Sabtu, 03 Desember 2011

Pluralisme Objek Realitas di Indonesia


A.    Pengertian Pluralisme
Istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, penda­pat orang tentang istilah ini juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu dikatakan plural pasti  terdiri dari banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang. [1]
Pluralisme menurut bahasa adalah teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi. Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak etnik,
budaya, tradisi, suku maupun agama. Hal tersebut memberikan bukti bahwa Indonesia adalah negara yang pluralistic.
Pluralisme adalah suatu keadaan atau kondisi masyarakat dimana para anggota dari beragam kelompok suku, ras, agama, ataupun sosial memelihara/ menegakkan partisipasi otonom mereka dana perkembangan kultur tradisional mereka atau kepentingan khusus mereka dalam batas-batas peradaban bersama.
Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat-nya menjelaskan ‘pluralisme’ sebagai pandangan yang berupaya membenarkan keberagaman filsafat, dengan menegaskan bahwa semua kebenaran bersifat relatif, dan menganggap semua keyakinan filosofis dan religius dalam pengertian relativisme murni, sebagai pendapat-pendapat pribadi yang semuanya mempunyai nilai yang sama.[2]
Istilah pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Dika­takan istilah lama karena perbincangan mengenai pluralitas telah die­laborasi secara lebih jauh oleh para pemikir filsafat Yunani secara konse­ptual dengan aneka ragam alternatif memecahkannya. Para pemikir tersebut mendefinisikan pluralitas secara berbeda-beda lengkap dengan beragam tawaran solusi menghadapi pluralitas. Permenides menawarkan solusi yang berbeda dengan Heraklitos, begitu pula pendapat Plato tidak sama  dengan apa yang dikemukakan Aristoteles.[3] Hal itu berarti bahwa isu pluralitas sebenarnya setua usia manusia.


B.     Sejarah Pluralisme
Pluralisme telah muncul diindia pada akhir abad ke 15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya yaitu guru nanak (1469-1538)
Pencetus-pencetus Pluralisme
Ernst Troelsch (1865-1923): seorang teolog Kristen liberal dalam sebuah makalahnya yang berjudul (posisi agama Kristen diantara agama-agama dunia) doi berpendapat bahwa dalam semua agama termasuk Kristen selalu mengandung elemen kebenaran mutlak. konsep tentang ketuhanan dimuka bumi ini beragam dan tidak hanya Satu.
William E. Hocking dalam bukunya Rethinking Mission pada tahun 1932 dan berikutnya Living Religions and A World Faith doi memperediksikan munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan global.
Arnold Toynbee(1889-1975) pemikirannya hamper sama dengan Ernst Troelsch dalam karyanya An Historian’s Approach To Religion (1965) dan dan Crishtianity An World Religions (1957).
Wilfred Cantwell  Smith dalam karyanya Towards A World Theology (1981) karena gagasan doi inilah pluralisme semakin berkembang dia menyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama (commond ground) bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis.

C.    Pluralisme di Indonesia
Tipologi pluralisme di Indonesia adalah bentuknya modifikasi. Beberapa mengambil sebagian aliran global teologi dan sebagian mengambil dari Transendent Unity of Religions. Dan kedua aliran tersebut bertujuan sama, yaitu; keberadaan agama-agama sama derajatnya. Tetapi aliran yang diminati oleh kaum pluralis Indonesia adalah aliran transendent unity of religions. Sebab wacana agama Indonesia banyak dilatar belakangi oleh konflik sosial dari pada konflik teologi.

1.      Pluralisme Basis Relativisme

Kebenaran dogma menjadi salah satu perbincangan dalam masalah pluralisme agama. Truth claim terhadap dogma agama yang dipeluk para penganut agama-agama seakan mengusik kaum pluralis, sehingga kaum pluralis menganjurkan kepada pemeluk agama untuk menganut paham ini. Tetapi kaum pluralis sendiri memaknai pluralisme masih dalam perdebatan.
Pluralisme yang ada di Indonesia memiliki beberapa tipe, pada satu sisi mengandung nilai-nilai toleransi, pada sisi yang lain mengandung nilai relativisme, bahkan sampai pada tingkat nihilisme. Doktrin relativisme beramula dari Protagoras sorang sofis yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things).[4] Doktrin relativisme hanya mengandalkan akal manusia maknanya agama hanyalah tradisi. Agama tidak layak dijadikan patokan/standarisasi nilai-nilai kebenaran yang absolute.[5] Kaum relativis berkeyakinan yang absolute hanya Tuhan, jadi kebenaran agama hasil tafsiran manusia adalah relative dan tidak absolut.
Pluralisme berkaitan erat dengan relativisme kebenaran, sedangkan relativisme memandang, bahwa semua keyakinan keagamaan, idiologi, dan pemikiran filosofis, sama-sama mengandung kebenaran dan memiliki posisi yang sederajat. Jadi tidak ada kebenaran yang mutlak yang dapat ditemukan dalam suatu agama karena memiliki kapasitas yang sama.[6]

Pluralis-relativisme adalah gagasan yang menekankan, bahwa perbedaan dan kemajemukan adalah prinsip yang tertinggi. Pemahaman pluralisme mengharuskan manusia menghormati semua bentuk keanekaragaman dan perbedaan, dengan menerima hal tersebut adalah bentuk dari menerima realitas yang sebenarnya. Dalam sikap seorang pluralis bukan hanya berhenti pada pluralitas, tetapi menurut Nurcholish Madjid dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban menyatakan bahwa sikap menerima pluralitas dengan sikap menerima pluralisme.

2.      Pluralisme Berbasis Nihilisme

Tipe pluralisme basis nihilisme adalah bahwa jika semua agama adalah sama benar maka logika terbaliknya adalah tidak ada kebenaran dalam semua agama. Sehingga Ludwig Feuerbach menunjukkan esensi agama terletak pada manusia. [7]sehingga Feuerbach memaknai agama hanyalah gambaran akan keinginan manusia yang tak terbatas, yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri dan tidak lebih dari proyeksi hakikat manusia.
Agama itu hanya merupakan perwujudan cita- cita: “Ilusi religius yang terdiri dari suatu objek bersifat imanen pada pikiran kita menjadi lahiriah,[8] mewujudkannya, mempersonifikasikannya. ”Atribut- atribut Ilahi merupakan perwujudan dari predikat- predikat manusiawi, yang tidak sesuai dengan individu manusia sebagai individu, Allah yang kekal, itulah akal budi manusia dengan coraknya yang bersifat mutlak yang sekali lagi merupakan hasil proyeksi manusia. Agama merupakan kesadaran yang tidak terhingga.
Pada tipe ini menyatakan bahwa, kebenaran sejatinya tidak ada, sebab dari pemahaman tentang  kebenaran adalah sama benarnya. Karena kebenaran sama benarnya atau bisa jadi semua kebenaran adalah sama salahnya, itu berarti kebenaran itu tidak ada. Selain itu juga kaum pluralis menganggap bahwa toleransi jika tidak dibarengi dengan sikap pluralisme itu bukanlah sikap toleransi sejati. Seorang pluralis sejati memaknai pluralisme dengan kesamaan dan kesetaraan dalam segala hal, termasuk beragama. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Kaum pluralis juga beranggapan bahwa umat beragama jika tidak mengaplikasikan pluralisme dalam keagamaanya berarti toleran atau intoleran terhadap pemeluk agama yang lain.

3.      Pluralisme Basis Theosofis
Theosofis merupakan organisasi aliran kebatinan, wadah studi, dan pemahaman mengenai kebijaksanaan Ilahi yang tersirat di alam raya ini. Menurut Artawijaya yang menulis Gerakan Theosofi di Indonesia, bahwa antara Freemasonry  dan theosofi adalah satu tujuan dan hanya beda nama.[9] Inti ajaran dari theosofi adalah agama apapun selama menjunjung tinggi kemanusiaan dan menebarkan kebajikan adalah pada hakekatnya sama. Tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kebenaran. Inilah ajaran teosofi dalam memandang agama.[10]
Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.[11]

4.      Pluralisme Bukan Toleransi
Dalam konsep Islam mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, tetapi tidak sampai pada tingkat pembenaran terhadap teologinya. Islam tetap mengakui kesalahan teologi agama yang lain bahkan sampai tingkat mengoreksi, tetapi Islam juga tidak memaksakan mereka untuk untuk masuk Islam. Islam juga membiarkan agama selain Islam untuk melaksanakan ritual agamanya, selama tidak mengganggu agama Islam. Ini berarti Islam tidak mentolerir persamaan agama (lakum dinukum wa liyadin).

D.    Polemik pluralisme di Indonesia
a.       Polemik.
Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti :
1.       pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial cultural
  1. pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama
  2. pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di indonesia tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.
Berbagai pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar tidak timbul kerancuan.
Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism - non asimilasi, hal ini di-salah-paham-i sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi penganut definisi pluralisme - asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya.
b.      Kristalisasi Polemik.
Adanya kenyataan bahwa tingkat pendidikan yang kurang baik, sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan penduduk indonesia kurang kritis dalam menangani suatu informasi. Sebuah kata yang masih rancu pun menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam. Emosi dan perasaan tersinggung seringkali melapisi aroma debat antar tiga pihak yaitu :
  1. penganut pluralisme dalam arti asimilasi
  2. penganut pluralism dalam arti non asimilasi
  3. penganut anti-pluralisme (yang sebenarnya setuju dengan pluralism dalam arti non-asimilasi).

E.     Pluralisme Persepektif Gus Dur
Pandangan Gus Dur tentang Pluralisme,bahwa ia mengambarkan tentang Pluralime seperti yang dialami ,ada tiga orang mahasiswa yang dujuluki punya kemampuan intelektual yang sangat tinggi dalam  memahami persamaan nasib di Negara orang lain.Intelektual pertama adalah penganut pandangan Pluralistik dalam soal-soal Agama,ia mengakui tentang pentingnya perbedaan pandangan antar kelompok yang begitu beragam.Lalu Sarjana yang kedua,Penganut Ortodoksi agama dalam artian yang tulen ia tidak keberatan ,jika ada orang menyatakan tentang pendapat berbeda,tetapi ia sendiri tidak pernah mempertanyakan pada ajaran- ajaran formal agamanya.Maka ia dikatakan sebagai seorang intelektual baik-baik.Dan yang ketiga adalah Orang yang dulunya penganjur pembaruan  dan kini berubah identitas,oleh kebutuhan politik .Lebih tepat ia dinamai Pluralistik cultural dan monolotik Politik.Selama perjalanan puluhan jam ke Negeri asing itu,ada beberapa kemungkinan yang terjadi diantara mereka.Mungkin mereka berdebat mempertahankan kecenderungan mereka masing-masing.Atau beramanis-manis membicarakan hal-hal yang disepakati,yang jelas turun dari pesawat terbang  masing-masing berpegang teguh pada pendirian masing-masing,akan tetapi pengalaman di Negeri Orang itu ternyata menyamakan sikap mereka.Ketiga orang itu menolak mengikuti konfrensi dan seminar ,ketika seorang tokoh separatis dari Negerinya sendiri diterima sebagai peserta.Tokoh separatis itu jelas akan dihukum mati kalau teretangkap,dan dibawa ke pengadilan Negerinya-yang juga negeri mereka bertiga-Indonesia tercinta.Ia bisa selamat dari hukuman mati karena menghilang dan muncul di luar Negeri.Antara lain di forum, Ilmiyah di atas.Yang menarik dari pernyataan tiga mahasisa diatas adalah kenyataan ikatan kebangsaan atas ikatan keagamaan .Bukan membentuk  Persekutuan baru  untuk memperluas kesadaran,dengan tokoh separatis yang menjadi orang keempat itu,melainkan mereka malah menutup pintu bagi kehadirannya.Ikatan keagamaan sesama pejuang Islam ternyata tidak mempersatukan mereka. Di dalam cabinet Republik Indonesia yang pertama,yang dengan sebutan Kabinet Soekarno yang berumur pendek,tidak disebut-sebut nama kementrian agama.Baru dalam kabinet berikutnya lembaga itu tercantumkan,dan sejak itu tidak pernah hilang dari peredaran. Kabinet kedua itu dikenal dengan sebutan Kabinet Sjahrir.Mengapa Soekarno yang senang bergulat dengan  pemikiran Islam tidak mencantumkan  Kementerian Agama sedang Sjahrir yang diklasifikasi tokoh sekuler justru menciptakanny? Apakah karena dorongan keimanan sendiri Sjahrir?Mustahil:tokoh ini tidak pernah percaya keimananan dapat dikongritkan ke dalam sebuah lembaga,tanpa kehilangan aktivitas dan elemennya.Lalu mengapa?.Maka Jawabnya sederhana saja sebabnya:Kepentingan nasional tanpa kehadiran Kementerian Agama,gologan Islam tidak dapat menerima kehadiran pemerintah yang sah yang dipimpinnya.Dan sebagai Pemimpin Bangsa ,ia harus memperhatikan aspirasi kelompok-kelompok lain.Sedang Soekarno tidak dihadapkan pada tuntutan itu,ketika membentuk cabinet pertama ,atau setidak-tidaknya,tidak mengangap penting aspirasi Ummat beragama itu.Ternyata kepentingan nasional memiliki hukum-hukum sendiri,yang dalam banyak hal dimanfaatkan untuk kepentingan Agama.Ia dapat menciptakan ikatan kebangsaan untuk mengkongritkan hidup beragama.Tidak sebaliknya.Inilah kenyataan penting yang harus selalu diingat karena seringnya muncul kembali kecenderungan menghadapkan rasa kebangsaan kepada rasa keagamaan.Kedua-duanya adalah sector kehidupan yang harus saling terkait,kalau diinginkan kehidupan memiliki arti penuh.Sedang Gus Dur memandang sebuah pluralisme adalah sebuah keniscayaan nilai-nilai Kebangsaan yang beliau miliki terhadap pemeluk-pemeluk agama lain atau kepercayaan agama selain islam yang dibungkus dalam wadah yang bernama Islam,yang ia miliki sejak beliau lahir sampai wafat,tetap Islam,namun beliau sangat concern terhadap pemeluk-pemeluk agama selain islam dalam bingkai kebangsaan,Istilah beliau Berjuang tidak harus menonjolkan Identitas Agama.Akan tetapi, Mewarnai agama Lain dengan bahasa  akhlaq yang beliau miliki terhadap pemeluk agama lain ,bisa juga bagian dari perjuanagan nilai-nilai Agama.Yang pada hakikatnya Islam diutus melalui nabinya hannya untuk menata akhlaq manusia,dan sejatinya Allah Swt.mengutus Engkau Muhammad untuk Rahmatal Lil Alamin,sehingga  Islam dimata non muslim akan menampakkan Akhlaqnya,maka disitulah Agama-agama lain akan punya simpatik terhadap prilaku yang ditampakkan Ummatnya,seperti Gus Dur terkadang bersikap nyeleh terhadap selain islam,namun sejatinya Gus Dur semata-mata ingin menunjukkan rasa simpatik beliau terhadap pemeluk Agama lain.
F.     Dampak Pluralisme
Dengan mencermati hal tersebut dapat dimengerti jika gagasan pluralisme merupakan ide yang berhubungan erat dengan sekulerisme yang memandang bahwa agama harus dipisahkan dalam kehidupan publik. Sekulerisme tidak mempersoal-kan perbedaan keyakinan seseorang namun dalam kehidupan publik agama harus dikesam-pingkan. Pluralisme yang menganggap semua agama sama dianggap sebagai gagasan yang tepat untuk menghilangkan eksklusifitas agama dalam kehidupan publik. Dengan kata lain dalam sebuah tatanan masyarakat dan negara tidak boleh ada suatu agama yang mendominasi agama lain karena kebenaran semua agama bersifat relatif.
Tidak heran jika tokoh-tokoh pluralisme termasuk di Indonesia paling getol menentang pemberlakuan syariat Islam. Pada saat yang sama mereka mendukung eksistensi berbagai aliran-aliran sesat semisal Ahmadiyah dan Jamaah Salamullah.
Pluralisme yang menganggap semua agama sama telah memberikan ruang bagi siapapun untuk berpindah agama, tidak beragama atau bahkan mendirikan agama baru sekalipun. Ini karena orang yang menganut pluralisme menganggap tidak ada perbedaan yang substansial antara satu agama dengan agama lainnya. Oleh karena itu aktivitas berpindah agama (riddah) dianggap sebagai hal yang lumrah dan bukan merupakan tindakan kriminal.

G.    Kebatilan Pluralisme
Sebagai sebuah gagasan, pluralisme haram untuk diadopsi, disebarkan dan dipraktekkan. Hal karena antara lain:

Pertama, ide tersebut lahir dari gagasan sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Dari sini saja sebenarnya sudah cukup untuk menyatakan kebatilan ide tersebut, sebab gagasan apapun yang tidak bersumber dari aqidah Islam meski memiliki kesamaan tetap dianggap sebagai sebuah keba-tilan. Gagasan ini juga tidak dapat diterapkan atas umat Islam sebagaimana awalnya ditujukan kepada agama Kristen. Dengan kata lain ia bersifat ekskulisif bagi agama Kristen dan mungkin agama lain namun tidak bagi agama Islam. Hal ini karena Islam telah memiliki sejumlah solusi dalam menyikapi dan menyele-saikan berbagai konflik yang terjadi baik secara personal, kelompok maupun antar umat beragama.

Kedua, pluralisme meng-anggap hakekat semua agama sama. Kebenaran seluruh agama juga dipandang relatif dan oleh karenanya pemeluk suatu agama tidak boleh mengklaim agama-nya paling benar. Padahal di dalam Islam telah dijelaskan secara qathi'y bahwa agama Islam adalah satu-satunya agama yang benar (QS Ali Imran [3]:163), sementara selainnya adalah agama yang batil dan meyakini kebenarannya adalah kekufuran (QS al-Taubah [9]:30-31). Orang yang keluar dari agama Islam dianggap sebagai pelaku tindak kriminal yang wajib untuk dibu-nuh jika enggan bertaubat. Selain itu Islam juga menegaskan bahwa dalam ajaran Islam terdapat sejumlah ajaran yang bersifat qath'iy yang wajib untuk diyakini kebenarannya secara mutlak. Justru menganggapnya sebagai sesuatu yang relatif maka menjerumuskan sese-orang pada kekafiran seperti merelatifkan kebenaran Alquran dan Sunnah.

Ketiga, pluralisme pada faktanya telah dijadikan sebagai 'alat' untuk menghalangi ter-wujudnya pelaksanaan syariat Islam secara total dalam sebuah negara. Alasannya sederhana, suatu agama tidak boleh diterap-kan dalam kehidupan publik sebab hal tersebut meniscaya-kan adanya pemaksaan kepada pihak yang beragama lain. Na-mun pada sisi lain gagasan pluralisme telah menempatkan sistem kapitalisme sebagai 'agama baru' yang wajib ditaati. Yang jelas dirugikan oleh gaga-san ini adalah umat Islam. Hal ini karena dari semua agama yang ada, hanya Islam-lah yang merupakan sebuah ideologi yang memiliki peraturan yang lengkap dan wajib diterapkan secara menyeluruh dalam selu-ruh aspek kehidupan termasuk kepada non-Muslim.

Keempat, gagasan ini jelas sangat sesuai dengan berbagai kepentingan negara-negara Barat yang tidak menginginkan umat Islam menerapkan Islam sebagai sebuah ideologi dalam suatu negara. Ini sangat dime-ngerti mengingat berbagai ben-tuk penjajahan mereka terhadap dunia Islam akan mendapatkan perlawanan yang efektif dari negara Islam. Sebaliknya dengan 'matinya' negara Islam, mereka dapat leluasa melanggengkan dominasi mereka atas umat Islam seperti saat ini.


[1] Syafa’atun Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 7.
[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), Cet. II, hlm. 855.
[3] Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000), hal. 68.
[4] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo, Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007), hal. 92.
[5] Siti Musdah Mulia, dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005) hal. 238.
[6] Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam perdebatan, ( Malang: UMMPress, 2009), hal. 170.

[7] St. Sunardi, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei 1993)., hal. 69

[8] http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/30/konsep-proyeksi-sang-filsuf-ateis-ludwig-feuerbach/

[9] Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hal.,16-35
[10] Ibid, hal. 49.
[11] Zuhairi Misrawi, Pluralisme Pasca Gus Dur,  http://cetak.kompas.com tanggal 04 Januari 2010

0 komentar:

Posting Komentar