Sistem
Pemerintahan Indonesia
Pra dan Pasca
Amandemen UUD 1945
Oleh :
Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum.
(Lektor Kepala IV/c pada Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIP UNPAD)
ABSTRAK
Pembicaraan “sistem
pemerintahan” Indonesia terutama
setelah amandemen UUD
1945
menjadi sangat berguna dan relevan bagi
pengembangan Ilmu Pengetahuan khususnya di
Jurusan
Ilmu Pemerintahan dan
praktek berpemerintahan. Karena adanya
suatu
perubahan yang fundamental terhadap sistem pemerintahan Indonesia
tersebut.
ABSTRACT
The study of Indonesia government system especially after UUD 1945
amandement to be
use and relevan
for improve science
specially at Government
Science Major and
governance practice. Becouse
of there is
fundamental change to
this Indonesia
government system.
Key Words : the parliamentary executive
; the parliamentary types
of government ; the
non-parliamentary or the fixed executive ; the presidensial types
of government.
Pendahuluan
Penting untuk
memberikan pengertian apa
artinya sistem pemerintahan
itu?
Karena suatu
konsep yang sudah baku sekalipun akan
bisa lain pengertiannya manakala
dilihat dari berbagai ”kacamata”. Sebagai contoh konsep
sistem pemerintahan Indonesia
dipenggal (secara
analitik divergen) menjadi ”pemerintahan Indonesia” yang ditinjau dari
sudut sistem, maka
jelas akan berbeda artinya dengan pengertian ”sistem pemerintahan”
yang dianut
atau dilaksanakan di
”Indonesia”. Dari pengertian
itulah akan tercermin
ruang lingkup sistem
pemerintahan yang dimaksud dalam tulisan ini.
Menurut Sri Soemantri pengertian
sistem pemerintahan adalah
sistem hubungan
antara organ
eksekutif dan organ
legislatif (organ kekuasaan
legislatif).1 Dua
puluh
1 Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN. Bandung : Tarsito,
1976,
hlm. 70. Begitu
juga pendapat Bintan
R. Saragih bahwa
bicara tentang sistem
pemerintahan selalu
mengaitkan lembaga eksekutif
dengan lembaga legislatif,
walaupun istilah untuk
lembaga eksekutif dan
legislatif sering tidak
sama di masing-masing
negara, lihat Bintan,
Majelis
Permusyawaratan Rakyat,
Jakarta
: Gaya Media
Pratama, 1992, hlm 6.
Selanjutnya Bagir Manan
mengambil pengertian
1
delapan
tahun kemudian, beliau
mengatakan lagi bahwa
sistem pemerintahan adalah
suatu sistem hubungan kekuasaan antar
lembaga negara. Sistem pemerintahan dalam arti
sempit
ialah sistem hubungan
kekuasaan antara eksekutif
(pemerintah) dan legislatif.
Dalam pada
itu, sistem pemerintahan dalam arti
luas adalah sistem hubungan
kekuasaan
antara
lembaga-lembaga negara yang
terdapat dalam Undang-Undang Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945.
Sistem pemerintahan dalam
arti luas inilah
yang
dimaksud dengan sistem ketatanegaraan
Indonesia.2
Kemudian
Rukmana Amanwinata3
menyatakan bahwa sistem
pemerintahan
adalah hubungan antara kekuasaan eksekutif
di satu pihak dengan kekuasaan legislatif di
lain
pihak. Eksekutif dalam
konteks di atas adalah
eksekutif dalam arti
sempit yaitu
menunjuk kepada kepala
cabang kekuasaan eksekutif
atau the supreme
head of the
executive departement. Apabila dihubungkan dengan
UUD 1945, yang dimaksud dengan
kepala cabang kekuasaan eksekutif tersebut adalah Presiden selaku kepala pemerintahan
sebagaimana ditegaskan di
dalam Pasal 4
ayat (1) UUD
1945 yang menyatakan
bahwa
Presiden Indonesia memegang Kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.
Senada
dengan pendapat Rukmana
Amanwinata di atas,
Bagir Manan4
mengungkapkan pula bahwa sistem pemerintahan adalah suatu pengertian (begrip) yang
berkaitan
dengan tata cara
pertanggungjawaban penyelenggara pemerintahan
(eksekutif)
dalam
suatu tatanan negara
demokrasi. Dalam negara
demokrasi terdapat prinsip geen
macht zonder veraantwoordelijkheid (tidak ada kekuasaan tanpa
su
pertanggungjawaban).
Dengan
demikian dalam tulisan
ini penulis hanya
akan membicarakan konsep
”sistem
pemerintahan” yang sudah
baku dan mungkin
”communis opinio doctorum”
(diterima
sebagai suatu kesepakatan
umum) diantara pakar
ketatanegaran bahwa bicara
sistem pemerintahan ini sebagai sesuatu
yang lazim dipergunakan dalam Hukum Tata Negara yaitu hal-hal
yang
menyangkut corak hubungan
antara badan legislatif
dengan badan eksekutif,
lihat Bagir Manan,
Pertumbuhan dan
Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung : Mandar Maju, 1995, hlm. 75.
2
Perkembangan
Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen 1945,
|
dalam
buku Soewoto Mulyosudarmo,
Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui
Perubahan Konstitusi,
Malang : Asosiasi Pengajar HTN dan HAN
Jawa Timur kerja sama dengan In-Trans, Februari 2004, hlm.
293.
3 Rukmana
Amanwinata, Sistem
Pemerintahan Indonesia, Jurnal Sosial Politik DIALEKTIKA
Vol. 2 No. 2-2001, hlm. 20.
4 Bagir
Manan, 2001, Menyongsong
Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta
: PSH
FH UII hal. 250.
2
tentang sistem pemerintahan itu adalah
bicara tentang corak hubungan eksekutif-legislatif
(
Sri Soemantri menyebutnya
pengertian sistem pemerintahan
dalam arti sempit).
Sebab
apabila
bicara tentang hubungan
lembaga-lembaga Negara yang
lain selain eksekutif-
legislatif namanya sudah sistem
ketatanegaraan atau sistem pemerintahan dalam arti luas.
Demikian pula dalam tulisan ini hanya
membahas sistem pemerintahan berdasarkan pada
UUD
1945 sebelum dan
sesudah diamandemen. Bagaimana
sistem pemerintahan pada
saat
di bawah Konstitusi
RIS dan UUDS
1950 tentu saja
penulis tidak akan
membahasnya.5
Bentuk-bentuk
Sistem Pemerintahan
Dalam
teori Hukum Tata
Negara dikenal dua
bentuk sistem pemerintahan
yaitu
sistem
pemerintahan parlementer dan
sistem pemerintahan presidensiil
(presidensial).
Tetapi
dalam praktek ada
juga dikenal sistem pemerintahan
campuran yang disebut
sistem
parlementer tidak murni
atau presidensiil tidak
murni.6 Bahkan untuk
kasus
Indonesia pra amandemen UUD 1945, Padmo
Wahyono menamakannya dengan “sistem
MPR”
yang mempunyai kelainan
baik dari sistem
presidensiil, parlementer maupun
sistem parlementer/presidensiil tidak
murni.7
Suatu
sistem pemerintahan disebut
sistem pemerintahan parlementer8apabila
eksekutif
(pemegang kekuasaan eksekutif)
secara langsung bertanggung
jawab kepada
badan legislatif (pemegang
kekuasaan legislatif). Atau
dengan kata-kata Strong:
is it
immediately
responsible to parlement, artinya
kelangsungan kekuasaan eksekutif
tergantung
pada kepercayaan dan
dukungan mayoritas suara
di badan legislatif. Setiap
saat
eksekutif kehilangan dukungan
mayoritas dari para
anggota badan legislatif
(misalnya,
karena adanya mosi
tidak percaya), eksekutif
akan jatuh dengan
cara
mengembalikan mandat kepada Kepala Negara
(Raja/Ratu/Kaisar atau Presiden).
Dalam
hubungan ini perlu
sedikit penjelasan, bahwa
keadaan di atas
tidak selalu
demikian.
Dalam keadaan tertentu,
pemegang kekuasaan eksekutif
dapat mengadakan
5 Dalam
tulisan Rukmana Amanwinata,
Sistem
...Op. Cit., dari
halaman 23-24 dibahas
cukup
dalam sistem pemerintahan di bawah Konstitusi RIS dan UUDS 1950
tersebut.
6 Bintan R. Saragih, Majelis
Permusyawaratan … Op. Cit., hal. 7.
7 Ibid., hal. 26.
8 C.F. Strong
menyebutnya the parliamentary
executive dan Alan
R. Ball menyebutnya
the
parliamentary types of government, lihat Rukmana ...
Op. Cit., hlm. 20.
3
perlawanan
terhadap kekuasaan legislatif.
Jalan yang ditempuh
yaitu dengan cara
meminta
Kepala Negara membubarkan
badan legislatif dan
segera menyelenggarakan
pemilihan
umum baru. Tetapi
apabila kemudian dalam
badan legislatif yang
baru
ternyata
eksekutif dikalahkan lagi,
badan eksekutif diwajibkan
mengembalikan
mandatnya.
Menurut C.F. Strong,
dalam sistem the
parliamentary executive terdapat
lima
karakteristik, yaitu :9
“...the political conception of the Cabinet as a body necessarily
consisting :
1. of members of the
Legislature ;
2. of the
same political views,
and chosen from
the party possessing
a majority
in the House of Commons ;
3. prosecuting a concerted
policy ;
4. under a common
responsibility to be signified by collective resignation in the
event of parliamentary censure, and
5. acknowledging a common
subordination to one chief minister.
Secara
sederhana, sistem pemerintahan
parlementer murni dapat
digambarkan
sebagai berikut 10:
membentuk
Eksekutif
bertanggung jawab
Rakyat
Pemilih
Pemilu
Legislatif
111.
Gambar 1 : Sistem Pemerintahan Parlementer Murni
9 C.F. Strong, Modern
Political Constitutions, Perbanyakan Fakultas Hukum Unpad, 1973, hlm.
10 Bintan, Majelis
...Op. Cit., hlm. 8.
4
Sistem presidensiil adalah
sistem pemerintahan di
mana eksekutif tidak
bertanggung jawab pada
badan legislatif. Pemegang
kekuasaan eksekutif tidak
dapat
dijatuhkan oleh atau
melalui badan legislatif
meskipun kebijaksanaan yang
dijalankan
tidak disetujui oleh
pemegang kekuasaan legislatif.
Terdapat beberapa karakteristik
system pemerintahan presidensiil
atau the non-parliamentary or
the fixed executive
menurut C.F. Strong
dan Alan R.
Ball menyebutnya sebagai
the presidensial types
of
government, yaitu 11:
1. The president is both
nominal and political head of state ;
2. The presiden
is elected not by the legislature, but
directly by the
total
electorate (the Electoral
College in the
United States is
a formality, and is
likely to disappear
in the near
future). The presiden
is not part
of the
legislature, and he
cannot be removed from
effice by the
legislature except
through rare legal impeachment ;
3. The presiden
cannot disolve the
legislature and call
a general election.
Usually the president and the legislature are elected for fixed
terms.
Gambar sistem pemerintahan presidensial murni adalah sebagai
berikut12 :
Eksekutif/Presiden
Pemilu
Rakyat Pemilih
Legislatif/Parlemen
Pemilu
Gambar 3.2 Sistem Pemerintahan Presidensial Murni
Seperti dikatakan di
atas bahwa dalam
praktek ada juga
dikenal sistem
pemerintahan campuran yang
disebut sistem parlementer
tidak murni atau
presidensiil
tidak
murni atau dikenal dengan
nama kuasi parlementer
atau kuasi presidensiil. Dalam
11 Rukmana, Sistem
...Op. Cit., hlm. 22.
12 Bintan, Majelis
...Op. Cit., hlm. 8.
5
sistem ini, presiden
mempunyai kekuasaan untuk
membubarkan legislatif jika
bertentangan dengan konstitusi.
Sebaliknya bila presiden melanggar UUD, legislatif pun
dapat
menjatuhkan presiden. Bentuk
sederhana dari mekanisme
sistem pemerintahan
kuasi ini adalah13 :
Presiden
dasar membubarkan
Eksekutif/
Kabinet
Pemilu
membentuk
bertanggungjawab
Rakyat Pemilih
Legislatif/
Parlemen
Pemilu
Sistem
Pemerintahan Indonesia Pra Amandemen UUD 1945
Bagaimana sistem pemerintahan Republik
Indonesia menurut UUD 1945 sebelum
amandemen?
Ada tiga macam
kelompok pendapat yang
lazim. Pertama mereka yang
berpendapat bahwa
Republik Indonesia adalah
bersistem presidensiil (Ismail
Sunny,
Mariam
Budiarjo, Bagir Manan). Kedua, mereka
yang berpendapat bahwa
Republik
Indonesia
bersistem campuran (Usep
Ranawijaya, Sri Sumantri).14
Ketiga adalah
pendapat Padmo Wahyono dengan
“sistem MPRnya”.
Menurut
Bagir Manan Indonesia
menganut sistem presidensiil
murni karena
Presiden adalah Kepala Pemerintah.
Ditambah pula dengan ciri-ciri lain yaitu:15
a. Ada kepastian masa jabatan Presiden (5
tahun).
b. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR;
dan
c. Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Mereka yang berpendapat bahwa Republik
Indonesia bersistem campuran, karena
selain
memenuhi syarat-syarat ciri
presidensiil, terdapat pula
ciri parlementer. Presiden
bertanggung jawab
kepada MPR. Sedangkan
MPR berwenang membuat
ketetapan-
ketetapan.
Jadi MPR adalah
badan legislatif. Presiden
bertanggung jawab kepada
MPR
13 Ibid.
14 Bagir Manan, Pertumbuhan dan … Op.Cit., hal. 78.
15 Ibid., hal. 78-80.
6
berarti
bertanggung jawab kepada
badan legislatif. Menurut
Sri Soemantri ditinjau
dari
segi pertanggungan jawab para Menteri serta penentuan masa
jabatan Presiden selama 5
tahun, maka sistem
pemerintahan yang dianut
oleh Undang-Undang Dasar
1945 ialah
sistem presidensiil. Akan
tetapi Presiden bertanggung
jawab kepada Majelis
Permusyawaratan
Rakyat, yang berarti
adanya segi parlementer.
Oleh karena demikian
Undang-Undang Dasar yang
berlaku sekarang ini
sebenarnya menganut sistem
pemerintahan yang
mengandung segi presidensiil
dan parlementer. Atas
dasar uraian
tersebut
kita (Sri Soemantri) pula mengatakan,
bahwa sistem yang dianut
adalah sistem
campuran16.
Menurut Bagir Manan baik John Lock
maupun Montesquieu, menyatakan badan
legislatif adalah badan
yang membuat “ laws”. Dan
istilah “laws”, lazim
diterjemahkan
menjadi undang-undang. Sehingga
dalam buku-buku bahasa
Indonesia selalu dikatakan
bahwa badan legislatif adalah badan pembuat
undang-undang. Kata “laws” tidak pernah
diterjemahkan dengan “hukum”,
karena “law” dalam
arti “hukum” tidak
mengenal
bentuk jamak. Di
samping itu istilah
“hukum” mencakup hukum tidak
tertulis. Apakah
“laws” tidak lebih
tepat diterjemahkan dengan
“hukum perundang-undangan”. Dengan
demikian badan legislatif
adalah badan pembuat
hukum perundang-undangan. Kalau
demikian halnya, maka
semua yang berwenang
membuat hukum perundang-undangan
adalah badan legislatif,
termasuk presiden (mengeluarkan
PP, Kep. Pres),
Menteri
(mengeluarkan peraturan Menteri). Hal ini tidak mungkin. Presiden
bagaimanapun adalah
badan eksekutif , begitu pula menteri, mungkin saja
mereka memiliki atau menjalankan
fungsi legislatif, tetapi bukan badan legislatif. Maka lebih tepat
“laws” itu diterjemahkan
dengan “ undang-undang”.
Dan undang-undang adalah sekadar salah satu jenis saja dari
berbagai hukum perundang-undangan. Dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia,
Undang-undang adalah hukum
perundang-undangan yang dibuat
oleh Presiden
(eksekutif) dengan persetujuan
DPR (legislatif). Karena
MPR bukan pembuat undang-
undang, maka bukan badan legislatif. Pertanggungjawaban Presiden
kepada MPR, bukan
pertanggungjawaban kepada badan legislatif. Sehingga unsur
parlementer tidak ada sama
16 Sri Soemantri, Tentang Lembaga … Op. Cit., hal. 116.
7
sekali.
Pertanggungjawaban presiden kepada
MPR, tidak boleh
di samakan dengan
pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen dalam sistem
parlementer.17
Menurut Bagir Manan
pertanggungjawaban Presiden kapada
MPR merupakan
upaya konstitusional untuk checking dan balancing.
Karena itu meminta
pertanggungjawaban Presiden
dalam masa jabatannya
hanya dilakukan kalau
keadaan
sedemikan
rupa sehingga tidak ada
pilihan lain. Ini,
semacam pranata impeachment di
Amerika Serikat sebagai senjata
konstitusional yang bersifat preventif daripada reprensif.
Sehingga sampai saat ini belum pernah
terjadi seorang Presiden Amerika berhenti karena
impeachment.
Apabila pranata pertanggungjawaban Presiden
kepada MPR disejajarkan
dengan pertanggungjawaban kabinet kepada
parlemen, maka salah satu esensi UUD 1945
yaitu
“eksekutif yang kuat
dan stabil” menjadi
tidak berarti apa-apa
lagi. Oleh karena
MPR bukan badan legislatif, dan
pertanggungjawaban presiden kepada MPR tidak dapat
disejajarkan dengan
pertanggungjawaban kabinet kepada
parlementer (dalam sistem
parlementer), maka
UUD 1945 tidak
mengandung segi-segi atau
unsur parlementer.
Unsur
yang ada adalah
presidentiil. Dengan demikian
UUD 1945 itu
menganut sistem
presidentiil murni, bukan campuran.18
Menurut
Prof. Padmo Wahyono,
sistem pemerintahan negara
Indonesia adalah
sistem MPR karena alasan-alasan sebagai
berikut 19:
1. Penyelenggara negara berdasarkan kedaulatan
rakyat adalah MPR.
2. Penyelenggara
pemerintahan negara adalah
kepala negara selaku
mandataris
MPR.
3. Penyelenggara
negara pembentuk peraturan
perundangan ialah mandataris
MPR bersama-sama dengan DPR sebagai bagian
dari MPR.
4. Penentu terakhir dalam
hal pengawasan jalannya pemerintahan ialah MPR.
17 Loc. Cit.
18 Loc. Cit.
19 Bintan Saragih, Majelis
Permusyawaratan … Op. Cit., hlm. 26.
8
Mekanisme penyelenggaraan negara menurut sistem MPR itu dapat
digambarkan
sebagai berikut 20:
MPR
3
4
Presiden
DPR
1
2
5 6 7
8
Keterangan :
Menteri
Rakyat Indonesia
1. Menteri bertanggung
jawab kepada presiden
2. Presiden mengangkat
menteri sebagai pembantunya
dalam penyelenggaraan
pemerintahan
3. MPR mengangkat presiden
4. Dengan diangkatnya
presiden oleh MPR
maka presiden mempunyai
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada MPR
5. Utusan golongan
6. Utusan Daerah
7. Pemilu
8. Pengangkatan
Kemudian apabila meninjau rumusan
sistem pemerintahan berdasarkan
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 maka akan ditemukan hal-hal
sebagai berikut:21
I.
Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat)
20 Ibid.
21 H.A.K. Pringgodigdo, Tiga
Undang-Undang Dasar , Jakarta : PT. Pembangunan, 1989, hlm.
127-130.
9
Negara Indonesia berdasarkan
atas hukum (Rechtsstaat), tidak
berdasarkan
kekuasaan belaka (Machtsstaat).
II.
Sistem Konstitusional.
Pemerintahan
berdasarkan atas sistem
konstitusi (Hukum Dasar)
tidak bersifat
Absolutisme (kekuasaan yang tidak
terbatas).
III.
Kekuasaan
Negara yang tertinggi
berada di tangan
Majelis Permusyawaratan
Rakyat.(Die gezamte Staatsgewalt liegt allein bei der Majelis).
Kedaulatan rakyat dipegang ole suatu Badan,
b “Majelis
Permusyawaratan Rakyat”, sebagai
penjelmaan seluruh Rakyat I
(Vertretungsorgan des Willens des staatsvolkes).
Majelis
ini menetapkan Undang-undang Dasar, dan menetapkan garis-garis besar
haluan
Negara. Majelis ini
mengangkat Kepala Negara
(Presiden) dan Wakil Kepala
Negara (Wakil-Presiden).
Majelis inilah yang memegang kekuasaan
Negara yang tertinggi, sedang Presiden
harus
menjalankan haluan Negara
menurut garis-garis besar
yang telah ditetapkan
oleh
Majelis.
Presiden yang diangkat
oleh Majelis, tunduk
dan bertanggung-jawab kepada
Majelis.
Ia ialah “Mandataris”
dari Majelis ia
berwajib menjalankan putusan-putusan
Majelis. Presiden tidak “neben”
akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.
IV. Presiden ialah Penyelenggara Pemerintah
Negara yang tertinggi dibawah Majelis.
Dibawah
Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Presiden ialah penyelenggara
pemerintahan Negara
yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan
Negara,
Kekuasaan dan tanggung-jawab adalah
di tangan Presiden
(concentration of power
and
responsibility upon the President).
V.
Presiden tidak
bertanggung-jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Disampingnya Presiden adalah
Dewan Perwakilan Rakyat,
Presiden harus
mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat untuk
membentuk Undang-undang
(Gezetsgebung) dan
untuk menetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja
Negara
(“Staatsbegrooting”).
Oleh karena itu Presiden harus bekerja
bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi
Presiden
tidak bertanggung-jawab kepada
Dewan, artinya kedudukan
Presiden tidak
tergantung daripada Dewan.
10
VI. Menteri
Negara ialah pembantu
Presiden. Menteri Negara
tidak bertanggung
jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden
mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri Negara.
Menteri-
menteri
itu tidak bertanggung-jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat,
kedudukannya
tidak tergantung daripada Dewan, akan
tetapi tergantung daripada Presiden. Mereka ialah
pembantu Presiden.
VII. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Meskipun
kepala negara tidak
bertanggung-jawab kepada Dewan
Perwakilan
Rakyat, ia bukan “diktator”, artinya
kekuasaan tidak tak terbatas.
Diatas telah ditegaskan bahwa ia bertanggung-jawab
kepada Majelis
Permusyawaran Rakyat kecuali
itu ia harus
memperhatikan sungguh-sungguh suara
Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Dewan Perwakilan
Rakyat adalah kuat. Dewan
ini tidak bisa
dibubarkan
oleh Presiden (berlainan
dengan sistem parlementer).
Kecuali itu anggota-
anggota
Dewan Perwakilan Rakyat
semuanya merangkap menjadi
anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Oleh karena itu
Dewan Perwakilan rakyat
dapat senantiasa
mengawasi
tindakan-tindakan Presiden dan
jika Dewan menganggap
bahwa Presiden
sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar atau
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
maka Majelis itu
dapat diundang untuk
persidangan istimewa supaya bisa minta
pertanggungan jawab kepada Presiden.
Menteri-menteri Negara
bukan pegawai tinggi
biasa. Meskipun kedudukan
Menteri
negara tergantung dari pada Presiden, akan tetapi mereka
bukan pegawai tinggi
biasa oleh karena Menteri-menterilah yang terutama
menjalankan kekuasaan pemerintah
(pouvoir executief) dalam praktek.
Sebagai pemimpin Departemen,
Menteri mengetahui seluk beluk
hal-hal yang
mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu Menteri
mempunyai pengaruh
besar terhadap
Presiden dalam menentukan politik Negara
yang
mengenai
Departemennya. Memang
yang dimaksud ialah,
para Menteri itu Pemimpin-pemimpin
Negara.
11
Untuk menetapkan politik pemerintah dan
koordinasi dalam pemerintahan Negara
para
Menteri bekerja bersama-sama,
satu sama lain
seerat-sertnya di bawah
pimpinan
Presiden.
Menurut Padmo Wahyono yang dikutip oleh Bintan R. Saragih22,
ketujuh unsur di
atas (dalam sistem
pemerintahan menurut UUD
1945) membentuk satu
sistem
pemerintahan negara atau bentuk pemerintah
(Ilmu Negara). Sistem pemerintahan negara
yang lazim dikenal di dalam Hukum Tata
Negara ialah sistem presiden (siil) dan sistem-
parlemen
(ter). Namun dengan
adanya perbedaan prinsipil
dengan kedua klise
ilmiah
tersebut,
maka menurut Padmo
Wahyono berdasarkan teori
bernegara bangsa Indonesia
dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan
negara Indonesia ialah sistem-MPR. Sistem-
MPR, berporoskan MPR sebagai negara
tertinggi, di mana apabila dikaji dengan analisis-
analisis klasik maka:
a. Penyelenggara negara berdasarkan kedaulatan
ialah MPR;
b. Penyelenggara negara yang Kepala Negara ialah
Mandataris MPR;
c. Penyelenggara
negara pembentuk peraturan
perundangan ialah Mandataris
MPR,
bersama-sama dengan DPR sebagai bagian
dari MPR;
d. Penentu terakhir dalam hal pengawasan jalannya
pemerintahan ialah MPR;
Dalam
menentukan sistem pemerintahan
apa yang dianut
UUD 1945? penulis
mengikuti pendapat Bagir Manan23, bahwa sistem
pemerintahan yang dikehendaki UUD
1945
adalah sistem presidensiil.
Sehingga pertanggungjawaban eksekutif
(Presiden)
kepada
MPR bukan dalam
rangka pertanggungjawaban kepada parlemen
seperti dalam
sistem
parlementer, sehingga setiap
kebijakan Presiden bisa
dinilai dan Presiden
bisa
dijatuhkan
kapan saja karena
ada persepsi yang
berbeda antara MPR
dengan Presiden.
Presiden
hanya bisa dijatuhkan jika
“sungguh”24 telah melanggar UUD 1945 dan haluan
negara lainnya.
Kemudian, agar semua orang memahaminya
dengan jelas (tidak debatable) bahwa
sistem pemerintahan yang
dianut UUD 1945
itu sistem presidensial
murni maka
22 Bintan R. Saragih, Majelis …Op. Cit., hal. 26-27.
23 Lihat Bagir Manan, Pertumbuhan dan … Op.Cit., hal. 78. Lihat
juga Bagir Manan, Lembaga…,
Op.Cit., hal. 107-113.
24 Menurut penulis dari kata “sungguh” ini mengandung pesan yang
dalam dari founding fathers
and mothers kita bahwa dugaan pelanggaran itu harus benar-benar dibuktikan
dulu melalui prosedur yang
jelas dan tegas
sehingga tercipta keadilan
bagi semua pihak.
Jadi Presiden hanya
bisa jatuh akibat
melanggar hukum bukan berbeda politik dengan anggota-anggota MPR.
12
amandemen UUD 1945 harus menyentuh
persoalan ini. Penulis memahami pemikiran Sri
Bintang Pamungkas yang menyebutkan bahwa
keruwetan sistem politik penyelenggaraan
negara
ini akan tetap
berlangsung, tidak pernah
selesai, berulang kembali,
dan setiap
pergantian
Presiden akan selalu
diwarnai dengan berbagai
krisis yang “tidak
konstitusional”, karena
apa yang dimaksud
dengan “konstitusional” (baca
: presidensiil
atau
parlementer) dalam UUD
1945 memang “tidak
jelas”.25 Penulis tambahkan
“tidak
jelas” itu bagi kebanyakan orang.
Sistem
Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945
Pasca amandemen UUD 1945 sistem
pemerintahan NKRI menjadi benar-benar
presidensiil. Hal
ini dapat teridentifikasi dengan
mudah setelah Presiden
dan Wakil
presiden dipilih langsung oleh Rakyat dalam suatu Pemilihan Umum. Seperti yang telah
digambarkan di
atas bahwa ciri-ciri
sistem pemerintahan presidensiil
adalah baik
eksekutif
maupun legislatif dipilih
langsung oleh rakyat
dan antara keduanya
tidak ada
hubungan pertanggungjawaban.
Ciri
utama yang lain
dari sistem pemerintahan
Presidensiil adalah bahwa
pemegang kekuasaan eksekutif tunggal
(presiden) tidak bertanggung jawab kepada badan
perwakilan rakyat, melainkan
langsung kepada rakyat
pemilih, karena presiden
dipilih
langsung oleh rakyat
atau dipilih melalui
badan pemilih (electoral
college) seperti di
Amerika Serikat.
Sehubungan dengan sistem
pemerintahan ini, amandemen
UUD 1945 sudah
cukup baik mengadopsi
ciri-ciri sistem pemerintah
Presidensiil yang semakin
menguat
jaring-jaring yang
akan menjamin stabilitas
penyelenggaraan
pemerintahan. Hal ini
ditandai dengan adanya klausula pemilihan
Presiden (dan Wapres) secara langsung oleh
rakyat.
Presiden tidak lagi
tunduk dan bertanggungjawab kepada
MPR. Apapun
perbedaan pandangan antara Presiden
dan MPR,
Presiden akan tetap sampai
habis masa
jabatannya. Satu-satunya cara untuk
menjatuhkan Presiden dalam masa jabatannya adala
melalui
pranata “impeachment”. Tetapi
dasar “impeachment” itu
terbatas, baik secara
substansial maupun
prosedural tidak mudah
dilaksanakan. Impeachment hanya
dapat
25 Sri Bintang
Pamungkas, Sistem MPR :
Pengingkaran Kedaulatan Rakyat
Tanggapan untuk
Harry Tjan Silalahi, Harian KOMPAS, Selasa, 19
Juni 2001.
13
dilakukan apabila Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan ,
tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela dan
tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden.
Dengan demikian, perubahan
UUD 1945
telah cukup baik
menentukan jaring-jaring yang
menjamin stabilitas penyelenggaraan
pemerintahan, termasuk kemungkinan
memberhentikan Presiden dalam
masa jabatannya
melalui pranata impeachment meskipun tidak mudah dilakukan.
Menurut I Gde
Pantja Astawa26, masih
sangat disayangkan bila
mekanisme
ataupun prosedur impeachment untuk
memberhentikan Presiden dalam
masa jabatannya
yang
apabila memenuhi ketentuan
pasal 7 A,
menjadi lain bila
dihadapkan dengan
ketentuan
pasal 7 B,
terutama pada ayat
(7) perubahan ketiga
UUD 1945. Artinya,
jika
oleh Mahkamah konstitusi diputuskan bahwa
Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan
pasal
7 A, apa
reasoningnya kemudian MPR
(masih) memberi kesempatan
kepada
Presiden
untuk menyampaikan penyelasan
dalam rapat paripurna
MPR. Jika itu
yang
terjadi,
ada kemungkinan Presiden
tidak diberhentikan oleh
MPR meskipin Mahkamah
Konstitusi
sudah (jelas-jelas) memutuskan
Presiden telah terbukti
memenuhi ketentuan
pasal 7 A.
Memang MPR adalah
institusi/badan politik yang
memiliki wewenang untuk
memberhentikan ataupun tidak
memberhentikan Presiden dalam
masa jabatannya.
Sebagai
badan politik, tentu
sajaa pertimbangan-pertimbangan MPR
dalam mengabil
keputusan
(memberhentikan atau tidak
memberhentikan Presiden dalam
masa
jabatannya) lebih diwarnai
oleh nuansa politis,
sungguhpun sudah ada
putusan
Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan presiden bersalah
secara hukum. Persoalannya
kemudian bukan terletak
pada keberadaan MPR
itu sebagai institusi
politik, melainkan
lebih terletak pada komitmen MPR itu sendiri untuk menghormati
proses hukum sebagai
bagian dari upaya
penegakan hukum dalam
kerangka supremasi hukum.
Dalam konteks
ini, tidak ada
alasan bagi MPR
untuk tidak memberhentikan Presiden
dalam masa
jabatannya
apabila mahkamah Konstitusi
sudah memutuskan Presiden
telah terbukti
memenuhi ketentuan pasal 7 A. Seabab,
jika tidak, untuk apa dan apa gunanya Presiden
diusulkan untuk diadili ke Mahkamah
Konstitusi oleh DPR dan apa pula gunanya putusan
MK
yang menyatakan Presiden
telah terbukti memenuhi
ketentuan pasa 7
A bila MPR
26 I Gde Pantja Astawa, Identifikasi
Masalah Atas Hasil Perubahan UUD 1945 Yang Dilakukan
oleh MPR
dan Komisi Konstitusi. Makalah, pada
tgl 3 September
2004, di Gedung
Notariat FH Unpad,
Bandung.
14
kemudian tidak memberhentikan Presiden dengan alasan dan
pertimbangan politik ? Hak
itu sama saja hendak menegaskan bahwa hukum (akan selalu ) tunduk
pada kekuasan dan
bukan sebaliknya sebagai perwujudan
prinsip supremasi Hukum di Indonesia.
Penutup
Bahwa
bicara tentang sistem
pemerintahan yang lazim
adalah bicara tentang
perhubungan kekuasaan
(de onderlinge) antara
eksekutif dan legislatif.
Sebelum
amandemen UUD 1945 sistem
pemerintahan NKRI susah mengidentifikasinya sehingga
ada yang berpendapat : menganut sistem
pemerintahan presidensiil, sistem pemerintahan
campuran bahkan sistem tersendiri yang
disebut ”sistem MPR”. Tetapi pasca amandemen
UUD 1945 sistem pemerintahan NKRI adalah
sistem presidensiil murni.
15
A. Buku-buku.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir
Manan, Pertumbuhan dan
Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung
:
Mandar Maju, 1995.
---------------, Lembaga
Kepresidenan,
Yogyakarta : Pusat
Studi Hukum UII –
GAMA
Media, 1999.
---------------, Menyongsong Fajar
Otonomi Daerah. Yogyakarta : PSH FH UII, 2001.
Bintan
R. Saragih, Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Jakarta
: Gaya Media
Pratama,
1992.
---------------------, Sistem
Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Jakarta
: Perintis Press, 1985.
Pringgodigdo, H.A.K., Tiga Undang-Undang Dasar ,
Jakarta : PT. Pembangunan, 1989.
Sri Soemantri, Sistem-sistem
Pemerintahan Negara-negara ASEAN. Bandung : Tarsito,
1976.
----------------, Tentang
Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1993.
Strong, C.F., Modern
Political Constitutions, Perbanyakan
Fakultas Hukum Unpad,
1973.
B. Sumber Lain.
I
Gde Pantja Astawa, Identifikasi Masalah
Atas Hasil Perubahan
UUD 1945 Yang
Dilakukan oleh
MPR dan Komisi Konstitusi,
Makalah, pada tgl
3 September
2004, di Gedung Notariat FH Unpad, Bandung.
Sri Bintang Pamungkas, Sistem MPR
: Pengingkaran Kedaulatan
Rakyat Tanggapan
untuk Harry Tjan Silalahi, Harian KOMPAS,
Selasa, 19 Juni 2001.
Sri
Soemantri M, Perkembangan
Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pasca Amandemen
1945, dalam buku
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan
Melalui
Perubahan Konstitusi,
Malang : Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa
Timur kerja sama dengan In-Trans, Februari 2004,
16
Sistem
Pemerintahan Indonesia
Pra dan Pasca
Amandemen UUD 1945
Oleh :
Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum.
(Lektor Kepala IV/c pada Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIP UNPAD)
FAKULTAS ILMU
SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FEBRUARI 2008
17
0 komentar:
Posting Komentar