GAYA HIDUP DAN PERAN
SOSIAL
Menurut
Koentjaraningrat (1985), peradaban suatu masyarakat menunjukkan unsur-unsur
yang bersifat fisik dalam suatu masyarakat. Dalam perubahan peradaban
masyarakat, berlaku kaidah kewujudan. Artinya, segala sesuatu yang dimiliki
wujud fisik, akan lebih cepat berubah disbanding yang bersifat rohaniah.
Manusia tidak hanya bermakna fungsional, manusia juga bias bermakna simbolik,
ini dilihat dari berbagai benada yang ia gunakan.
A.
Ragam
Gaya Hidup
Suatu
gaya hidup adalah keseluruhan pola penghidupan manusia yang berkembang untuk
memenuhi kebutuhan biologis, sosial dan emosional mereka.
Gaya
hidup merupakan salah satu unsur pembeda antara satu lapisan sosial tertentu
dengan yang lain. Menurut Vegger (1992;17), dalam ha gaya hidup ini, weber
melengkapi pandangan marx. Menurut weber, masyarakat dibagi kedalam
lapisan-lapisan tidak hanya berdasarkan faktor-faktor ekonomi, tetapi juga hak
istimewa, besarnya kehormatan yang diberikan masyarakat, dan khususnya kuasa
yang dimilikinya.
Sebagai
penghuni strata sosial-ekonomi baru, kaum pekerja yang menglaju terdorong untuk
menyesuaikan gaya hidupnya dengan strata itu. Dari gaya hidup tersebut tampak
berbagai kebutuhan biologis, sosial dan emosional yang diutamakan oleh para
penglaju.
Pola
pembangunan rumah, tata ruang, barang-barang, struktur internal keluarga dan
eksternal kekerabatan, kegiatan sehari-hari, pola interaksi dan komunikasi,
serta orientasi dalam mendidik dan memebesarkan anak-anaknya, mencerminkan gaya
hidup masyarakat bandulan yang mengalami pergeseran.
Ditilik
dari struktur internal keluarganya, para preferensi ukuran keluarga para
penglaju lebih kecil disbanding keluarga bukan penglaju. Kecenderungan memilih
keluarga berukuran kecil dikalangan para penglaju ini juga tampak bila
dibandingkan dengan ukuran keluarga generasi sebelumnya.
Ukuran
keluarga ideal menurut mereka adalah antara 2 s.d3 orang anak. Umumnya, alasan
membatasi jumlah anak ini lebih disebabkan oleh pertimbangan biaya pendidikan,
dan bukan biaya hidup sehari-hari seperti sandang dan pangan.
Struktur
eksternal kekerabatan yang dapat ditelusuri berdasarkan susunan, angkatan,
keluasan hubungan kekerabatan mereka juga tampak berubah. Umunya, hubungan
kekerabatan keluarga penglaju menjangkau tiga generasi, kakek nenek, anak-anak,
dan cucu-cucu. Sebelumnya kekerabatan masih cukup erat antar buyut lima
generasi (embah buyut, embah, bapak-ibu, anak lan putu).
Salah
satu gejala menarik yang ditemukan dikalangan penglaju adlah solidaritas
kelompoknya. Mereka sangat menyadari bahwa kelestarian dan peningkatan
pekerjaanya juga bergantung pada solidaritas kelompok. Akibatnya, kerekatan
kelompok mereka makin menguat. Semacam spiritualitas dan moralitas kelompok pun
mereka kembangan.
Para
penglaju biasa berangkat bersam-sama. Bila ada yang keluar dari rumah terlebih
dahulu, mereka saling menunggu diperempatan jalan. Mereka yang bersepeda
berangkat secara bersama-sama dengan kelompok kerjanya. Sedangkan mereka yang
bersepeda motor, khususnya yang sudah menduduki jabatan tukang dan mandor,
berangkat lebih belakang.
Kendati
ada persaingan antar kelompok pekerja, mereka tetap memelihara norma-norma
kelompok tukang tersebut.
Ada
beberapa dampak lanjutan dari kenaikan status sosial ekonomi kaum pekerja
dibandulan. Bentuk-bentuk pasrtisipasi sosial mulai bisa diganti dengan uang.
Dalam kewajiban kerja bakti dan bersiskampling.
Kasus
hajtan merupakan dari dampak lanjutanb tersebut. Karena jadwal kerja para
penglaju yang relative menetap, mereka tidak bisa memberikan partisipasi dalam
bentuk tenaga melalui pranata biyodo ataupun nyinoman. Sebagai gantinya mereka
memberikan amplopan yang lebih berisi disbanding para penduduk yang tidak
penglaju. Sebaliknya, para penduduk yang tidak penlaju memberikan partisipasi
berupa tenaga dengan mengerjakan apa-apa yang diminta oleh keluarga yang punya
hajat.
B.
Ragam Pola Interaksi Dan
Solidaritas
Dari
segi pola interaksi dan komunikasi, tampak
bahwa keluarga bahwa keluarga asli penglaju memiliki frekuensi interaksi
yangmenurun karena kesibukan masing-masing. Dalam berkomunikasi bahasa pun
kurang menunjukkan tingkatan-tingkatan yang ketat, kedudukan meurut silsilah makin diabaikan. Bahkan menurut
sebutan kaum tua, iklim yang tanpa unggah-ungguh. Anak-anka tidak lagi
menggunkan bahasa kromodengan orang tuanya.
Dalam
interaksi yang lebih luas, tampak ada perbedaan antara penduduk asli dan
penglaju dan bukan penduduk penglaju. Sebagai pendatang yang relative berstatus
social ekonomi mapan, para pendatang penglaju cenderung menampilkan sosk tinggi
(high profile), berkeyakinan diri tinggi dan merasa tidak membutuhkan
masyarakat sekitar. Sedangkan para penduduk adli penglaju cenderung memiliki
rasa berhasil (sense of effectiveness) tinggi dan berkeyakinan diri dalam
berinteraksi kendati dalam kehidupan sehari-hari mereka tidakmenggunakan bahsa
Indonesia,mereka pun cenderung terbuka akan istilah-istilah asing dalam
lingkungan kerja.
Pendduduk
asli bukan penglaju cenderung rendah diri dan minder, mereka mersa tersisih dan
kalah dalan persaingan ekonomi. Tidak heran mereka cenderung mengembangkan rasa
iri. Mereka lebih suka berbahsa jawa dari pada bahasa Indonesia dan tidak
berkenan akan istilah-istilah asing yang mereka temui yang di anggap sok tahu
dan sombong dengan irama hidup yang kurang beraturan akibat sifat informal yang
mereka miliki.
Pola
solidaritas dari ketiga empiris penduduk ini njuga berbeda dimana solidaritas
para pendatang penglaju cenderung bersifat organik,
transaksi sosial berlangsung menurut
kepentingan, kehasiran diri dalam praktika sosial diwakili oleh uang atau oleh
orang bayaran rasa gotong roong di maknai baru dimana akan datang jika menerima
undangan.
Pola solidaritas penduduk asli penglaju
masih bersifat mekanik dimana transaksi sosial tak selalu karena kepentingan.
Transaksi kepentingan ganya di lakukan dengan dunia luar mereka. Masih adanya
rasa gotong royong akan hajatan tetangga asal tidak menggangu jam kerja dan
mereka akan mesa tersinggung jika tidak di undang dalam suatu hajatan.
Sedangkan para penduduk asli tak menglaju
bersolidaritas sosial mekanik . relasi sosial yang intens lebih karena rasa
senasib dan rasa gotong royong yang tinggi dan menggapnya sebagai partisipasi
berbentuk tenaga. Mereka akan datang dalam hajatan masyarakat sekitar walau tak
diundang kecuali dirumah kompleks perumahan.
- Penglaju, Pelopor Perubahan?
Paradigma jenis perubahan sosial menurut
Rogers dan soemaker (1971), tampak bahwa perubahan sosial bandulan dapat di
golongkan sebgai perubhan kontak selektif dan terarah. Dinyatakan
sebagaiperubhana kontak selektif terjadi karena sumber anggota sistem sosial
terbuka terhadap pengaruh dari luar dan menerima atau menolak gagasan baru itu
berdasarkan kebutuhan yang mereka raskan sendiri. Artinya sebagian penduduk
bandulan pertama mengamati akan perubahan baru kemudian mereka terpakan secara
sadar maupun tidak. Karena, perubahan berlangsung secara suka rela tanpa adnya
paksaan atau kesengajaan dari anggota sistem sosial luar bandula.
Dinyatakan sebagai perubahan kontak
terarah atau terencana karena adanya perubahan di lakukan karena faktor
kesengajaan dengan adanya orang luar atau sebgaian sistem sebagai agen
perubahan yang secara intensif berusaha memperkenalkan gagasan baru untuk
mencapai tujuan yang telah dituntut dari supra sistem sosial. Para agen
oembaharu yang di maksud ialah para pegawai pemerintahan bai dari intansi
vertikal maupun dari oraganik pemerintah daerah.
Secara lebih khusus diberikan kepada peran
para penglaju asli dalam perubahan sosial di bandulan. Para penglaju asli di
anggap sebagai bagian penduduk yang terlibat dalam sistem luar yang sudah
berubah terlebih dahulu secara sadar maupun tidak telah mengadopsi gagasan baru secara
sukarela.
|
Paling tidak ada
lima hipotesis yang diangakat dari lapangan. Pertama interaksi yang
intens antara penglaju asli dengan dunia luar telah menimbulkan efek belajar
terhadap mereka.dengan interaksi ini mereka mengenal benda-benda baru,
pengetahuan baru, perilkau-perilaku baru dan sikap-sikap baru. Kedua, karena
keberhasilan yang relatif lebih tinggi dibanding yang tidak menglaju, secara
bertahap mereka meamsuki strata ekonomi yang lebih tinggi. Yang penglaju di
anggap sebagai teladan yang mengantar mereka untuk menduduki strategis dalam
berbagai orgaisasi sosial. Ketiga, para pengalaju asli masih dipercaya
memiliki pemahaman yang baik terhadap lingkungan sosial budaya setempat. Dalam
ungkapan lokal mereka sering disebut dengan orang yang
|
|
|
|
|
|
|
|
“pangerten”.
|
||
|
Bagan Pengalju Sebagai Pelopor Perubahan
0 komentar:
Posting Komentar