DAMPAK SOSIAL MENGLAJU
Penelusuran
akibat-akibat social dari menglaju bias dimulai dari sejarah lisan Bandulan.
Karena dalam sejarah lisan ini tampak pola keyakinan dan nilai-nilai pokok
masyarakat Bandulan. Secara hipotetik, bila terhadap nilai- nilai pokok sudah
terjadi perubahan, maka tatanan social pun akan mengalami perubahan.
A.
Sejarah
Lisan, Sisa-sisa Kepercayaan
Bandulan
pada mulanya adalah mulanya sebuah perkampungan bernama sumberalur. Sulit
memastikan kapan perkampungan didirikan. Apa yang diyakini para tetua desa
sebagai sejarah desa, tidak lain berupa mitos tentang cikal bakal desa Sumberalur,
yang mencampurkan fakta sejarah dengan kepercayaan masyarakat asli Bandulan.
Konon,
nama Bandulan deberikan karena ketika jaman penjajahan Belanda, banyak anak-anak Belanda yang membuat dan bermain
ayunan dari tali ijuk di pepohonan setempat. Kegiatan ini ditiru dan menyebar
di wilayah tersebut. Akhirnya wilayah itu lebih karena atau memperoleh sebutan
Bandulan.
Penetapan
tahun pendirian desa (1101) dan kurun penciptaan nama Bandulan, misalnya, jelas
kurang selaras dengan temuan sejarah. Ada cukup bukti bahwa Islam masuk dan
berkembang di Jawa pada abad 15, atau di sekitar keruntuhan kerajaan Majapahit.
Menurut
para tetua desa, klangenan para dhanhyang Bandulan adalah tayuban. Kaum tua
desa Bandulan juga mengemukakan bahwa mereka dulu bias mendengarkan alunan nada
gamelan setiap malam Jum’at Legi. Anehnya, swara tanpa rupa itu terasa dekat
bila mereka berdiam diri, dan terasa menjauh bila mereka ingin mendekatinya.
B.
Integrasi
Kedalam Ekonomi Uang
Menurut
para pekerja, bekerja di sector pertanian hasilnya tidak menentu dan hanya
musiman. Meskipun mungkin uoah yang mereka terima sama, mereka lebih memilih
bekerja di luar Bandulan. Alasannya, pekerjaan di luar Bandulan bersifat
relative menetap (kenek dijagakne).
Sebaliknya, bekerja di sector pertanian bersifat musiman. Kalau sedang musim
tamam, memang banyak permintaan untuk bekerja, tetapi belum tentu esok harinya
bisa bekerja lagi. Bekerja di luar Bandulan juga bisa tampil cukup rapi, lebih
terhormat daripada bekerja di sawah belepotan lumpur.
Untuk
merebut tenaga kerja kaum muda, mereka harus bersaing dengan tingkat upah yang
diberikan oleh sector perkotaan. Keadaan lebih runyam bila sawah yang dimiliki
tidak cukup luas, karena para pekerja sudah berfikir tentang kelanggengan
pekerjaannya. Kalau pekerjaan sebagai buruh tani yang diberikan petani pemilik
kurang dari seminggu, maka mencari tenaga kerjanya lebih sulit lagi. Walaupun
mereka berhasil menyamakan tingkat upah dengan sector perkotaan, tak berarti
para pekerja akan mau memilihnya.
Pranata
berbasis pertanian yang juga hilang adalah Majek, yakni salah satu bentuk kerja
sama antara penggarap dengan pemilik tanah. Dalam kerjasama ini penggarap
memperoleh dua hal dari petani pemilik, yaitu: tanah garapan dan benih padi.
Pengeluaran dan pemeliharaan sejak awal hingga panen, penggarap memperoleh
bagian sepertiga bagian, dan pemilik tiga perempat bagian. Pranata ini juga
sudah tidak ada.
Penanaman
penyiangan (tandur lan matun)
sekarang dilaksanakan dengan cara upahan. Ini pun berbeda dengan pola
terdahulu, yakni pembayaran berupa hasil panen. Sekarang, penggarap sawah harus
membayar upah setengah hari (sekesuk)
sekitar Rp. 2000.-
C.
Sikap
Makin Rasional
Sebelum
penanaman padi harus dilakukan berdasarkan perhitungan hari. Menurut masyarakat
petani Bandulan, hari pasaran Wage kurang baik untuk memulai tanam. Selain itu,
acara tandur harus didahului dengan selamatan di sawah dan membakar merang.
Keduanya bertujuan agar panen berhasil baik dan tidak diganggu oleh hama,
khusunya hama tikus.
Selamatan
juga dilakukan menjelang panen, yaitu dalam acara metik dan wiwit. Acara ini
juga disebut acara selamatan mbok sri, yang mencerminkan keyakinan umum
masyarakat Jawa tentang Dewi Sri. Mitologi Dewi Sri ditemukan hamper di seluruh
wilayah Jawa, termasuk di Bandulan.
Belakangan,
memang masih ada warga Bandulan yabng memiliki keris. Kebanyakan dari keris ini
adalah warisan dari orang tua dan leluhurnya. Kalau mereka merawat keris itu,
sebagiannya lebih karena menghargai “pusaka” orang tua. Setiap bulan syura
(muharam). Keris keris itu dicuci dengan mengupah orang lain. Ongkos mencuci
keris ini sekarang sekitar Rp. 5000,-
Meskipun
demikian, tampak jelas ada perubahan dalam hal kepercayaan ini. Jumlah orang
yang kurang percaya terhadap hal-hal mistik makin banyak. Sebagiannya karena
ajaran agama yang lebih monoteistis, sedangkan yang lainnya karena cara
berfikir yang makin rasional.
D.
Perubahan
Pranata Sosial
Bentuk
kerja sama lama yang juga telah hilang adalah ngenger. Ngenger adalah model hubungan permagangan, antara
seseorang dari kelas social bawah terhadap keluarga yang berkelas social lebih
tinggi. Ada dua makna yang dikandung dalam istilag ngenger, yaitu: (1)
permagangan, dalam arti orang yang ngenger kelajar menguasai tata cara hidup
priyayi, dan (2) ngawulo dalam arti orang yang ngenge rmerasa mulia menjadi
abdi dan keluarga priyayi atau ningrat.
Kebiasaan
lain yang dahulu dilakukan oleh masyarakat Bandulan adalah upacara Nyai Putut.
Ini adalah semacam permainan jaelangkung. Upacara ini dilakukan untuk meminta
hujan ketika musim kemarau panjang. Anehnya, semua piranti upacara Nyai Putut
harus diperoleh dari mencuri. Ini mencakup keranjang, siwur, goni, dan
lain-lain. Menurut penuturan kaum tua, permainan ini benar-benar bisa
mendatangkan hujan yang diharap-harapkan.
Bentuk
interaksi sosil yang juga menonjol pranata sosialnya adalah yang berkenaan
dengan hajatan. Dalam interaksi social ini tercakup pranata bidoyo, buwuhan,
jenang, soyo dan daringan.
Dampak
lebih lanjut dari integrasi sector pertanian kea lam ekonomi uang ini berupa
sikap rasional baik di kalangan para petani maupun buruh tani. Bila menggunakan
mesin, misalnya untuk membajak dan giling padi, dinilai lebih murah, maka cara
itu yang dipilih oleh para petani. Demikian juga, bila upah yang diterima tidak
sebanding dengan upah yang diperoleh bila bekerja di luar sector pertanian,
maka bekerja menjadi buruh tani pun akan ditolak oleh para pekerja.
Karena
nilai tukar dagang hasil pertanian tidak kunjung seimbang dengan hasil
industry, maka status social ekonomi para petani pun akan semakin menurun.
Pelan tetapi pasti, barang-barang modal para petani makin menipis. Penurunan
status social ekonomi para petani ini akan mengalami percepatan bila mereka
harus menyekolahkan anak-anak mereka di kota, dan bila keluarganya semakin
banyak mengkonsumsi barang-barang hasil industry.
Secara
sosiologis, penurunan status ekonomi para petani ini makin menyingkirkan mereka
dari kancah “politik” local. Semakin sedikit petani yang dipandang tokoh-tokoh
masyarakat. Misalnya menjadi ketua RT dan ketua RW. Penyingkiran ini makin
cepat karena kebanyakan dari mereka adalah buata huruf atau berpendidikan
sangat rendah.
Bagi
penduduk pendatang yang tinggal menetap di Bandulan, banyaknya penglaju yang ke
luar Bandulan juga kurang berpengaruh, kecuali perasaan makin ramai dan
kadang-kadang macetnya lalu lintas pada jam-jam tertentu, khususnya pagi dan
sore.
E.
Dasar
Pelapisan Sosial Baru
Kedudukan
para penglaju asli yang makin “ketengen” telah mempercepat perubahan sikap
hidup yang seperlunya (sak perlune),
sesempatnya (sak kobere), semampunya
(sak kuate), dan perilaku sewajarnya
(sak benere), semaunya (sak penake), dan seumumnya (sak umume).
Secara
khas, sikap hidup dan perilaku tersebut tampak dalam perlibatan dari para
penglaju asli dalam acara kemasyarakatan. Mereka tidak berlama-lama, dengan
waktu sesuai kesempatan yang dimiliki, memberikan kontribusi semampunya, dan
sebagainya.
Pada
gilirannya, sikap hidup dan perilaku itu telah menyumbang pada muncul dan
hilangnya bentuk-bentuk pranata social dan pola pelapisan social di Bandulan.
Dengan
penghasilan yang makin meningkat, para penglaju mampu meningkatkan status
social ekonominya. Karena masyarakat Bandulan juga makin terintegrasi ke dalam
system ekonomi uang, maka kerangka acuan yang digunakan untuk memilih tokoh
masyarakat pun, misalnya untuk didudukkan dalam kepengurusan RT dan RW, makin
didasarkan pada status social ekonomi mereka. Buktinya, sebagian besar pengurus
kelompok-kelompok social, mulai RT dan RW sampai dengan pengurus Jmaah Tahlil,
banyak yang dipegang oleh para penglaju.
Di
satu sisi, kehadiran industry di Bandulan tidak member lapangan kerja dengan
upah yang sesuai dengan upah yang sesuai dengan harga kebutuhan setempat.
Karena itu lapangan kerja sector industry di Bandulan diisi oleh tenaga kerja
dari luar Bandulan. Secara kebetulan, kebanyakan lapangan kerja sector industry
di Bandulan bisa diisi oleh kaum wanita. Karena kedudukan wanita dalam ekonomi
keluarga di Bandulan bersifat suplementer, mereka mau mengisi lapangan kerja
itu, walaupun upah yang diberikan sangat rendah.
0 komentar:
Posting Komentar