama Kristen dan mungkin agama lain namun tidak bagi
agama Islam. Hal ini karena Islam telah memiliki sejumlah solusi dalam
menyikapi dan menyele-saikan berbagai konflik yang terjadi baik secara
personal, kelompok maupun antar umat beragama.
Kedua, pluralisme meng-anggap hakekat semua agama
sama. Kebenaran seluruh agama juga dipandang relatif dan oleh karenanya pemeluk
suatu agama tidak boleh mengklaim agama-nya paling benar. Padahal di dalam
Islam telah dijelaskan secara qathi'y bahwa agama Islam adalah satu-satunya
agama yang benar (QS Ali Imran [3]:163), sementara selainnya adalah agama yang
batil dan meyakini kebenarannya adalah kekufuran (QS al-Taubah [9]:30-31).
Orang yang keluar dari agama Islam dianggap sebagai pelaku tindak kriminal yang
wajib untuk dibu-nuh jika enggan bertaubat. Selain itu Islam juga menegaskan
bahwa dalam ajaran Islam terdapat sejumlah ajaran yang bersifat qath'iy yang
wajib untuk diyakini kebenarannya secara mutlak. Justru menganggapnya sebagai
sesuatu yang relatif maka menjerumuskan sese-orang pada kekafiran seperti
merelatifkan kebenaran Alquran dan Sunnah.
Ketiga, pluralisme pada faktanya telah dijadikan
sebagai 'alat' untuk menghalangi ter-wujudnya pelaksanaan syariat Islam secara
total dalam sebuah negara. Alasannya sederhana, suatu agama tidak boleh
diterap-kan dalam kehidupan publik sebab hal tersebut meniscaya-kan adanya
pemaksaan kepada pihak yang beragama lain. Na-mun pada sisi lain gagasan pluralisme telah
menempatkan sistem kapitalisme sebagai 'agama baru' yang wajib ditaati. Yang
jelas dirugikan oleh gaga-san ini adalah umat Islam. Hal ini karena dari semua
agama yang ada, hanya Islam-lah yang merupakan sebuah ideologi yang memiliki
peraturan yang lengkap dan wajib diterapkan secara menyeluruh dalam selu-ruh
aspek kehidupan termasuk kepada non-Muslim.
Keempat, gagasan ini jelas sangat sesuai dengan
berbagai kepentingan negara-negara Barat yang tidak menginginkan umat Islam
menerapkan Islam sebagai sebuah ideologi dalam suatu negara. Ini sangat
dime-ngerti mengingat berbagai ben-tuk penjajahan mereka terhadap dunia Islam
akan mendapatkan perlawanan yang efektif dari negara Islam. Sebaliknya dengan 'matinya' negara Islam, mereka dapat
leluasa melanggengkan dominasi mereka atas umat Islam seperti saat ini.
[1] Syafa’atun
Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar
Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 7.
[2] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), Cet. II, hlm. 855.
[3] Amin Abdullah, Dinamika
Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, Bandung: Mizan,
2000), hal. 68.
[4] Hamid Fahmy
Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo, Centre for Islamic
and Occidental Studies (CIOS), 2007), hal. 92.
[5] Siti Musdah
Mulia, dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung:
Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005) hal. 238.
[6]
Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam perdebatan, ( Malang: UMMPress, 2009), hal.
170.
[7] St. Sunardi, Dialog: Kritik dan Identitas Agama,
(Yogyakarta: Dian/Interfidei 1993)., hal. 69
[8] http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/30/konsep-proyeksi-sang-filsuf-ateis-ludwig-feuerbach/
[9] Artawijaya, Gerakan
Theosofi di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hal.,16-35
[11] Zuhairi Misrawi, Pluralisme
Pasca Gus Dur,
http://cetak.kompas.com tanggal 04 Januari 2010
0 komentar:
Posting Komentar