Rabu, 24 September 2014

DAMPAK SOSIAL MENGLAJU

DAMPAK SOSIAL MENGLAJU

Penelusuran akibat-akibat social dari menglaju bias dimulai dari sejarah lisan Bandulan. Karena dalam sejarah lisan ini tampak pola keyakinan dan nilai-nilai pokok masyarakat Bandulan. Secara hipotetik, bila terhadap nilai- nilai pokok sudah terjadi perubahan, maka tatanan social pun akan mengalami perubahan.

A.    Sejarah Lisan, Sisa-sisa Kepercayaan
Bandulan pada mulanya adalah mulanya sebuah perkampungan bernama sumberalur. Sulit memastikan kapan perkampungan didirikan. Apa yang diyakini para tetua desa sebagai sejarah desa, tidak lain berupa mitos tentang cikal bakal desa Sumberalur, yang mencampurkan fakta sejarah dengan kepercayaan masyarakat asli Bandulan.
Konon, nama Bandulan deberikan karena ketika jaman penjajahan Belanda, banyak  anak-anak Belanda yang membuat dan bermain ayunan dari tali ijuk di pepohonan setempat. Kegiatan ini ditiru dan menyebar di wilayah tersebut. Akhirnya wilayah itu lebih karena atau memperoleh sebutan Bandulan.
Penetapan tahun pendirian desa (1101) dan kurun penciptaan nama Bandulan, misalnya, jelas kurang selaras dengan temuan sejarah. Ada cukup bukti bahwa Islam masuk dan berkembang di Jawa pada abad 15, atau di sekitar keruntuhan kerajaan Majapahit.
Menurut para tetua desa, klangenan para dhanhyang Bandulan adalah tayuban. Kaum tua desa Bandulan juga mengemukakan bahwa mereka dulu bias mendengarkan alunan nada gamelan setiap malam Jum’at Legi. Anehnya, swara tanpa rupa itu terasa dekat bila mereka berdiam diri, dan terasa menjauh bila mereka ingin mendekatinya.

B.     Integrasi Kedalam Ekonomi Uang
Menurut para pekerja, bekerja di sector pertanian hasilnya tidak menentu dan hanya musiman. Meskipun mungkin uoah yang mereka terima sama, mereka lebih memilih bekerja di luar Bandulan. Alasannya, pekerjaan di luar Bandulan bersifat relative menetap (kenek dijagakne). Sebaliknya, bekerja di sector pertanian bersifat musiman. Kalau sedang musim tamam, memang banyak permintaan untuk bekerja, tetapi belum tentu esok harinya bisa bekerja lagi. Bekerja di luar Bandulan juga bisa tampil cukup rapi, lebih terhormat daripada bekerja di sawah belepotan lumpur.
Untuk merebut tenaga kerja kaum muda, mereka harus bersaing dengan tingkat upah yang diberikan oleh sector perkotaan. Keadaan lebih runyam bila sawah yang dimiliki tidak cukup luas, karena para pekerja sudah berfikir tentang kelanggengan pekerjaannya. Kalau pekerjaan sebagai buruh tani yang diberikan petani pemilik kurang dari seminggu, maka mencari tenaga kerjanya lebih sulit lagi. Walaupun mereka berhasil menyamakan tingkat upah dengan sector perkotaan, tak berarti para pekerja akan mau memilihnya.
Pranata berbasis pertanian yang juga hilang adalah Majek, yakni salah satu bentuk kerja sama antara penggarap dengan pemilik tanah. Dalam kerjasama ini penggarap memperoleh dua hal dari petani pemilik, yaitu: tanah garapan dan benih padi. Pengeluaran dan pemeliharaan sejak awal hingga panen, penggarap memperoleh bagian sepertiga bagian, dan pemilik tiga perempat bagian. Pranata ini juga sudah tidak ada.
Penanaman penyiangan (tandur lan matun) sekarang dilaksanakan dengan cara upahan. Ini pun berbeda dengan pola terdahulu, yakni pembayaran berupa hasil panen. Sekarang, penggarap sawah harus membayar upah setengah hari (sekesuk) sekitar Rp. 2000.-

C.    Sikap Makin Rasional
Sebelum penanaman padi harus dilakukan berdasarkan perhitungan hari. Menurut masyarakat petani Bandulan, hari pasaran Wage kurang baik untuk memulai tanam. Selain itu, acara tandur harus didahului dengan selamatan di sawah dan membakar merang. Keduanya bertujuan agar panen berhasil baik dan tidak diganggu oleh hama, khusunya hama tikus.
Selamatan juga dilakukan menjelang panen, yaitu dalam acara metik dan wiwit. Acara ini juga disebut acara selamatan mbok sri, yang mencerminkan keyakinan umum masyarakat Jawa tentang Dewi Sri. Mitologi Dewi Sri ditemukan hamper di seluruh wilayah Jawa, termasuk di Bandulan.
Belakangan, memang masih ada warga Bandulan yabng memiliki keris. Kebanyakan dari keris ini adalah warisan dari orang tua dan leluhurnya. Kalau mereka merawat keris itu, sebagiannya lebih karena menghargai “pusaka” orang tua. Setiap bulan syura (muharam). Keris keris itu dicuci dengan mengupah orang lain. Ongkos mencuci keris ini sekarang sekitar Rp. 5000,-
Meskipun demikian, tampak jelas ada perubahan dalam hal kepercayaan ini. Jumlah orang yang kurang percaya terhadap hal-hal mistik makin banyak. Sebagiannya karena ajaran agama yang lebih monoteistis, sedangkan yang lainnya karena cara berfikir yang makin rasional.

D.    Perubahan Pranata Sosial
Bentuk kerja sama lama yang juga telah hilang adalah ngenger. Ngenger adalah model hubungan permagangan, antara seseorang dari kelas social bawah terhadap keluarga yang berkelas social lebih tinggi. Ada dua makna yang dikandung dalam istilag ngenger, yaitu: (1) permagangan, dalam arti orang yang ngenger kelajar menguasai tata cara hidup priyayi, dan (2) ngawulo dalam arti orang yang ngenge rmerasa mulia menjadi abdi dan keluarga priyayi atau ningrat.
Kebiasaan lain yang dahulu dilakukan oleh masyarakat Bandulan adalah upacara Nyai Putut. Ini adalah semacam permainan jaelangkung. Upacara ini dilakukan untuk meminta hujan ketika musim kemarau panjang. Anehnya, semua piranti upacara Nyai Putut harus diperoleh dari mencuri. Ini mencakup keranjang, siwur, goni, dan lain-lain. Menurut penuturan kaum tua, permainan ini benar-benar bisa mendatangkan hujan yang diharap-harapkan.
Bentuk interaksi sosil yang juga menonjol pranata sosialnya adalah yang berkenaan dengan hajatan. Dalam interaksi social ini tercakup pranata bidoyo, buwuhan, jenang, soyo dan daringan.
Dampak lebih lanjut dari integrasi sector pertanian kea lam ekonomi uang ini berupa sikap rasional baik di kalangan para petani maupun buruh tani. Bila menggunakan mesin, misalnya untuk membajak dan giling padi, dinilai lebih murah, maka cara itu yang dipilih oleh para petani. Demikian juga, bila upah yang diterima tidak sebanding dengan upah yang diperoleh bila bekerja di luar sector pertanian, maka bekerja menjadi buruh tani pun akan ditolak oleh para pekerja.
Karena nilai tukar dagang hasil pertanian tidak kunjung seimbang dengan hasil industry, maka status social ekonomi para petani pun akan semakin menurun. Pelan tetapi pasti, barang-barang modal para petani makin menipis. Penurunan status social ekonomi para petani ini akan mengalami percepatan bila mereka harus menyekolahkan anak-anak mereka di kota, dan bila keluarganya semakin banyak mengkonsumsi barang-barang hasil industry.
Secara sosiologis, penurunan status ekonomi para petani ini makin menyingkirkan mereka dari kancah “politik” local. Semakin sedikit petani yang dipandang tokoh-tokoh masyarakat. Misalnya menjadi ketua RT dan ketua RW. Penyingkiran ini makin cepat karena kebanyakan dari mereka adalah buata huruf atau berpendidikan sangat rendah.
Bagi penduduk pendatang yang tinggal menetap di Bandulan, banyaknya penglaju yang ke luar Bandulan juga kurang berpengaruh, kecuali perasaan makin ramai dan kadang-kadang macetnya lalu lintas pada jam-jam tertentu, khususnya pagi dan sore.

E.     Dasar Pelapisan Sosial Baru
Kedudukan para penglaju asli yang makin “ketengen” telah mempercepat perubahan sikap hidup yang seperlunya (sak perlune), sesempatnya (sak kobere), semampunya (sak kuate), dan perilaku sewajarnya (sak benere), semaunya (sak penake), dan seumumnya (sak umume).
Secara khas, sikap hidup dan perilaku tersebut tampak dalam perlibatan dari para penglaju asli dalam acara kemasyarakatan. Mereka tidak berlama-lama, dengan waktu sesuai kesempatan yang dimiliki, memberikan kontribusi semampunya, dan sebagainya.
Pada gilirannya, sikap hidup dan perilaku itu telah menyumbang pada muncul dan hilangnya bentuk-bentuk pranata social dan pola pelapisan social di Bandulan.
Dengan penghasilan yang makin meningkat, para penglaju mampu meningkatkan status social ekonominya. Karena masyarakat Bandulan juga makin terintegrasi ke dalam system ekonomi uang, maka kerangka acuan yang digunakan untuk memilih tokoh masyarakat pun, misalnya untuk didudukkan dalam kepengurusan RT dan RW, makin didasarkan pada status social ekonomi mereka. Buktinya, sebagian besar pengurus kelompok-kelompok social, mulai RT dan RW sampai dengan pengurus Jmaah Tahlil, banyak yang dipegang oleh para penglaju.
Di satu sisi, kehadiran industry di Bandulan tidak member lapangan kerja dengan upah yang sesuai dengan upah yang sesuai dengan harga kebutuhan setempat. Karena itu lapangan kerja sector industry di Bandulan diisi oleh tenaga kerja dari luar Bandulan. Secara kebetulan, kebanyakan lapangan kerja sector industry di Bandulan bisa diisi oleh kaum wanita. Karena kedudukan wanita dalam ekonomi keluarga di Bandulan bersifat suplementer, mereka mau mengisi lapangan kerja itu, walaupun upah yang diberikan sangat rendah.


0 komentar:

Posting Komentar