Minggu, 05 Oktober 2014

perbandingan antara Undang-Undang Dasar 1945 Pra Amandemen dan Pasca Amandemen

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Undang – undang dibuat harus sesuai dengan keperluan dan harus peka zaman, artinya aturan yang dibuat oleh para DPR kita sebelum di syahkan menjadi Undang-undang sebelumnya harus disosialisasikan dahulu dengan rakyat, apakah tidak melanggar norma- norma adat atau melanggar hak – hak azazi manusia. Salah satu bukti bahwa Undang – Undang yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zamanya adalah Undang-Undang dasar 1945. Dengan mengalami empat kali perubahan yang masing – masing tujuanya tidak lain hanya untuk bisa sesuai dengan kehendak rakyat dan bangsa kita, dalam arti bisa mewakili aspirasi rakyat yang disesuaikan zamanya , dimana dalam amandemen yang ke 4 rakyat memegang kekuasaan yang paling tinggi, sangat berbeda dengan sebelum amandemen yang MPR merupakan wakil rakyat untuk mewujudkan aspirasinya yang salah satu tugasnya adalah dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden, karena dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang korup, syarat dengan aroma KKN yang membentuk kekuasaan tak terbatas terhadap Presidenya. Kita tahu bahwa dalam masa Orde Baru Presiden kita tidak pernah mengalami pergantian selama 32 tahun meski telah mengalami Pemilihan Umum sebanyak tidak kurang dari 6 kali Pemilu. Oleh sebab itu para mahasiswa kita dan para aktivis lainya mengadakan Reformasi yang berimbas juga pada reformasi didalam isi Undang-Undang Dasar 1945.

B.     Rumusan Masalah
1.        Bagaimanakah tinjauan perbandingan antara Undang-Undang Dasar 1945 Pra Amandemen dan Pasca Amandemen?
C.    Tujuan
Paper ini di buat bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap perbandingan abtara Undang-Undang Dasar 1945 pra amandemen dan pasca amandemen, agar bisa bermanfaat bagi pembaca. Penulis juga bertuuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Tata Negara.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Undang Undang Dasar 1945 Sebelum dan Sesudah Perubahan
Perubahan Pertama, disahkan 19 Oktober 1999
·         Terdiri dari 9 pasal: Ps. 5; Ps. 7 ;Ps.9; Ps.13; Ps.14; Ps.15; Ps.17; Ps.20; Ps.21.
·         Inti perubahan: Pergeseran kekuasaan Presiden yang dipandang terlampau kuat (executive heavy)

Perubahan Kedua, disahkan 18 Agustus 2000
·         Perubahan: 5 Bab dan 25 pasal: Ps. 18; Ps. 18A; Ps. 18B ; Ps. 19 ; Ps.20 ; Ps.20A ; Ps.22A ; Ps.22B ; Bab IXA, Ps 25E; Bab X, Ps. 26 ; Ps. 27; Bab XA, Ps. 28A ; Ps.28B; Ps.28C ; Ps.28D ; Ps.28E ; Ps.28F ; Ps.28G ; Ps.28H ; Ps.28I; Ps.28J ; Bab XII, Ps. 30; Bab XV, Ps. 36A ; Ps.36B ; Ps.36C.
·         Inti Perubahan: Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi Manusia, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.  
                    
Perubahan Ketiga, disahkan 10 November 2001
·         Perubahan 3 Bab dan 22 Pasal: Ps. 1; Ps. 3 ; Ps.6 ; Ps.6A ; Ps.7A ; Ps.7B ; Ps.7C ; Ps.8 ; Ps.11 ; Ps.17, Bab VIIA, Ps. 22C ; Ps.22D ; BabVIIB, Ps. 22E ; Ps.23 ; Ps.23A ; Ps.23C ; Bab VIIIA, Ps. 23E ; Ps. 23F ; Ps.23G ; Ps.24 ; Ps.24A ; Ps.24B ; Ps.24C.
·         Inti Perubahan: Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman

Perubahan Keempat, disahkan 10 Agustus 2002
·         Perubahan 2 Bab dan 13 Pasal: Ps. 2; Ps. 6A ; Ps.8 ; Ps. 11 ; Ps.16 ; Ps.23B ; Ps.23D ; Ps.24 ; Ps. 31 ; Ps.32 ; Bab XIV, Ps. 33 ; Ps.34 ; Ps.37.
·         Inti Perubahan: DPD sebagai bagian MPR, Penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraansosial, perubahan UUD.

B.     UUD Sebelum Amandemen
Ø  UUD Sebelum Amandemen Selalu Otoriter
Adalah  kenyataan bahwa UUD 1945 sebelum diamandemen  selalu menimbulkan otoriterisme kekuasaan. Ini  dapat dilihat dari periodisasi berlakunya UUD 1945 yang berlaku  dalam  tiga  periode sejarah  politik dan ketatanegaraan di Indonesia, yaitu: pertama, periode  1945-1949; kedua, periode 1959-1966; ketiga, periode 1966-1998. Dalam sejarah  politik dan  ketatanegaraan di  Indonesia perkembangan demokrasi dan otoriterisme tercatat sebagai berikut:
1.    Periode 1945-1959 demokrasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di bawah sistem Parlementer. Pada periode sempat berlaku tiga konstitusi atau UUD yakni UUD 1945 (1945-1949), Konstitusi  RIS 1949, UUDS 1950.  Dari ukuran-ukuran umum tentang bekerjanya demokrasi (misalnya diukur dari peran parlemen, kebebasan pers, peran parpol dan  netralitas pemerintah)  pada periode demokrasi tumbuh  subur  meski  berlaku tiga  UUD yang berbeda.  Munculnya demokrasi pada periode pertama berlakunya UUD 1945  justru  dimulai ketika secara terang-terangan UUD 1945 tidak diberlakukan di  dalam praktik melalui Maklumat  No.  X  Tahun  1945 tanggal 16 Oktober  1945 yang kemudian  disusul  dengan penggantian sistem pemerintahan  yang sama sekali  tidak  sesuai dengan UUD 1945 yakni sistem pemerintahan Parlementer.
2.    Periode 1959-1966 demokrasi dapat dikatakan mati sebab dengan demokrasi terpimpin pemerintah  tampil secara sangat otoriter  yang ditandai dengan pembuatan  Penpres di bidang hukum,  pembubaran lembaga perwakilan rakyat,  pembredelan pers secara besar-besaran, penangkapan  tokoh-tokoh politik tanpa prosedur hukum, dan sebagainya. Pada periode ini berlaku UUD 1945  berdasarkan dekrit Presiden  5 Juli  1959  yang dituangkan di dalam Kepres No.  150 dan  ditempatkan di  dalam Lembaran Negara  No.  75 tahun 1959.
3.    Periode 1966-1998 demokrasi  juga  tidak dapat hidup dengan wajar karena yang dikembangkan  adalah  demokrasi prosedural semata-mata,  yakni demokrasi yang dibatasi dan diatur dengan UU tetapi  isi UU itu  melanggar substansi demokrasi. Akibatnya tidak ada kontrol yang kuat terhadap pemerintah, pemeran utama politik nasional adalah militer dengan sutradara utamanya Presiden Soeharto, dan KKN merajalela sampai menjerumuskan Indonesia ke dalam krisis multidimensi yang sulit diatasi. Mengenai alasan, mengapa pada periode-periode berlakunya UUD 1945 yang asli sebelum diamandemen selalu  terjadi  otoriterisme,  berbagai studi telah  menyimpulkan bahwa UUD 1945 itu mengandung kelemahan sistem yang dijadikan pintu masuk untuk  membangun otoriterisme, yakni: 
Pertama, membangun sistem yang executive heavy yang menjadikan presiden sebagai penentu seluruh agenda politik nasional.
Kedua, memuat pasal-pasal penting yang multitafsir dan tafsir yang harus dianggap benar adalah tafsir pemerintah secara sepihak.
Ketiga, memberi atribusi kewenangan yang terlalu besar kepada lembaga legislatif untuk mengatur  hal-hal  penting dengan UU tanpa pembatasan  yang jelas padahal Presiden adalah pemegang kekuasaan legislatif dengan DPR yang ketika itu hanya diberi fungsi menyetujui.
a.      Konstitusi yang ‘Sarat-Eksekutif’
UUD 1945 adalah sebuah konstitusi yang ‘sarat-eksekutif.’ Ini berati bahwa Konstitusi ini memberikan begitu banyak kekuasaan kepada eksekutif, tanpa menyertakan sistem kontrol konstitusional yang memadai. Di bawah UUD 1945, Presiden adalah Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara. Sebagai Kepala Pemerintahan atau Kepala Eksekutif, Presiden memiliki kewenangan eksklusif atas menteri-menteri dan pembentukan kabinet, Pasal 17 ayat (1) dan (2). Sebagai Kepala Negara, Presiden memegang kekuasaan untuk:
1.    Menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
2.    Menyatakan perang, membuat perdamaian, dan menandatangani perjanjian dengan negara lain (Pasal 11).
3.    Menyatakan keadaan darurat (Pasal 12).
4.    Mengangkat duta besar dan konsul, dan menerima surat-surat kepercayaan duta besar negara sahabat (Pasal 13).
5.    Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda-tanda kehormatan lainnya (Pasal 15).
Kecuali untuk kekuasaan menyatakan perang, membuat perdamaian, dan meneken perjanjian internasional, yang kesemuanya harus dengan persetujuan DPR (Pasal 11), tak satu pun di antara kekuasaan Presiden tersebut harus mendapat persetujuan atau konfirmasi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Bahkan Batang Tubuh UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan pengawasan, sekalipun menurut Penjelasan UUD 1945, DPR harus “senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden.”[1]
Pada praktiknya, kekuasaan Presiden yang luas dan sebagian besar tak terkontrol ini digunakan Soeharto sebagai landasan hukum untuk memilih orang pilihannya untuk menduduki posisi-posisi strategis. Tak heran bila Soeharto berhasil mengendalikan birokrasi, militer, lembaga legislatif, dan yudikatif. Pada dasarnya ia adalah satu-satunya pemegang kekuasaan yang memiliki wewenang untuk mengangkat dan memecat siapa pun sekehendaknya.[2]
Sistem UUD 1945 menjadi lebih ‘sarat-eksekutif’ karena, disamping kekuasaan-kekuasaan eksekutifnya yang sedemikian besar, Presiden juga memiliki kekuasaan legislatif. UUD 1945 jelas menyatakan bahwa; “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislative power dalam negara.
b.      Sistem Checks and Balances yang Tak Jelas
MPR berfungsi sebagai lembaga tertinggi negara dan merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kekuasaan MPR dalam teori tak terbatas. Konsepsi ini menjadikan MPR sebagai sebuah parlemen yang superior.[3]
Di satu sisi, aturan-aturan tentang MPR yang superior ini membuat sistem Indonesia terlihat Parlementer. Tetapi di sisi lain, argumen tentang konstitusi yang ‘sarat eksekutif’ itu menjadi indikasi bahwa, dalam praktiknya, Indonesia menerapkan sistem presidensial.
Di tataran praktik, MPR yang superior itu tidak kuat untuk mengendalikan Presiden. Bahkan sisten konstitusi yang ‘sarat eksekutif’ berhasil mengungguli konsep parlemen superior. Meski berdasarkan UUD 1945, MPR lebih unggul sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi pada praktiknya, Presidenlah yang dominan.
c.       Terlalu Banyak Pendelegasian ke Tingkat Undang-Undang
UUD 1945 mendelegasikan 12 masalah penting lainnya untuk diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Kedua belas hal penting ini meliputi:
1.    Syarat-syarat untuk menyatakan keadaan darurat negara. (Pasal 12)
2.    Susunan dan kedudukan Dewan Pertimbangan Agung. (Pasal 16)
3.    Pembagian pemerintahan daerah. (Pasal 18)
4.    Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 19 ayat 1)
5.    Masalah keuangan dan pajak. (Pasal 23)
6.    Susunan dan kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan. (Pasal 23 ayat 5)
7.    Susunan dan kedudukan lembaga-lembaga hukum, termasuk Mahkamah Agung. (Pasal 24)
8.    Pengangkatan dan pemberhentian hakim-hakim. (Pasal 25)
9.    Masalah kewarganegaraan. (Pasal 26)
10.  Kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. (Pasal 28)
11.  Masalah pertahanan keamanan. (Pasal 30 ayat 2)
12.  Sistem pendidikan nasional. (Pasal 31)
Pendelegasian kepada undang-undang ini tidak akan problematis seandainya saja UUD 1945 menyediakan mekanisme checks and balances yang kuat dan pagar-pagar panduan tentang apa saja yang harus diatur. Batasan demikian sangat penting, karena DPR yang semestinya bekerja sama dengan Presiden untuk membuat berbagai undang-undang, praktis tidak mampu mengontrol kekuasaan legislatif Presiden, karena komposisi DPR sendiri pun bergantung kepada undang-undang yang diramu Presiden. Pada akhirnya, begitu banyak pendelegasian yang tak jelas ke tingkat undang-undang, menjadi satu lagi karakteristik otoritarianisme dalam UUD 1945.[4]
d.      Pasal-Pasal yang Ambigu
UUD 1945 memuat sejumlah pasal krusial yang bermakna ganda. Salah satu pasal yang membantu membentuk karakter otoriter rezim Soeharto adalah Pasal 27 UUD 1945, yang menyebutkan; “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”
Dari perspektif konstitusionalisme, Pasal ini mestinya ditafsirkan bahwa Presiden hanya boleh dipilih kembali untuk jabatan yang sama selama maksimum dua periode. Tetapi Soeharto dan kaki tangannya menafsirkan, tidak ada batasan soal berapa kali masa jabatan Presiden. Jadi Presiden bisa dipilih kembali setiap lima tahun, berapa kali pun, dan karena Soeharto memonopoli semua kekuasaan, penafsirannyalah yang harus diterima sebagai kebenaran. Begitulah, Soeharto dipilih terus-menerus, sampai enam kali, masing-masing pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. persis seperti Soekarno yang pernah diangkat menjadi Presiden Seumur Hidup, maka praktis Soeharto pun menjadi Presiden Seumur Hidup dengan cara mengeksploitasi kelemahan Pasal 7 UUD 1945.[5]
Salah satu contoh lain pasal yang ambigu, adalah Pasal 28 UUD 1945, yang menyatakan; “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan lain sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Salah satu penafsiran pada pasal ini adalah; selama undang-undang yang dimaksud belum diberlakukan, hak-hak tersebut tidak terlindungi. Aturan ini sama sekali bukanlah satu jaminan atas hak-hak dasar freedom of speech, melainkan hanya sebuah pameran kekuasaan pemerintah untuk membatasi hak-hak asasi.
e.       Terlalu Bergantung kepada Political Goodwill dan Integritas Politisi
UUD 1945 adalah sebuah konstitusi yang sangat bergantung pada political goodwill dan integritas para penyelenggara negara. Soepomo, salah satu tokoh kunci perancang UUD 1945 dan penganjur paling terkemuka konsep negara integralistik, yaitu sebuah negara yang merangkul seluruh bangsa, menyatukan seluruh rakyat. Gagasan ini menekankan kesatuan dalam segala hal, atau yang dalam tradisi Jawa disebut manunggaling kawulo gusti (kesatuan antara pengabdi dan majikannya).
Jadi, rakyat tidak membutuhkan perlindungan hak-hak asasi untuk melindungi mereka dari potensi pelanggaran oleh negara, karena negara sama dengan rakyat dan kepentingan-kepntingan keduanya, dengan demikian identik. Karena kepentingan-kepentingan keduanya setali tiga uang, Soepomo juga menamakan integralistiknya ini sebagai “negara kekeluargaan” di mana kritik antar anggota keluarga dianggap sebagai sesuatu yang tidak diinginkan. Jadi, oposisi dan kontrol dari warga negara terhadap pemerintah tidak diperlukan, karena hal itu bertentangan dengan prinsip percaya kepada ‘iktikad baik’ para pemimpin. Tak mengherankan bila konsep negara integralistik yang naif demikian, gagal berhadapan dengan kekuasaan, karena nyata-nyata negara dan rakyat tidak bertindak dan berpikir sama.[6]
f.       Kekosongan Hukum
Kekosongan hukum (legal vacuum) adalah sebuah konsep tentang hukum yag diakui dalam civil law system. Kekosongan hukum mengacu pada sebuah kondisi di mana suatu situasi belum diatur oleh hukum tertulis. Dalam common law system, konsep ini tidak dikenal, karena seorang hakim berhak menemukan, atau menciptakan hukum.
Menurut Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, UUD 1945 mengandung empat kekosongan hukum yang serius. Kekosongan-kekosongan ini adalah:
1.         Sistem ekonomi Indonesia.
2.         Perlindungan terhadap hak asasi manusia.
3.         Pembatasan terhadap kekuasaan Presiden yang begitu besar.
4.         Sistem pemilihan umum.
Kecuali untuk dua kekosongan yang disebut pertama, Penulis sepakat dengan argumen-argumen Tim Kajian ini. Dalam hal tidak adanya perlindungan terhadap HAM, sebenarnya dalam UUD 1945 sudah ada pasal yang melindungi hak asasi manusia; kesetaraan di depan hukum, hak untuk bekerja dan hak untuk hidup (Pasal 27), kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat (Pasal 28), kebebasan beragama (Pasal 29), hak untuk berpartisipasi dalam pertahanan nasional (Pasal 30), hak untuk mendapatkan pendidikan (Pasal 31), dan kesejahteraan sosial (Pasal 34). Tetapi hak-hak asasi yang krusial, seperti kebebasan berserikat dan berpendapat masih harus ditetapkan dengan undang-undang. Kecacatan hukum yang telanjang ini, memberi peluang bagi mereka yang berkuasa untuk memelintir hak kebebasan mengeluarkan pendapat. Nyatanya, selama rezim Soeharto memerintah, undang-undang semacam itu tak pernah direalisasikan.
Dalam kaitannya dengan sistem pemilihan umum, bahkan tak ada kata ‘pemilihan umum’ pernah muncul dalam UUD 1945. ujung-ujungnya, karena tidak ada pembatasan apapun oleh Konstitusi, kepentingan rezim Soeharto yang otoriter bisa dengan mudah mendominasi proses Pemilu selama masa Orde baru.
g.      Penjelasan
Tidak seperti konstitusi lainnya, UUD 1945 memiliki Penjelasan sebagai tambahan Pembukaan dan Batang Tubuhnya. Konstitusi ini adalah satu-satunya di dunia yang punya penjelasan. Keberadaan Penjelasan dalam UUD 1945 ini menciptakan dua masalah.
Pertama, Penjelasan bukan produk BPUPKI atau PPKI, panitia-panitia yang menyiapkan dan menulis draft UUD 1945. Soepomo-lah, salah satu anggota pada kedua badan itu, yang meracik Penjelasan itu. Penjelasan itu muncul begitu saja sebagai bagian dari UUD 1945 pada tahun 1946, dan pada tahun 1959, ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli-nya, tetapi kali ini tidak termasuk dalam draft aslinya. Karena alasan-alasan tersebut, legitimasi Penjelasan kerap kali dipertanyakan, dan karenanya, kekuatan mengikatnya lebih lemah ketimbang Pembukaan dan batang Tubuh UUD 1945.
Kedua, seperti sudah dibahas sebelumnya, penjelasan berisi banyak aturan krusial yang semestinya ditempatkan kedalam batang Tubuh UUD 1945. Penjelasan seharusnya tidak memuat prinsip-prinsip baru. Tapi nyatanya, banyak aturan dalam Penjelasan yang merupakan prinsip konstitusi yang sangat penting, dan sama sekali baru, dan karenanya, dapat digugat tidak sah.[7] Misalnya:
a.         Prinsip Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat).
b.         Prinsip dan sistem tanggung jawab kepresidenan.
c.         Prinsip independensi BPK, dan lembaga yudikatif.

Ø  Sistem Pemerintahan Indonesia Pra Amandemen UUD 1945
 Bagaimana sistem pemerintahan Republik Indonesia menurut UUD 1945 sebelum amandemen?
1.    Bersistem  presidensiil  karena Presiden adalah Kepala Pemerintah. ditambah pula dengan ciri-ciri lain yaitu[8]:
a.         Ada kepastian masa jabatan Presiden (5 tahun).
b.         Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
c.         Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
2.    Bersistem campuran karena selain memenuhi syarat-syarat ciri presidensiil, terdapat pula ciri parlementer. Presiden bertanggung jawab kepada MPR.  Sedangkan  MPR  berwenang  membuat  ketetapan-ketetapan. Jadi  MPR  adalah  badan  legislatif. Presiden  bertanggung jawab kepada MPR berarti bertanggung  jawab  kepada  badan  legislatif. ditinjau  dari  segi pertanggungan  jawaban para Menteri  serta penentuan  masa  jabatan presiden  selama 5 tahun,  maka  sistem  pemerintahan  yang  dianut  oleh  Undang-Undang  Dasar  1945  ialah sistem  presidensiil.  Akan  tetapi  Presiden  bertanggung  jawab  kepada  Majelis Permusyawaratan  Rakyat,  yang  berarti  adanya  segi  parlementer.  Oleh  karena  demikian Undang-Undang  Dasar  yang  berlaku Sebelum Amandemen ini  sebenarnya menganut  sistem pemerintahan  yang  mengandung  segi  presidensiil.
3.    Parlementer. Sistem  pemerintahan  negara  Indonesia  adalah  sistem MPR karena alasan-alasan sebagai berikut:
a.         Penyelenggara negara berdasarkan kedaulatan rakyat adalah MPR.
b.         Penyelenggara  pemerintahan  negara  adalah  kepala  negara  selaku  mandataris MPR.
c.         Penyelenggara  negara  pembentuk  peraturan  perundangan  ialah  mandataris MPR bersama-sama dengan DPR sebagai bagian dari MPR.
d.        Penentu terakhir dalam hal pengawasan jalannya pemerintahan ialah MPR.
Dalam  menentukan  sistem  pemerintahan  apa  yang  dianut  UUD  1945 pra amandemen sangatlah membingungkan seakan semuanya terasa kacau sehingga banyak pendapat pendapat yang berbeda beda mengenai sistem apa yang dianut UUD 1945 pra amandemen.

C.    UUD Sesudah Amandemen
Setelah UUD 1945 diubah tampak jelas kepada kita bahwa kehidupan demokrasi tumbuh semakin baik. Selain itu yang sekarang tampak makin baik adalah munculnya checks and balances secara lebih proporsional di dalam sistem ketatanegaraan. Pengujian peraturan perundang-undangan sesuai dengan penjenjangannya sekarang sudah berjalan baik. Pada era Orde Baru banyak produk peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tetapi tidak ada lembaga pengujian yang dapat dioperasionalkan, padahal pada saat itu  banyak sekali UU yang dinilai bertentangan dengan UUD karena penggunaan atribusi  kewenangan dan  banyak peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UU. Tetapi lihatlah sekarang. Sejak era reformasi, lebih-lebih sejak diubahnya UUD 1945 sampai empat kali sudah banyak UU yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi   (MK) sebagai wujud  checks and  balances  yang bagus  bagi sistem ketatanegaraan. Sekarang legislatif tak bisa lagi membuat UU dengan sembarangan atau melalui transaksi politik tertentu sebab produk legislasi sekarang sudah dapat diimbangi (balancing) oleh lembaga yudisial yakni MK. Kemajuan lain tampak juga dalam kinerja DPR yang kini menjadi pemegang kekuasaan membentuk UU. Dulu kekuasaan membentuk UU terletak di  tangan Presiden, namun sekarang berada di DPR sehingga sebagai lembaga perwakilan rakyat DPR menjadi lebih berdaya.
Tak kalah penting dari semua itu  UUD 1945 hasil amandemen sudah memuat masalah-masalah HAM secara rinci sehingga pelaksanaanya tidak lagi dijadikan residu kekuasaan melainkan kekuasaanlah yang menjadi residu HAM. Berdasar UUD 1945 yang asli masalah  HAM diatur secara sumir yang  pelaksanaannya diatribusikan kepada lembaga legislatif yang kemudian berdasar UU ternyata HAM dijadikan residu  kekuasaan dan bukan kekuasaan yang menjadi  residu HAM.

D.    Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca UUD 1945  Amandemen
Pasca amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan NKRI menjadi benar-benar  presidensiil. Hal ini dapat  teridentifikasi dengan mudah  setelah  Presiden dan Wakil presiden dipilih langsung oleh Rakyat dalam suatu Pemilihan Umum. Ciri  utama yang lain dari sistem  pemerintahan Presidensiil adalah bahwa pemegang kekuasaan eksekutif tunggal (presiden) tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, melainkan langsung kepada rakyat pemilih,  karena presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih melalui badan pemilih (electoral college).
Sehubungan  dengan sistem pemerintahan ini, amandemen UUD 1945 sudah cukup  baik mengadopsi ciri-ciri sistem pemerintah Presidensiil yang semakin menguat jaring-jaring  yang akan menjamin stabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Presiden tidak lagi tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Apapun perbedaan pandangan antara Presiden dan MPR,  Presiden akan tetap sampai habis masa jabatannya. Satu-satunya cara untuk menjatuhkan Presiden dalam masa jabatannya adalah melalui pranata “impeachment”. Tetapi dasar  “impeachment” itu terbatas, baik secara substansial maupun prosedural tidak mudah dilaksanakan. Impeachment hanya dapat dilakukan apabila Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela dan tidak  lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Dengan  demikian,  perubahan UUD 1945 telah cukup baik menentukan jaring-jaring yang menjamin  stabilitas penyelenggaraan pemerintahan, termasuk memungkinan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya melalui pranata impeachment meskipun tidak mudah dilakukan.
Setelah melalui empat tahapan perubahan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jelas merupakan teks yang lebih demokratis ketimbang  naskah UUD 1945.[51] Aturan-aturan tentang lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta aturan-aturan tentang hak asasi manusia, menunjukkan bahwa Konstitusi yang telah diubah itu membakukan pemisahan kekuasaan yang lebih jelas dan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap hak asasi manusia, bila dibandingkan dengan teks aslinya. Hal ini konsisten dengan pandangan bahwa sebuah Konstitusi yang demokratis, secara khusus, mendefinisikan bagaimana kekuasaan politik dikontrol secara efisien dan bagaimana hak-hak individu dan masyarakat dilindungi.[52]

Selain Reformasi dibidang hak asasi manusia, Hasil-hasil penting yang dicapai dari proses reformasi Konstitusi Indonesia, secara konseptual menurut konsepsi Trias Politica, dijabarkan menjadi; reformasi legislatif, reformasi eksekutif, dan reformasi yudisial.[53]
1.    Reformasi Legislatif
a.       Reformasi Struktural
Keempat amandemen itu telah mengubah struktur parlemen. MPR yang semula berisi anggota-anggota DPR dan kelompok-kelompok fungsional tambahan, termasuk militer telah diubah, dan sekarang hanya terdiri dari DPR dan DPD. Anggota DPR mewakili kepentingan partai-partai politik, sedangkan anggota DPD mewakili kepentingan-kepentingan daerah yang diwakilinya. Yang terpenting, semua anggota dari kedua kamar ini kini dipilih oleh rakyat. Ini berarti sistem ‘kursi pesanan’ untuk militer dan golongan-golongan lain, sudah tidak berlaku lagi.[54]
b.      Reformasi Fungsional
1)      MPR dan Kedaulatan
Sebuah perubahan yang fundamental terjadi ketika Perubahan ketiga mengatur bahwa; “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Ini berarti bahwa MPR tidak lagi menjadi satu-satunya pemegang kedaulatan, tidak lagi menjadi lembaga tertinggi di Republik ini, dan tidak lagi memiliki kekuasaan-kekuasaan yang tak terbatas.[55]
2)      Reformasi DPR
Sejak Amandemen, DPR menjadi sebuah lembaga legislatif yang digdaya. Amandemen-amandemen itu bahkan telah melahirkan DPR yang unggul, dan dengan begitu, Konstitusi yang sarat-eksekutif menjadi Konstitusi yang sarat-DPR.[56]
Jimly Asshiddiqie merujuk pada keterlibatan DPR dalam menerima duta besar negara-negara asing, sebagai satu contoh betapa lebih kuat dan berkuasanya DPR sejak amandemen. Menurutnya, Pasal ini tidak praktis dan melanggar kelaziman dalam diplomasi internasional. Sejalan dengan ini, Fajrul Falaakh menyatakan bahwa syarat pertimbangan DPR dalam pengangkatan duta besar merupakan intervensi berlebihan lembaga legislatif dalam urusan eksekutif.[57]
Satu prestasi monumental lainnya dari proses amandemen terjadi ketika Perubahan Pertama mencabut kekuasaan untuk membuat undang-undang dari tangan Presiden, dan memberikannya kepada DPR. Amandemen ini mengukuhkan checks and balances yang lebih jelas antara Presiden selaku lembaga eksekutif dan DPR sebagai lembaga legislatif. Amandemen ini juga mengatasi situasi yang tidak memuaskan yang ada sebelumnya, di mana Presiden memiliki kewenangan yang lebih kuat untuk membuat undang-undang. Walaupun demikian peran legislatif DPR masih tetap rentan. Semua rancangan undang-undang harus disetujui bersama-sama oleh Presiden dan DPR melalui tahap pembahasan, untuk bisa menjadi sebuah undang-undang, dan Presiden memiliki hak veto absolut untuk menolak segala rancangan undang-undang pada tahap pembahasan demikian. Kendati, sekali Presiden setuju, dia tidak akan bisa menggunakan hak vetonya untuk tidak menandatangani rancangan undang-undang itu dikemudian hari. Dalam waktu tiga puluh hari, rancangan undang-undang itu tetap akan menjadi undang-undang, sekalipun ditolak oleh Presiden.
3)      Pembentukan DPD
Satu langkah reformasi legislatif lainnya adalah pembentukan Dewan Perwakilan Daerah. Lembaga baru ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat daerah untuk berperan lebih aktif di dalam pemerintahan, sejalan dengan ide untuk menerapkan otonomi daerah. Tetapi DPD hanya diberi otoritas yang terbatas, apalagi kalau dibandingkan dengan kekuasaan DPR. Tetapi, bagaimanapun, ini adalah satu contoh lain kompromi yang dicapai dalam proses amandemen.[58]
2.    Reformasi Eksekutif
a.       Menuju Sebuah Sistem Presidensial Konvensional
Sistem presidensial di Indonesia bulakanlah ‘presidensial’ yang dipahami di Amerika Serikat dan Filipina, karena presiden-presiden Indonesia tidak dipilih secara langsung dan dapat diberhentikan kapan saja melalui pemungutan suara di MPR. Tetapi sejak amandemen, Indonesia sudah mengadopsi model ‘sistem presidensial’ yang lebih konvensional tersebut. Ini sesuai dengan karakteristik yang disodorkan oleh Arendt Lijpart dan Giovanni Sartori.[59]
Lijphrat berpendapat bahwa sebuah sistem presidensial memiliki tiga karakteristik yang spesifik:
·         Eksekutif yang dijalankan oleh satu orang, bukan gabungan.
·         Eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat.
·         Masa jabatan tertentu yang tidak bisa dicabut oleh sebuah pemungutan suara di parlemen.
Menurut Sartori, sebuah sistem politik disebut presidensial jika Presidennya:
·         Dipilih oleh Pemilu rakyat.
·         Tidak bisa dicabut atau dihapuskan oleh pemungutan suara di parlemen, selama dalam masa jabatannya.
·         Memimpin pemerintah yang dipilih dan diangkatnya sendiri.

b.      Kekuasaan Eksekutif
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memiliki sebuah sistem checks and balances yang lebih baik terhadap kekuasaan Presiden. Kendati pemilihan Presiden langsung memperkuat legitimasi Presiden, ini tidak berarti bahwa kekuasaan Presiden akan tak terbatas. Ini salah satunya, disebabkan karena kekuasaan Presiden untuk mengangkat dan menghentikan pejabat-pejabat tinggi negara sudah diatur dengan lebih baik. Sebagai misal:
·         Anggota-anggota MPR, DPR, dan DPD dipilih oleh rakyat.
·         Para anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan dan saran-saran DPD, untuk kemudian disahkan oleh Presiden.
·         Nama-nama calon untuk diangkat menjadi Hakim Agung diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR dan selanjutnya disahkan oleh Presiden.

c.       Kekuasaan Legislatif
Kekuasaan legislatif, yang semula didominasi oleh Presiden, sekarang sudah beralih ke tangan DPR, dengan sedikit partisipasi dari DPD. Tetapi Presiden masih tetap memiliki kekuasaan legislatif yang signifikan. Rancangan undang-undang dibahas dan harus disetujui oleh DPR maupun Presiden. Syarat persetujuan Presiden ini pada dasarnya merupakan ‘hak veto’ bagi Presiden. Hak ini lebih kuat ketimbang hak veto Presiden Amerika Serikat sekalipun. Di Indonesia, jika presiden menolak sebuah rancangan undang-undang, tidak ada mekanisme yang dapat digunakan oleh DPR dan/ atau DPD untuk mengalahkan penolakan semacam itu. Tetapi jika Presiden sudah memberikan persetujuannya pada tahap ini, di belakang hari nanti, dia tidak akan bisa mencabut  persetujuannya itu lalu menolak menandatangani sebuah rancangan-undang-undang agar sah menjadi undang-ndang. Tetapi demi memperkuat sistem checks and balances, kekuasaan-kekuasaan legislatif Presiden harus direformasi lebih lanjut dengan cara mengurangi atau membatasinya, yaitu dengan memberi DPR dan DPD sebuah hak veto tandingan (veto over-ride) ala Amerika Serikat, yang bisa dipakainya pada tahap pembahasan apabila Presiden menolak.[60]

d.      Kekuasaan Yudisial
Pada cabang yudikatif, potensi intervensi oleh Presiden sudah dikurangi oleh amandemen konstitusi. Sebagai misal:

·         Kekuasaan Presiden untuk memberikan grasi dan rehabilitasi sekarang sudah dibatasi dengan saran-saran Mahkamah Agung.
·         Kekuasaan Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi dibatasi oleh pertimbangan-pertimbangan DPR.
·         Presiden hanya diberi kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota Komisi Yudisial, dengan persetujuan DPR.
·         Presiden hanya memiliki kekuasaan terbatas dalam mengesahkan Hakim Agung, karena nama-nama calonnya harus terlebih dahulu mendapat persetujuan.
·         Presiden harus berbagi kekuasaan dengan DPR dan Mahkamah Agung dalam mengangkat kesembilan hakim pada Mahkamah Konstitusi. Masing-masing lembaga berwenang mengangkat tiga Hakim Konstitusi.

e.       Impeachment
Proses impeachment atau pencopotan Presiden yang diciptakan oleh amandemen UUD 1945 jauh lebih terperinci ketimbang sebelumnya. Prosedur yang berlaku di Indonesia sekarang agak mirip dengan prosedur milik Amerika Serikat. Dalam hal alasan untuk melakukan impeachment, Indonesia sudah mengadopsi kriteria yang hampir seluruhnya sama dengan Amerika Serikat, dengan hanya menambah ‘korupsi’ sebagai landasan tambahan.[61]

3.    Reformasi Yudisial
a.       Reformasi Struktural
Ada  dua reformasi yudisial yang utama. Pertama, Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga, yang terang-terangan menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Perubahan ketiga juga semakin memperkuat reformasi yudisial dengan mamasukkan secara eksplisit prinsip ‘independensi kehakiman’ kedalam UUD 1945. Prinsip ini sebelumnya hanya diatur dalam Penjelasan UUD 1945 dan tidak pada Batang Tubuhnya.[62]
Kedua, bila dibandingkan dengan lembaga eksekutif maupun legislatif, reformasi-reformasi struktural yang dilakukan terhadap lembaga yudikatif lebih komprehensif. Perubahan Ketiga membakukan dua lembaga baru, yakni Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Posisi Mahkamah Konstitusi setara dengan Mahkamah Agung, tetapi dengan yurisdiksi yang berbeda. Keputusan untuk membentuk sebuah mahkamah baru adalah salah satu solusi yang lebih baik ketimbang memberikan kekuasaan yudisial yang baru kepada Mahkamah Agung, mengingat begitu akutnya masalah korupsi di tubuh Mahkamah Agung dan di tingkat-tingkat peradilan dibawahnya.[63]
b.      Judicial Review
Kekuasaan-kekuasaan konstitusional yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi menyumbang lebih banyak lagi terbentuknya sistem checks and balances yang lebih baik. Salah satu kekuasaan krusial yang diberikan adalah kewenangan untuk melakukan peninjauan atau judicial review terhadap produk-produk perundang-undangan, sesuatu yang tidak ada sebelum Perubahan Ketiga. Bahkan hanya dalam satu tahun sejak didirikan pada tahun 2003, Mahkamah Konstitusi sudah berhasil “meraih reputasi dan independensinya” melalui penggunaan kekuasaan barunya tersebut.

4.    Reformasi di Bidang Hak Asasi Manusia (HAM)
Reformasi di bidang HAM merupakan reformasi yang mengesankan, karena UUD 1945 yang asli tidak memiliki aturan-aturan tentang HAM yang memadai. Inilah salah satu kekurangan terbesar yang diatasi melalui amandemen. Setelah Perubahan Kedua, perlindungan terhadap HAM menjadi lebih impresif, setidaknya di atas kertas. Ross Clarke berpendapat bahwa amandemen tentang HAM adalah “perlindungan HAM pertama yang signifikan dalam UUD 1945.” Baginya, amandemen itu mewakili “sebuah perubahan radikal dalam falsafah konstitusional Indonesia dari model yang sangat otoriter ke yang lebih demokratis.” Tim Lindsey juga berpendapat bahwa Bab XA yang panjang dan impresif tentang Hak-Hak Asasi Manusia itu sudah mengubah UUD 1945 asli dari sebuah dokumen yang hanya memberi sedikit jaminan atas HAM, kesebuah dokumen yang, setidaknya dalam pengertian formal, memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia yang lebih luas ketimbang yang diberikan banyak negara maju.[64]

5.    Masalah Nasionalisme versus Negara Islam

Bab XI Pasal 29 UUD 1945, tentang Agama, adalah satu-satunya bab yang tidak diubah dalam reformasi konstitusi tahun 1999 – 2002. Penolakan terhadap usulan untuk memasukkan ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta kedalam Pasal 29 ayat (1) lebih menegaskan bahwa perdebatan tentang nasionalisme dan negara Islam adalah satu masalah yang sangat sensitif dan krusial dalam sejarah konstitusi Indonesia. Perdebatan-perdebatan konstitusi tahun 1999 – 2002 tentang dimasukkannya Piagam Jakarta, sesungguhnya mengulangi debat-debat yang sama yang pernah terjadi sebelumnya pada tahun 1945 dan 1956 – 1959. Dari tiga periode perdebatan ini, hasilnya selalu sama saja, yaitu mempertahankan Pembukaan (dan Pancasila) dan menolak dimasukkannya syariah kedalam Konstitusi. Hasil yang sama ini merupakan bukti kuat bahwa tuntutan untuk mempertahankan ideologi negara nasionalis Pancasila dan Pasal 29 sebagaimana adanya sekarang, adalah pilihan yang paling disukai oleh mayoritas kelompok sosial di Indonesia.
Oleh sebab itu, kemungkinan bahwa Pembukaan (Pancasila) dan Pasal 29 harus dibakukan dalam bentuknya sekarang demi mengatasi sulitnya hubungan antara Islam dan negara di kemudian hari, harus dipertimbangkan masak-masak. Ini akan berarti bahwa Pembukaan dan Pasal 29 UUD 1945 harus secara eksplisit didefinisikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat diubah (non-amandable provisions). Aturan semacam ini sah-sah saja dari persepektif hukum konstitusi. Di Perancis, misalnya, bentuk Republik “tidak boleh dijadikan objek amandemen.” Di Indonesia Perubahan Keempat mengatur bahwa bentuk negara kesatuan tidak boleh diubah.[65]
Dari sekian panjang penjabaran diatas lebih di spesifikasikan terdapat perbedaan antara sistem pemerintahan sebelum dilakukan amandemen dan setelah dilakukan amandemen dalam hal wewenang lembaga lembaga negara di indonesia. Perbedaan tersebut adalah:
1.    MPR
a)      SEBELUM AMANDEMEN
Sebelum dilakukan amandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi negara sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
WEWENANG
·         Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
·         Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis.
·         Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden.
·         Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.
·         Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
·         Mengubah undang-Undang Dasar.
·         Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
·         Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.
·         Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji anggota.

b)      SESUDAH AMANDEMEN
Setelah amandemen, MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.
WEWENANG
·         Menghilangkan supremasi kewenangannya
·         Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN
·         Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu)
·         Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
·         Melantik presiden dan/atau wakil presiden
·         Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
·         Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden
·         Memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pemilu sebelumnya sampai berakhir masa jabatannya, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
·         MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN

2.    DPR
a)        SEBELUM AMANDEMEN
Presiden tidak dapat membubarkan DPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala lima tahun sekali. Meskipun demikian, Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
WEWENANG
·         Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
·         Memberikan persetujuan atas PERPU.
·         Memberikan persetujuan atas Anggaran.
·         Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
·         Tidak disebutkan bahwa DPR berwenang memilih anggota-anggota BPK dan tiga hakim pada Mahkamah Konstitusi.

b)      SESUDAH AMANDEMEN
Setelah amandemen, Kedudukan DPR diperkuat sebagai lembaga legislatif dan fungsi serta wewenangnya lebih diperjelas seperti adanya peran DPR dalam pemberhentian presiden, persetujuan DPR atas beberapa kebijakan presiden, dan lain sebagainya.
WEWENANG
·         Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
·         Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
·         Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan
·         Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
·         Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan pemerintah

3.    PRESIDEN
a)      SEBELUM AMANDEMEN
Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power). Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar. Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, sehingga presiden bisa menjabat seumur hidup.
WEWENANG
·         Mengangkat dan memberhentikan anggota BPK.
·         Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa)
·         Menetapkan Peraturan Pemerintah
·         Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
PEMILIHAN
Presiden dan Wakil Presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR.
b)      SETELAH AMANDEMEN
Kedudukan presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan berwenang membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Masa jabatan presiden adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali selama satu periode.
WEWENANG
·         Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD
·         Presiden tidak lagi mengangkat BPK, tetapi diangkat oleh DPR dengan memperhatikan DPD lalu diresmikan oleh presiden.
·         Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
·         Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU.
·         Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa)
·         Menetapkan Peraturan Pemerintah
·         Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
·         Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR
·         Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR
·         Menyatakan keadaan bahaya
PEMILIHAN
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelumnya. Pilpres pertama kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun 2004.
Jika dalam Pilpres didapat suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari separuh jumlah provinsi Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti Pilpres Putaran Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres Putaran Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.

4.    MAHKAMAH KONSTITUSI
a)         SEBELUM AMANDEMEN
Mahkamah konstitusi berdiri setelah amandemen
b)        SETELAH AMANDEMEN
WEWENANG
·         Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
·         Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
KETUA
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun). Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003.
Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006. Pada 19 Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang baru diangkat melakukan voting tertutup untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti 2008-2011 dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie Fadjar sebagai wakil ketua.
HAKIM KONSTITUSI
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Hakim Konstitusi periode 2003-2008 adalah:
1.      Jimly Asshiddiqie
2.      Mohammad Laica Marzuki
3.      Abdul Mukthie Fadjar
4.      Achmad Roestandi
5.      H. A. S. Natabaya
6.      Harjono
7.      I Dewa Gede Palguna
8.      Maruarar Siahaan
9.      Soedarsono
Hakim Konstitusi periode 2008-2013 adalah:
1.      Jimly Asshiddiqie, kemudian mengundurkan diri dan digantikan oleh Harjono
2.      Maria Farida Indrati
3.      Maruarar Siahaan
4.      Abdul Mukthie Fajar
5.      Mohammad Mahfud MD
6.      Muhammad Alim
7.      Achmad Sodiki
8.      Arsyad Sanusi
9.      Akil Mochtar

5.    MAHKAMAH AGUNG
a)      SEBELUM AMANDEMEN
Kedudukan:
Kekuasan kehakiman menurut UUD 1945 sebelum amandemen dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman (Pasal 24 (1)). Kekuasaan kehakiman hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Lembaga ini dalam tugasnya diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama eksekutif.
WEWENANG
Sebelum adanya amandemen, Mahkamah Agung berwenang dalam kekuasaan kehakiman secara utuh karena lembaga ini merupakan lembaga kehakiman satu-satunya di Indonesia pada saat itu.
b)      SETELAH AMANDEMEN
Kedudukan:
MA merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman disamping itu sebuah mahkamah konstitusi diindonesia (pasal 24 (2) UUD 1945 hasil amandemen ). Dalam melaksanakan kekusaan kehakiman , MA membawahi Beberapa macam lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara( Pasal 24 (2) UUD 1945 hasil amandemen).
WEWENANG
·         Fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
·         Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
·         Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
·         Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi

6.    BPK
a)      SEBELUM AMANDEMEN
Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undangundang. Hasil Pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat” PASAL 23
b)      SESUDAH AMANDEMEN
Pasal 23F
a.       Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden.
b.      Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota.
Pasal 23G
a.       BPK berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap propinsi
b.      Ketentuan lebih lanjut mengenai BPK di atur dengan undang-undang



[1] Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, cetakan kedua, Mizan, Bandung. Hlm. 153.
[2] ibid.,
[3]Denny Indrayana, ibid., hlm. 154.
[4] Denny Indrayana, ibid., hlm. 156.
[5] Ibid., hlm. 157.
[6] ibid. hlm. 159.
[7] Denny Indrayana, ibid. hlm. 161.
[8] Bagir  Manan, 2001, Menyongsong  Fajar  Otonomi  Daerah.  Yogyakarta :  PSH  FH  UII hal. 78-80.

0 komentar:

Posting Komentar