Kamis, 25 September 2014

Makalah Sosiologi Penglajuan ( GAYA HIDUP DAN PERAN SOSIAL )

GAYA HIDUP DAN PERAN SOSIAL

Menurut Koentjaraningrat (1985), peradaban suatu masyarakat menunjukkan unsur-unsur yang bersifat fisik dalam suatu masyarakat. Dalam perubahan peradaban masyarakat, berlaku kaidah kewujudan. Artinya, segala sesuatu yang dimiliki wujud fisik, akan lebih cepat berubah disbanding yang bersifat rohaniah. Manusia tidak hanya bermakna fungsional, manusia juga bias bermakna simbolik, ini dilihat dari berbagai benada yang ia gunakan.

A.    Ragam Gaya Hidup
Suatu gaya hidup adalah keseluruhan pola penghidupan manusia yang berkembang untuk memenuhi kebutuhan biologis, sosial dan emosional mereka.
Gaya hidup merupakan salah satu unsur pembeda antara satu lapisan sosial tertentu dengan yang lain. Menurut Vegger (1992;17), dalam ha gaya hidup ini, weber melengkapi pandangan marx. Menurut weber, masyarakat dibagi kedalam lapisan-lapisan tidak hanya berdasarkan faktor-faktor ekonomi, tetapi juga hak istimewa, besarnya kehormatan yang diberikan masyarakat, dan khususnya kuasa yang dimilikinya.
Sebagai penghuni strata sosial-ekonomi baru, kaum pekerja yang menglaju terdorong untuk menyesuaikan gaya hidupnya dengan strata itu. Dari gaya hidup tersebut tampak berbagai kebutuhan biologis, sosial dan emosional yang diutamakan oleh para penglaju.
Pola pembangunan rumah, tata ruang, barang-barang, struktur internal keluarga dan eksternal kekerabatan, kegiatan sehari-hari, pola interaksi dan komunikasi, serta orientasi dalam mendidik dan memebesarkan anak-anaknya, mencerminkan gaya hidup masyarakat bandulan yang mengalami pergeseran.
Ditilik dari struktur internal keluarganya, para preferensi ukuran keluarga para penglaju lebih kecil disbanding keluarga bukan penglaju. Kecenderungan memilih keluarga berukuran kecil dikalangan para penglaju ini juga tampak bila dibandingkan dengan ukuran keluarga generasi sebelumnya.
Ukuran keluarga ideal menurut mereka adalah antara 2 s.d3 orang anak. Umumnya, alasan membatasi jumlah anak ini lebih disebabkan oleh pertimbangan biaya pendidikan, dan bukan biaya hidup sehari-hari seperti sandang dan pangan.
Struktur eksternal kekerabatan yang dapat ditelusuri berdasarkan susunan, angkatan, keluasan hubungan kekerabatan mereka juga tampak berubah. Umunya, hubungan kekerabatan keluarga penglaju menjangkau tiga generasi, kakek nenek, anak-anak, dan cucu-cucu. Sebelumnya kekerabatan masih cukup erat antar buyut lima generasi (embah buyut, embah, bapak-ibu, anak lan putu).
Salah satu gejala menarik yang ditemukan dikalangan penglaju adlah solidaritas kelompoknya. Mereka sangat menyadari bahwa kelestarian dan peningkatan pekerjaanya juga bergantung pada solidaritas kelompok. Akibatnya, kerekatan kelompok mereka makin menguat. Semacam spiritualitas dan moralitas kelompok pun mereka kembangan.
Para penglaju biasa berangkat bersam-sama. Bila ada yang keluar dari rumah terlebih dahulu, mereka saling menunggu diperempatan jalan. Mereka yang bersepeda berangkat secara bersama-sama dengan kelompok kerjanya. Sedangkan mereka yang bersepeda motor, khususnya yang sudah menduduki jabatan tukang dan mandor, berangkat lebih belakang.
Kendati ada persaingan antar kelompok pekerja, mereka tetap memelihara norma-norma kelompok tukang tersebut.
Ada beberapa dampak lanjutan dari kenaikan status sosial ekonomi kaum pekerja dibandulan. Bentuk-bentuk pasrtisipasi sosial mulai bisa diganti dengan uang. Dalam kewajiban kerja bakti dan bersiskampling.
Kasus hajtan merupakan dari dampak lanjutanb tersebut. Karena jadwal kerja para penglaju yang relative menetap, mereka tidak bisa memberikan partisipasi dalam bentuk tenaga melalui pranata biyodo ataupun nyinoman. Sebagai gantinya mereka memberikan amplopan yang lebih berisi disbanding para penduduk yang tidak penglaju. Sebaliknya, para penduduk yang tidak penlaju memberikan partisipasi berupa tenaga dengan mengerjakan apa-apa yang diminta oleh keluarga yang punya hajat.
B.     Ragam Pola Interaksi Dan Solidaritas
Dari segi pola interaksi dan komunikasi, tampak  bahwa keluarga bahwa keluarga asli penglaju memiliki frekuensi interaksi yangmenurun karena kesibukan masing-masing. Dalam berkomunikasi bahasa pun kurang menunjukkan tingkatan-tingkatan yang ketat, kedudukan meurut  silsilah makin diabaikan. Bahkan menurut sebutan kaum tua, iklim yang tanpa unggah-ungguh. Anak-anka tidak lagi menggunkan bahasa kromodengan orang tuanya.
Dalam interaksi yang lebih luas, tampak ada perbedaan antara penduduk asli dan penglaju dan bukan penduduk penglaju. Sebagai pendatang yang relative berstatus social ekonomi mapan, para pendatang penglaju cenderung menampilkan sosk tinggi (high profile), berkeyakinan diri tinggi dan merasa tidak membutuhkan masyarakat sekitar. Sedangkan para penduduk adli penglaju cenderung memiliki rasa berhasil (sense of effectiveness) tinggi dan berkeyakinan diri dalam berinteraksi kendati dalam kehidupan sehari-hari mereka tidakmenggunakan bahsa Indonesia,mereka pun cenderung terbuka akan istilah-istilah asing dalam lingkungan kerja.
Pendduduk asli bukan penglaju cenderung rendah diri dan minder, mereka mersa tersisih dan kalah dalan persaingan ekonomi. Tidak heran mereka cenderung mengembangkan rasa iri. Mereka lebih suka berbahsa jawa dari pada bahasa Indonesia dan tidak berkenan akan istilah-istilah asing yang mereka temui yang di anggap sok tahu dan sombong dengan irama hidup yang kurang beraturan akibat sifat informal yang mereka miliki.
Pola solidaritas dari ketiga empiris penduduk ini njuga berbeda dimana solidaritas para pendatang penglaju cenderung bersifat organik, transaksi sosial berlangsung menurut kepentingan, kehasiran diri dalam praktika sosial diwakili oleh uang atau oleh orang bayaran rasa gotong roong di maknai baru dimana akan datang jika menerima undangan.
Pola solidaritas penduduk asli penglaju masih bersifat mekanik dimana transaksi sosial tak selalu karena kepentingan. Transaksi kepentingan ganya di lakukan dengan dunia luar mereka. Masih adanya rasa gotong royong akan hajatan tetangga asal tidak menggangu jam kerja dan mereka akan mesa tersinggung jika tidak di undang dalam suatu hajatan.
Sedangkan para penduduk asli tak menglaju bersolidaritas sosial mekanik . relasi sosial yang intens lebih karena rasa senasib dan rasa gotong royong yang tinggi dan menggapnya sebagai partisipasi berbentuk tenaga. Mereka akan datang dalam hajatan masyarakat sekitar walau tak diundang kecuali dirumah kompleks perumahan.

  1. Penglaju, Pelopor Perubahan?
Paradigma jenis perubahan sosial menurut Rogers dan soemaker (1971), tampak bahwa perubahan sosial bandulan dapat di golongkan sebgai perubhan kontak selektif dan terarah. Dinyatakan sebagaiperubhana kontak selektif terjadi karena sumber anggota sistem sosial terbuka terhadap pengaruh dari luar dan menerima atau menolak gagasan baru itu berdasarkan kebutuhan yang mereka raskan sendiri. Artinya sebagian penduduk bandulan pertama mengamati akan perubahan baru kemudian mereka terpakan secara sadar maupun tidak. Karena, perubahan berlangsung secara suka rela tanpa adnya paksaan atau kesengajaan dari anggota sistem sosial luar bandula.
Dinyatakan sebagai perubahan kontak terarah atau terencana karena adanya perubahan di lakukan karena faktor kesengajaan dengan adanya orang luar atau sebgaian sistem sebagai agen perubahan yang secara intensif berusaha memperkenalkan gagasan baru untuk mencapai tujuan yang telah dituntut dari supra sistem sosial. Para agen oembaharu yang di maksud ialah para pegawai pemerintahan bai dari intansi vertikal maupun dari oraganik pemerintah daerah.
Secara lebih khusus diberikan kepada peran para penglaju asli dalam perubahan sosial di bandulan. Para penglaju asli di anggap sebagai bagian penduduk yang terlibat dalam sistem luar yang sudah berubah terlebih dahulu secara sadar maupun tidak  telah mengadopsi gagasan baru secara sukarela.
PENGALAMAN
 
Paling tidak ada lima hipotesis yang diangakat dari lapangan. Pertama interaksi yang intens antara penglaju asli dengan dunia luar telah menimbulkan efek belajar terhadap mereka.dengan interaksi ini mereka mengenal benda-benda baru, pengetahuan baru, perilkau-perilaku baru dan sikap-sikap baru. Kedua, karena keberhasilan yang relatif lebih tinggi dibanding yang tidak menglaju, secara bertahap mereka meamsuki strata ekonomi yang lebih tinggi. Yang penglaju di anggap sebagai teladan yang mengantar mereka untuk menduduki strategis dalam berbagai orgaisasi sosial. Ketiga, para pengalaju asli masih dipercaya memiliki pemahaman yang baik terhadap lingkungan sosial budaya setempat. Dalam ungkapan lokal mereka sering disebut dengan orang yang
KETENGEN
 
KETRIMA
 
PASEDULURAN
 
MELU PRIHATIN
 
PANGENTEN
 
ASLI
 
KAJEN
 
DADI
 
“pangerten”.  
PENGALAMAN
 
KECUKUPAN
 
 















Bagan Pengalju Sebagai Pelopor Perubahan


0 komentar:

Posting Komentar