PERUBAHAN
SOSIAL
(TEORI DAN ANALISA TERHADAP
PRAKTIK PERUBAHAN YANG DILAKUKAN
NABI MUHAMMAD TERHADAP
MASYARAKAT ARAB)
Oleh :
Akh. Syaiful Rijal
BAB
I : PENDAHULUAN
Tak terbantahkan lagi, bahwa manusia
merupakan makhluk sosial. Ia tidak bisa lepas dari kehidupan sosial.
Ketergantungan manusia pada lingkungan sosial tidak bisa dipisahkan dari upaya
pemenuhan kebutuhannya. Adanya kebutuhan hidup inilah yang mendorong manusia
untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut.
Dalam hal ini, menurut Ashley Montagu, kebudayaan mencermin-kan tanggapan
manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya.[1]
Maslow mengidentifikasi lima kelompok kebutuhan manusia, yakni kebutuhan
fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri, dan pengembangan potensi.[2]
Semua kebutuhan ini mendorong manusia
untuk mengadakan interaksi dengan manusia lainnya. Interaksi inilah yang
nantinya akan melahirkan, bahasa, budaya, seni, peradaban dan sebagainya.
Semakin maju budaya dan peradaban suatu masyarakat, berarti semakin maju pula
kualitas manusianya.[3]
Pada dasarnya semua masyarakat itu
bersifat dinamis dan secara kuantitas mengalami perubahan. Ada beberapa alasan
yang mendasari adanya perubahan sosial, antara lain: pertama, bahwa pada
kenyataannya apa nampak merupakan sesuatu yang cacat atau tidak benar; kedua,
secara obyektif equally (sederajat-kesetaraan) tidak benar; dan ketiga
kajian kedua hal tersebut sangat relevan dan absah untuk menjadi landasan
adanya perubahan sosial.[4]
Berdasarkan hal itulah, makalah ini akan
menyoroti perubahan sosial itu secara
teoritis dan praktis guna menguji kebenaran suatu teori. Dalam hal ini,
praktik yang dikaji adalah perubahan yang dilakukan Nabi Muhammad terhadap
masyarakat Arab. Penulis sengaja mengangkat praktik yang dilakukakn Nabi karena
sifatnya yang fenomenal, revolusioner, radikal, universal, dan mondial.
BAB
II : TINJAUAN TEORITIS
A.
Definisi
Perubahan Sosial
Wilbert Moore mendefinisikan perubahan
sosial sebagai “perubahan penting dari stuktur sosial” dan yang dimaksud dengan
struktur sosial adalah “pola-pola perilaku dan interaksi sosial".[5]
William F. Ogburn berpendapat, ruang lingkup perubahan sosial meliputi
unsur-unsur kebudayaan, baik yang material ataupun yang bukan material.
Unsur-unsur material itu berpengaruh besar atas bukan-material. Kingsley
Davis berpendapat bahwa perubahan sosial ialah perubahan dalam struktur dan
fungsi masyarakat. Misalnya, dengan timbulnya organisasi buruh dalama
masyarakat kapitalis, terjadi perubahan-perubahan hubungan antara buruh dengan
majikan, selanjutnya perubahan-perubahan organisasi ekonomi dan politik.[6]
Mac Iver mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan hubungan-hubungan
sosial atau perubahan keseimbangan hubungan sosial. Gillin dan Gillin
memandang perubahan sosial sebagai penyimpangan cara hidup yang telah diterima,
disebabkan baik oleh perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi
penduduk, ideologi ataupun karena terjadinya digusi atau penemuan baru dalam
masyarakat. Selanjutnya Samuel Koeing mengartikan perubahan sosial
sebagai modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia, disebabkan
oleh perkara-perkara intren atau ekstern.[7]
Akhirnya
dikutip definisi Selo Soemardjan yang akan dijadikan pegangan dalam pembicaraan
selanjutnya. “Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi
sistem sosialnya, termasuka di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola
perkelakuan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat”. Definisi ini
menekankan perubahan lembaga sosial, yang selanjutnya mempengaruhi segi-segi
lain struktur masyarakat. Lembaga sosial ialah unsur yang mengatur pergaulan
hidup untuk mencapai tata tertib melalui norma.
B. Teori
Perubahan Sosial
Ada
beberapa teori dalam perubahan sosial, yaitu teori siklik, teori evolusioner,
teori non evolusioner, teori fungsional dan teori konflik, serta teori-teori
yang banyak digunakan oleh ahli sosiologi dalam melihat perubahan sosial di
negara-negara di dunia ketiga.[8]
1. Teori
Siklik
Siklik
merupakan sebuah lingkaran yang tidak mempunyai awal dan akhir. Penekanan dari
teori siklik ini adalah bahwa sejarah peradaban manusia tidak berawal dan tidak
berakhir melainkan suatu periode yang di dalamnya mengandung kemunduran dan
kemajuan, keteraturan dan kekacauan. Artinya proses peralihan masyarakat
bukanlah berakhir pada tahap terakhir yang sempurna melainkan berputar kembali
pada tahap awal untuk menuju tahap peralihan berikutnya. Arnold Toynbee melihat
bahwa peradaban muncul dari masyarakat primitif melalui suatu proses perlawanan
dan respons masyarakat terhadap kondisi yang merugikan mereka. Peradaban
meliputi kelahiran, pertumbuhan, kemandegan dan disintegrasi karena pertempuran
antara kelompok-kelompok dalam memperebutkan kekuasaan.
2. Teori
Evolusioner
Para ahli
teori ini cenderung melihat bahwa perubahan sosial merupakan suatu proses yang
linear, artinya semua masyarakat berkembang melalui urutan perkembangan yang
sama dan bermula dari tahap perkembangan awal sampai tahap akhir. Tatkala tahap
akhir telah tercapai maka pada saat itu perubahan secara evolusi-oner telah
berakhir. Tokoh dari teori ini antara lain adalah Auguste Comte, seorang
sarjana Perancis, yang melihat bahwa masyarakat bergerak dalam tiga tahap
perkem-bangan, yaitu: a. Tahap teologis (theological stage), b. Tahap
metafisik (methaphysical stage), c. Tahap positif atau ilmiah (positive
stage). Tokoh lainnya Emile Durkheim, yang lebih melihat bahwa perubahan
sosial terjadi karena masyarakat beralih dari masyara-kat dengan solidaritas
mekanik menjadi masyarakat dengan solidaritas organik.
Herbert Spencer
dengan mengacu pada teori evolusi organisme dari Darwin, menerapkan konsep
Darwin, yaitu ”yang terkuatlah yang menang (survival of the fittest)”.
Teori evolusi organisme memiliki kemiripan dengan evolusi sosial di mana
peralihan masyarakat melalui berbagai tahapan yang berawal dari tahap kelompok
suku yang cenderung bersifat homogen dan sederhana menuju masyarakat modern
yang lebih kompleks. Sedangkan menurut Spencer, orang-orang yang cakap atau
terampil sajalah yang dapat memenangkan perjuangan hidup, sedangkan orang-orang
yang lemah dan malas akan tersisihkan.
Selain itu, teori
evolusi juga beranggapan bahwa fauna dimulai oleh binatang satu sel dua
milyar tahun yang lalu, berujung dengan beberapa juta terakhir dengan manusia. Begitulah
jagat raya dengan nebula serta bintang-bintangnya berubah. Bumi berubah. Hewan,
tanaman, lautan, sungai, daratan, pegunungan, pantai pulau-pulau berubah serba
terus.[9]
3. Teori
Non-evolusioner
Teori ini
lebih melihat bahwa masyarakat bergerak dari tahap evolusi tetapi proses
tersebut dilihat secara multilinear artinya bahwa perubahan dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Meskipun ada kesamaan dengan teori yang sebelumnya tetapi
tidak semua masyarakat berubah dalam arah dan kecepatan yang sama. Tokoh teori
ini antara lain adalah Gerhard Lenski, yang menyatakan bahwa masyarakat
bergerak dalam serangkaian bentuk masyarakat seperti berburu, bercocok tanam,
bertani dan masyarakat industri berdasarkan bagaimana cara mereka memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Dalam mempelajari konsep dari Lensky, maka perlu
dipelajari konsep kunci dalam pernyataan Lenski, yaitu adanya continuity,
inovation dan extinction. Ketiga elemen tersebut mengarah pada adanya
keberagaman dan kemajuan di mana masyarakat menjadi semakin beragam selagi
proses differensiasi terjadi dan kemajuan terjadi tidak hanya karena kondisi
hidup yang semakin membaik tetapi juga pada perkemba-ngan tekhnologi.
4. Teori
Fungsional
Salah satu
tokoh dari teori fungsional ini adalah Talcott Parsons. Ia melihat bahwa
masyarakat seperti layaknya organ tubuh manusia, di mana seperti tubuh yang
terdiri dari berbagai organ yang saling berhubungan satu sama lain maka
masyarakat pun mempunyai lembaga-lembaga atau bagian-bagian yang saling
berhubungan dan tergantung satu sama lain. Parson menggunakan istilah sistem
untuk menggambarkan adanya koordinasi yang harmonis antar bagian. Selain itu
karena organ tubuh mempunyai fungsinya masing-masing maka seperti itu pula
lembaga di masyarakat yang melaksanakan tugasnya masing-masing untuk tetap
menjaga stabilitas dalam masyarakat.
Bagaimana
hubungan antara teori fungsional dengan perubahan sosial? Perlu dipahami bahwa
dalam melihat perubahan sosial, Parsons mengemukakan tentang konsep
keseimbangan dinamis-stasioner, di mana bila ada perubahan pada satu bagian
tubuh manusia seperti juga pada satu bagian dalam masyarakat maka bagian-bagian
yang lain akan mengikuti. Hal tersebut diupayakan agar tetap tercapai
keseimbangan sehingga akan mengurangi ketegangan yang dapat muncul akibat
perubahan tersebut. Hal ini berarti bahwa masyarakat bukanlah bersifat statis
tetapi dinamis karena selalu mengalami perubahan yang diikuti oleh perubahan
pada lembaga lain yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan yang baru.
5. Teori
Konflik
Menurut teori
ini konflik akan muncul ketika masyarakat terbelah menjadi dua kelompok besar,
yaitu yang berkuasa (bourjuis) dan yang dikuasai (proletar).
Hasil dari pertentangan antar kelas tersebut akan membentuk suatu revolusi dan
memun-culkan masyarakat tanpa kelas, maka pada kondisi tersebut terjadilah apa
yang disebut dengan perubahan sosial. Ralf Dahrendorf, sebagai salah satu tokoh
dalam teori konflik, menyatakan bahwa jika perkembangan masyarakat, kreativitas
dan inovasi muncul terutama dari konflik antar kelompok maupun individu.[10]
C.
Sumber-sumber Perubahan Sosial
Suatu teori perubahan yang baik juga
disinggung di sini ialah prinsip perubahan imanen (dari dalam) yang dibicarakan
oleh Sokorin dalam bukunya Social and Cultural Dynamics. Suatu sistem
sosio-budaya semenjak wujudnya tidak henti-hentinya bekerja dan bertindak.
Dalam menghadapi lingkungan tertentu sistem itu menimbulkan perubahan, di
samping dirinya sendiri juga ikut mengalami perubahan. Karena telah mengalami
perubahan, maka dalam menghadapi lingkungan yang sama dengan yang sebelumnya,
ia memberikan reaksi yang berbeda dari pada reaksinya yang pertama. Jadi
lingkungan tetap sama, tapi sistem itu dan reaksinya berubah. Demikianlah
selanjutnya, reaksi yang ketiga terhadap lingkungan yang sama mengalami pula
perubahan. Perubahan tidak hanya pada sistem dan reaksinya tapi juga pada
lingkungan itu sendiri.[11]
Secara garis besar, ada dua faktor yang
menyebabkan terjadinya perubahan sosial, yaitu faktor endogenous atau
proses internal dan faktor exogenous:[12]
1. Faktor Internal (endogenous)
a. Perubahan
kependudukan
Perubahan
dalam kependudukan dapat berkaitan dengan perubahan kompo-sisi penduduk,
distribusi penduduk termasuk pula perubahan jumlah, yang semua itu dapat
berpengaruh pada budaya dan struktur sosial masyarakat. Komposisi penduduk
berkaitan dengan pembagian penduduk antara lain berdasarkan usia, jenis
kelamin, etnik, jenis pekerjaan, kelas sosial dan variabel lainnya. Pada
umumnya komposisi penduduk dijelaskan melalui iramida penduduk yang akan
menunjukkan prosentase jumlah penduduk berdasarkan variabel yang akan
dijelaskan, misalnya berdasarkan usia atau jenis kelamin. Piramida penduduk
yang diidealkan adalah piramida yang berbentuk pohon natal yang sempurna, di
mana penduduk yang dalam usia produktif lebih banyak daripada yang belum atau
sudah tidak produktif.
b. Penemuan
Suatu proses
sosial dan kebudayaan yang besar tetapi terjadi dalam jangka waktu yang tidak
lama adalah inovasi. Inovasi terbagi atas discovery dan inventions,
keduanya bukanlah merupakan suatu tindakan tunggal melainkan transmisi sekumpu-lan
elemen. Artinya semakin banyak elemen budaya yang dihasilkan oleh para penemu
maka akan semakin besar terjadinya serangkaian discovery dan inventions.
Misalnya penemuan tentang kaca akan membuat serangkaian penemuan baru misalnya
lensa, perhiasan, botol, bola lampu dan lain-lain. Selanjutnya lensa akan
melahirkan lensa kacamata, kaca pembesar, telescope dan lain-lain.
c. Konflik
dalam masyarakat
Konflik dan
perubahan sosial merupakan suatu proses yang akan terjadi secara alamiah dan
terus menerus, tetapi Anda tidak dapat mengartikan bahwa setiap perubahan
sosial yang muncul selalu didahului oleh konflik. Konflik atau pertenta-ngan
dalam masyarakat dapat mengarah pada perubahan yang dianggap membawa kebaikan
atau bahkan membawa suatu malapetaka.
2. Faktor
Eksternal (exogenous)
a. Lingkungan
Manusia
secara fisik tinggal di lingkungan dengan segala habitat yang ada di dalamnya,
sehingga jika kita ingin tetap hidup maka kita harus dapat beradaptasi dengan
lingkungan sekitar kita. Tetapi cara adaptasi dengan lingkungan melalui
teknologi terkadang bahkan membuat lingkungan itu malah menjadi rusak. Banjir
dan gempa bumi merupakan realitas yang menyebabkan manusia harus dapat
menyesuaikan diri ataupun melakukan perubahan dalam kehidupan mereka sehingga
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada.
b. Perang
Perubahan
dapat disebabkan kondisi perang dengan masyarakat atau negara lain atau dengan
kata lain konflik dengan kelompok di luar masyarakat merupakan faktor eksternal
dari sumber perubahan sosial. Dalam perang yang terjadi adalah adanya kelompok
yang menang dan dapat menguasai kelompok lain, sehingga dalam penguasaan itu
akan terjadi pemaksaan kebudayaan baru terhadap kelompok yang kalah. Kelompok
yang kalah akan membuat suatu perubahan pada diri mereka karena mereka kalah
perang.
c. Pengaruh
kebudayaan lain
Budaya lain
yang diterima oleh suatu masyarakat tanpa melalui suatu pemaksaan disebut
dengan demonstration effect, atau dalam ilmu antropologi dikenal dengan
istilah akulturasi. Contoh yang jelas di negara kita maupun di negara lain di
dunia ini adalah budaya Amerikanisasi yang sudah tersebar di mana-mana.
Amerikanisasi yang paling cepat dan mudah diterima oleh masyarakat adalah
melalui jaringan makanan cepat saji atau restoran, seperti Kentucky Fried
Chicken, Mac Donald atau Pizza Hut. Perubahan apa yang dibawa budaya Amerika
tersebut? Yang paling mudah untuk dilihat adalah gaya hidup karena dengan makan
di Mac Donald misalnya sudah pasti akan berbeda dengan makan di warung tenda
pinggir jalan.[13]
D.
Pola-pola Perubahan
Apabila seseorang mempelajari perubahan
masyarakat, perlu pula diketahui ke arah mana perubahan dalam masyarakat itu
bergerak. Yang jelas, perubahan bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan
tetapi setelah meninggalkan faktor itu, mungkin perubahan itu bergerak kepada
sesuatu bentuk yang sama sekali baru, namun mungkin pula bergerak ke arah suatu
bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau. Ada beberapa pola dalam
perubahan sosial, antara lain:
1. Equilibrium, dalam konsep equilibrium
yang stabil menyatakan bahwa melalui mekanisme integratif, berbagai macam unsur
intern tetap terjaga dalam batas-batas dapat eksis mempertahankan kelangsungan
pola-pola struktural yang pokok.
2. Diferensiasi sosial, yaitu pembedaan
anggota masyarakat ke dalam golongan-golongan secara horizontal (tidak
memandang perbedaan lapisan). Bentuk differensiasi ini biasanya berdasarkan
ras, agama, jenis kelamin, pekerjaan dan lain sebagainya. Menurut Parsons,
proses diferensiasi menimbulkan sekumpulan masalah integrasi baru bagi
masyarakat. Ketika subsistem-subsistem berkembang biak, masyarakat berhadapan
dengan masalah barudalam mengoordinasi operasi unit-unit yang baru muncul itu.
3. Konflik, biasanya konflik memiliki
kecendrungan untuk saling meniadakan atau melenyapkan. Teori konflik berkembang
sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural. Menurut Dahrendorf, setiap
masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Teoritisi konflik melihat
berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan.[14]
4. Mobilitas status, dalam organisasi
professional-birokratis berarti posisi yang ditempati seseorang dalam struktur
sosial dan profesi.[15]
Sistem mobilitas status dinyatakan bekerja sepanjang kepercayaan rakyat
mendukung sistem tersebut dan dikuatkan oleh pengalaman aktual. Artinya, sistem
ini bekerja jika sebagian besar rakyat memperoleh pekerjaan yang diinginkan
sesuai dengan apa yang diperoleh melalui pendidikan mereka.
5. Revolusi morfologi sosial, yaitu
perubahan dalam kadar, kepadatan dan heterogenitas penduduk dan berdampak pada
perubahan-perubahan yang terjadi kepada seseorang maupun masyarakat. Revolusi
morfologi sosial merupakan hasil dari tiga perkemba-ngan, yang digerakkan oleh
dan terkait dengan perkembangan yang keempat. Tiga perkembangan tersebut yaitu,
1. Population explosion (ledakan penduduk); 2. Population implosion
(peningkatan konsentrasi); 3. Population diversification; sedangkan
perkembang-an keempat adalah akselerasi laju perubahan teknologi dan sosial.
Revolusi ini mem-bawa pada konsekuensi-konsekuensi munculnya berbagai masalah
fisik, personal, sosial, institusional maupun pemerintahan.
E.
Proses Perubahan
Analisis
tentang proses perubahan didasarkan atas asumsi adanya interdependen-si antar
berbagai bagian dari sistem sasial. Artinya, jika terjadi perubahan di satu
sektor, maka akan diikuti kebutuhan sektor lain menyesuaikan diri terhadap
perubahan itu. Awal dari proses perubahan biasanya adanya respons terhadap
munculnya disorganisasi social, baik disebabkan oleh aspek internal maupun
eksternal. Philip Hauser melihat sumber pokok yang kemudian sebagai penyebab
utama proses perubahan adalah kontradiksi-kontradiksi dan tuntutan-tuntutan
yang demikian kuat antar masyarakat. Kontradiksi dan tuntutan itu tidak karena
masalah relasi antar kelas atau ras, melainkan karena beragam-nya lapisan
demografi masyarakat.
Perlu untuk
dipahami bahwa suatu proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat akan selalu
berkaitan dengan faktor pendorong yang dapat mempercepat terjadinya perubahan,
serta faktor penghambat yang dapat memperlambat ataupun bahkan menghalangi
terjadinya perubahan sosial itu sendiri. Faktor pendorong dan penghambat akan
selalu ada dalam setiap masyarakat tanpa terkecuali baik dalam masyarakat yang
masih menganut sistem nilai tradisional maupun masyarakat yang sudah modern
sekalipun, hanya mungkin bentuknya akan berbeda-beda tergantung pada kondisi
masyarakat yang bersangkutan.[16]
F.
Bentuk Perubahan Sosial
Apakah suatu perubahan yang terjadi itu
mempunyai bentuk? Perlu dipahami bahwa “bentuk” tidaklah mengacu pada sesuatu
yang bersifat fisik tetapi lebih mengacu pada proses suatu perubahan itu
terjadi. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dapat dibedakan dalam
beberapa bentuk, meskipun demikian setiap bentuk perubahan tersebut akan sulit
dibedakan dalam batas garis yang jelas karena setiap bentuk perubahan akan
saling berkaitan satu sama lain.
1. Perubahan
Lambat dan Cepat
Suatu
perubahan yang membutuhkan waktu lama dan diawali ataupun diikuti oleh sejumlah
perubahan-perubahan kecil, dapat disebut dengan evolusi atau peruba-han yang
lambat. Kondisi tersebut menyebabkan munculnya usaha dari masyarakat untuk
dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru seiring dengan terjadinya
perkembangan dimasyarakat secara luas. Sedangkan perubahan yang cepat mengacu
pada adanya perubahan sosial yang berkaitan dengan sendi-sendi pokok kehidupan
dimasyarakat seperti institusi sosial, perubahan seperti itu disebut dengan
revolusi.
Kecepatan
perubahan revolusi bersifat relatif karena pada dasarnya revolusi dapat memakan
waktu yang lama. Revolusi Industri misalnya tidaklah terjadi dalam waktu yang
sebentar tetapi memakan waktu yang lama dimana adanya perubahan pada proses
produksi suatu barang dari secara manual sampai berkembang dengan menggunakan
mesin, yang selanjutnya menyebabkan ada perubahan antara lain dalam institusi
ekonomi dimana biaya produksi yang murah dapat diperoleh dengan menggunakan
tenaga kerja wanita dan anak-anak. Jadi, konsep cepat tidaklah mengacu pada
waktu melainkan lebih pada unsur pokok dalam masyarakat yang mengalami
perubahan seperti institusi keluarga, institusi politik dan lain-lain
2. Perubahan
Kecil dan Besar
Untuk
membedakan suatu perubahan itu kecil atau besar akan sangat sukar untuk kita
lakukan, karena batas perbedaannya sangatlah relatif. Soerjono Soekanto
menyatakan bahwa perubahan pada unsur struktur sosial yang tidak membawa
pengaruh yang berarti pada masyarakat dapat dikategorikan pada perubahan yang
kecil.[17]
Misalnya perubahan pada bahasa dengan munculnya bahasa gaul, tidak membawa
pengaruh yang berarti pada masyarakat.
Sedangkan
perubahan besar terjadi apabila terdapat perubahan pada institusi di masyarakat,
misal dipakainya mesin traktor untuk membajak sawah membawa perubahan yang
drastis pada masyarakat pedesaan, antara lain pada pola kerja petani, hubungan
petani penggarap dengan pemilik, stratifikasi masyarakat desa dan lain-lain.
BAB
III : METODOLOGI
Dalam menganalisa
realitas perubahan yang sudah terjadi dan telah dibukukan secara tertulis,
dibutuhkan suatu teknik pengumpulan data yang relevan. Karenanya, penulis
menggunakan teknik dokumenter, yaitu memanfaatkan sebanyak-banyaknya buku-buku atau
literatur yang sudah ada sebelumnya. Diantara kegiatannya adalah mencari
data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan transkrip, buku, surat
kabar, majalah prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya.[18]
Setelah
data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data dengan
menggunakan teori tertentu. Karena datanya bersifat dokumenter, maka metode
yang cocok adalah content analysis atau kajian isi, yaitu metodologi
penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang
sahih dari sebuah buku atau dokumen.[19]
Selain itu,
dalam menganalisa strategi dan langkah-langkah yang ditempuh oleh Nabi Muhammad
dalam kapasitasnya sebagai pemimpin kaum muslimin dalam mengge-rakkan,
mengelola konflik, mengasimilasi berbagai elemen, dan mengevolusi peradaban dan
kebudayaan Arab ke arah yang lebih baik dan sempurna, maka penulis juga akan
menggunakan pendekatan teori konflik. Konflik dalam suatu hubungan bisa terjadi
akibat dari adanya komunikasi yang tidak baik antar individu, tidak adanya
kerja sama yang baik dari suatu hubungan, serta adanya pengambilan keputusan
yang tidak mencapai mufakat antar individu.[20]
Penggunaan teori ini dirasa perlu mengingat kebiasaan kabilah-kabilah Arab yang
suka berperang antara satu dengan lainnya untuk merebut supremasi.
BAB
IV : HASIL DAN ANALISIS
A.
Penyajian
Data
Sebelum kedatangan agama
Islam, Semenanjung Arab di masa itu merupakan suatu kawasan yang jauh dan
terpencil dari peradaban dunia. Dari segi geopolitik, ia adalah wilayah jajahan
yang sering menjadi rebutan dua negara adidaya, yaitu Parsi dan Romawi.
Penduduknya lebih sengsara lagi, mereka sering dijadikan budak oleh penguasa
yang menjajahnya.
Dari segi kepercayaan,
mayoritas mereka adalah penganut paganisme, yaitu menyembah berbagai macam
benda yang dianggap memiliki kekuatan magis, seperti matahari, bintang, bulan,
gunung, dan sebagainya. Namun demikian, masih ada juga yang tetap menganut
agama samawi seperti Nasrani dan Yahudi.
Moral meraka pun bobrok
dan nyaris seperti binatang. Adalah suatu hal yang lumrah jika kebanyakan
mereka suka membunuh anak perempuan, berjudi, minum-minuan keras, memerkosa,
merampok, berperang dengan tujuan mempertahankan kehormatan.[21]
Singkat cerita, Arab pra Islam adalah bangsa yang terbelakang, tidak pernah
bersatu, suka berperang antar suku (kabilah) untuk merebut supremasi, bermoral
rendah, diliputi takhayul dan sesat. Wajar jika mereka disebut jahiliyah.
Setelah Nabi
Muhammad SAW menerima risalah kenabian pada usia 40 tahun, mulailah beliau mendakwahkan
ajaran Islam di tengah-tengah ketersesatan masyarakat mekah. Pengikut Nabi
semakin bertambah jumlahnya 3-4 tahun masa dakwah Nabi tercatat 40 orang yang
beriman.[22]
Dahwah Nabi dikenal dengan dakwah secara sembunyi-sembunyi seperti yang
digambarkan dalam al-Qur'an surah
Al-Mudassir ayat 1-7. Setelah dakwah secara samar dirasa cukup dan atas
perintah Allah, Nabi melakukan dakwah terang-terangan seperti yang digambarkan
oleh al-Qur'an: “Maka sampaikanlah dakwah secara terang-terangan segala apa
yang telah diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musrik”.[23]
Dakwah Nabi
Muhammad secara terang-terangan mendapatkan reaksi keras dari orang-orang
Quraisy Mekah. Penolakan ini tidak serta-merta karena tidak mengakui kebenaran
agama baru yang dibawa Nabi, yaitu ajaran tauhid Islam, tetapi justru di
karenakan agama Islam itu menghendaki perombakan sosial dan politik yang
mengancam sebagian pemuka orang-orang Quraisy.[24]
Hal ini dikuatkan dengan kenyatan di waktau itu. Para lawan-lawan Nabi yang menolak
dengan keras telah mengambil bentuk manuver-manuver pribadi dan keluarga serta
oposisi-oposisi kesukuan untuk menulak ajaran Nabi seperti yang dilakukan oleh
Abu Lahab dan Abu Jahl [25],
akan tetapi semua kompromi yang ditawarkan oleh lawan-lawan Nabi ditolaknya.
Beberapa
tahun Nabi hampir bisa dikatakan leluasa menyebarkan agama Islam di bawah
perlindungan pamannya (Abu Thalib) sampai akhirnya tiba masa /tahun duka cita
secara khusus pada nabi dan secara umum pada ummat Islam. Nabi berduka karena
pada tahun itu orang-orang dekat Nabi, Abu Thalib dan istri Nabi, Khadijah
wafat. Bagi Nabi dan bagi ummat Islam kejadian ini merupakan petaka baru karena
paman nabi wafat, lawan-lawan ummat Islam lebih leluasa melakukan penulakan
atas ajaran Nabi, sehingga setelah tahun duka cita itu ummat Islam diteror,
disiksa dan dibaikot perekonomeannya, sebagai bukti, dakwah Nabi harus berpindah-pindah
dari tempat yang agak terpencil ke tempat terpencil lainnya; pengikut Islam
dari kalangan budak mendapat siksaan fisik; para saudagar yang mengimani ajaran
Nabi dibaikot,[26]
seperti yang dialami oleh Abu Bakar misalnya, berkurang dari 400 ribu menjadi 5
ribu dirham.[27]
Keadaan
ummat Islam pasca meninggalnya Abu Thalib semakian hari semakin tidak
menguntungkan bagi ummat Islam untuk menyabarkan agama Islam dan tetap bertahan
di kota mekah, disaat Abu Thalib masih hidup, Nabi menyarankan kepada
pengikutnya untuk mengungsi ke negri tetangga, Abessinia, pada bulan keujuh
dari bulan kenabian, 11 laki-laki termasuk Utsman dan empat wanita hijrah ke
Abyssinia. Dua bulan kemudian dilakukan hijrah kedua yang terdiri dari 101
mukmin diantaranya 18 terdapat wanita, hikmah yang dapat diambil dari hijrah
ini adalah timbulnya kesadaran dalam hati orang-orang mukmin yang tinggal di
Mekah tentang adanya negeri-negeri tetangga sebagai tempat pengungsian yang
aman,[28]
meskipun disisi lain, hijrah ini telah menimbul-kan petaka baru yang lebih
dahsat yaitu meningkatnya siksaan kepada kaum mu’min. terlebih setelah Abu
Thalib meninggal.
Bermula dari pertemuan dan rasa tertariknya
Nabi kepada enam orang yang berkumpul pada saat Bulan Haji yang dilihat sebagai
orang asing dari Yatsrib, pada waktu itu pula Nabi menyampaikan seruan kepada
mereka untuk mengimani dan mendengar-kan serua-seruan Tuhan, dan Nabi
menanyakan kepada mereka, apakah mereka akan menerima dan melindungi Nabi
seandainya Nabi mengungsi ke negeri mereka? Keenam pemuda tersebut mengimani
ajaran Nabi dan berbai'at kepada Nabi.[29]
Dari perkenalan tersebut yang menjadi cikal-bakal hijrahnya Nabi ke Yastrib dan
belakangan kota ini disebut dengan Madinatun Nabi (Madinah).
Nabi Muhammad tiba di Yatsrib disambut
dengan hangat oleh masyarakat Yastrib. Mereka lalu mengubah nama negara ini
menjadi Madinatun Nabi (Kota Nabi)[30],
dalam rangka menyambut kedatangan Nabi. Ketika Nabi dan kaum muslimin
(muhajirin) menetap di Madinah, beliau melakukan asimilasi antara kaum
Muhajirin dengan kaum Anshar melalui perkawinan dan sebagainya. Tujuannya
adalah agar kedua golongan itu dapat menyatu secara emosional di bawah
bimbingan Nabi.
Program awal yang dilakukan oleh Nabi
setiba di Madinah adalah merencanakan membangun masjid, Nabi bersama dengan
masyarakat Madinah bekerja bhakti untuk mendirikannya dan masjid inilah yang
pertama dalam sejarah Islam[31].
Selanjutnya beliau mulai menata kehidupan kaum muslimin dalam berbagai bidang,
antara lain:
1. Bidang Politik
Pada saat Nabi tiba di Madinah,
masyarakatnya terbagi dalam berbagai golongan sebagaimana akan diterangkan
berikut ini :
Kelompok Muhajirin, pengikut Nabi yakni
orang-orang mukmin yang meninggalkan tanah kelahiran mereka dan terut berhijrah
ke Madinah. Kesetian kaum Muhajirin terhadap perjuangan Nabi sangat besar.
Mereka bersedia berhijrah dengan meninggalkan sahabat-sahabat dekat dan sanak
keluarga dan mereka tabah menghadapi penderitaan dan cobaan dalam perjuangan di
jalan Allah.
Kelompok Anshar, pengikut Nabi yang
menjadi penduduk asli negeri Madinah yang sedikit banyak telah memberikan
pertolongan kepada Nabi, dengan ramah hati mereka menyambut kehadiran Nabi di tengah-tengah
mereka, dan sesuai dengan Perjanjian 'Aqobah mereka bersedia membantu Nabi dalam
kondisi bagaimana pun juga, kaum Anshar turut aktif dalam segala program Nabi
bahkan mereka bersedia mengorbankan harta kekayaan untuk kepentingan perjuangan
Islam. Mereka tidak hanyak memberikan perlindungan tempat tinggal, tetapi
memberikan perlindungan kesejahteraan hidup. Ikatan persaudaraan antara kaum
Muhajirin dan Anshar semakin bertambah erat ketika Nabi menetapkan bahwa antara
kedua kelompok ini saling mewarisi harta kekayaan. Masyarakat Madinah penyembah
Berhala turut menyambut kedatangan Nabi. Baik yang beriman maupun yang tidak
beriman, semuanya bersedia melindungi dan membela Nabi Muhammad. Tetapi setelah
Islam semakin berkembang pesat, kelompok non muslim Madinah mulai cemas dengan
kedudukan Nabi. Penganut agama Yahudi di Madinah mempunyai pendirian dan sikap
yang berbeda-beda. Mereka bersama dengan masyarakat Madinah turut menyambut
kehadiran Nabi, pada mulanya Nabi mengakui keberadaan agama mereka bahkan Nabi
menggolongkan mereka sebagai Ahlul-kitab. Sebagai setrategi untuk
menjalin persahabatan Nabi bahkan melestarikan sebagian kebiasaan dan praktek
keagamaan mereka. Sementara sebagian penganut Yahudi senantiasa berusaha
menggeser kepemimpinan Nabi tetapi ketika terbukti bahwa mereka tidak berhasil
menggesernya, perlahan-lahan mereka mengurangi dukungan-nya terhadap Nabi
bahkan mereka berusaha menjalin kerjasama dengan Quraisy Mekkah untuk memusihi
Nabi.[32]
Semenjak datang ke Madinah Nabi
mencurahkan perhatiannya untuk mengendalikan suasana politik masyarakat
Madinah, khususnya mendamaikan suku Auz dan Khazraj yang telibat pertikaian
panjang dimana dari kedua auku ini saling menguasai dan mengalahkan, sampai
pada akhirnya kedua suku ini dapat didamaikan oleh Nabi sehingga kedua suku
yang berpengaruh di Madinah ini masuk Islam.[33]
Kebijakan politik yang juga ditempuh Nabi adalah upaya menghapus jurang pemisah
antar suku-suku dan berusaha menyatukan penduduk Madinah sebagai suatu kesatuan
masyarakat Anshar, pada sisi lainnya Nabi berusaha mempererat hubungan antara
masyarakat Anshar dan Muhajirin, dalam hal ini kebijakan yang ditempuh Nabi
bersandar pada prinsip saling hidup dan menghidupi, meningkatkan kehidupan yang
rukun dan harmunis.
2. Bidang Pemerintahan
Kekuasaan tertinggi pemerintahan Islam
bersandar pada kekuasan Allah yang senantiasa menurunkan wahyu al-Qur’an kepada
Nabi Mahammad. Sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an berlaku bagi seluruh
umat Islam, termasuk bagi nabi sendiri yang menjabat sebagai penguasa negeri
Islam dalam urusan-urusan yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an maka
keputusannya berada ditangan Nabi dalam urusan tersebut kedudukan Muhammad
adalah sebagai kepala pemerintahan. Jadi Nabi menjabat peran atau fungsi ganda
yaitu: sebagai fungsi kenabian dan fungsi kepemerintahan. Sekalipun Nabi
menjabat sebagai otoritas tertinggi, namun beliau sering mengajak musyawarah
para sahabat untuk memutuskan masalah-masalah penting.
Langkah kebijakan yang pertama kali
ditempuh Nabi setiba di Madinah adalah menbangun masjid, yang kemudian dikenal
sebagai masjid Nabawi, yang merupakan pusat pemerintahan Islam. Selain tempat
ibadah masjid tersebut juga berfungsi untuk kantor pemerintah pusat dan sebagai
kantor peradilan. Beliau memimpin sholat jemaah dan menyelenggarakan seluruh
kegiatan kenegaraan di dalam masjid ini. Di dalam masjid ini pula Nabi
melakukan kegiatan administrasi juga urusan surat menyurat dan pendelegasian
misi dakwah kebeberapa penguasa dan suku-suku di sekitar Semenanjung Arabia. Pendek
kata mesjid ini merupakan sekretariat pusat Nabi.
Berangkat dari dua fungsi yang
diperankan oleh Nabi tersebut, maka Nabi selain kedudukannya sebagai Rasul
(pemimpin agama) dan sekaligus menjadi Kepala Negara. Secara garis besar, Nabi
adalah pertama kali yang meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, dan sosial
kemasyarakatan.[34]
3. Bidang Kemiliteran
Nabi adalah pemimpin tertinggi tentara
muslim. Beliau turut terjun dalam 26 atau 27 peperangan dan ekspedisi militer.
Bahkan Nabi sendiri yang memimpin beberapa perang yang besar misalnya Perang
Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Hunayn, dan dalam penaklukan kota
Mekkah. Adapun peperangan dan ekspedisi yang lebih kecil pimpinan diserahkan
kepada para komandan yang ditunjuk oleh Nabi pada saat itu belum dikenal
peraturan kemiliteran. Setiap ada keperluan pengerahan kekuatan meliter dalam
menghadapi suatu peperangan atau ekspedisi, maka Nabi mengumpulkan tokoh-tokoh
untuk memusyawarahkan perihal tersebut. Pada masa-masa awal pasukan muslim yang
dapat dihimpun Nabi tidak seberapa jumlahnya, tetapi pada akhir masa
pemerintahan nabi terbimpunm meliter yang sangat besar.pada perang badar
Militer muslim hanya terdiri 313 pejuang, tetapi pada ekspedisi akhir masa
Nabi, yakni ekspedisi ketabuk, armada muslim lebih dari 30.000 pasukan. Mereka
adalah para pejuang yang disiplin tinggi selain itu mereka memiliki muralitas yang
tinggi pula mereka dilarang melanggar disiplin perjuangan Islam. Jika
melanggarnya, atas mereka hukuman yang sangat berat.[35]
4. Bidang Pendidikan
Sekalipun
tidak mengenyam pendidikan, Nabi sangat gigih menganjurkan kewajiban menuntut
ilmu pengetahuan. Beliau selalu mendorong masyarakat muslim untuk belajar.
Betapa sikap Nabi dalam mendorong kegiatan pendidikan terlihat dalam satu
sabdanya: bahwasanya tinta seorang alim lebih suci dari pada darahnya para
sahid. Setelah hijrah kemadinah nabi mengambil prakarsa mendirikan lembaga
pendidikan. Pasukan yang tertawan dalam Perang Badar dibebaskan dengan sarat
mereka masing-masing mengajarkan baca tulis kepada sepuluh anak-anak muslim.
Semenjak saat itu kegiatan baca tulis dan kegiatan pendidikan lainnya
berkembanga dengan pesat dikalangan masyarakat Madinah. Selanjutnya Madinah
menjadi pusat pemerintahan Islam tetapi sekaligus menjadi pusat pendidikan
Islam. Pada saat itu di Madinah terdapat 9 lembaga pendidikan yang mengambil
tempat di masjid-masjid. Di tempat inilah Nabi menyampaikan pelajaran dan
berdiskusi dengan murid-muridnya, para wanita belajar bersama dengan laki-laki,
bahkan Nabi memerintahkan agar para tuan mendidik budaknya lalu mereka
hendaknya memerdekakannya. Pada tiap-tiap kota diselenggarakan semacam
pendidikan tingkat dasar sebagai media pendidikan anak-anak. Ketika Islam telah
tersebar ke seluruh penjuru Jazirah Arabia, Nabi mengatur pengiriman muallim
atau guru agama untuk ditugaskan mengajarkan al-Qur’an kepada suku-suku
terpencil.[36]
Dengan pembenahan di segala bidang, secara
perlahan kaum muslimin khususnya, dan masyarakat Arab umumnya tumbuh dan
berkembang mnenjadi suatu peradaban baru yang unggul. Karena prestasinya ini, kekuatan
kaum muslimin mulai dikhawatirkan oleh banyak pihak. Dengan landasan tauhid dan
akhlak, Nabi telah berhasil membimbing masyarakat Arab ke arah yang tinggin
budaya dan peradabannya.
B. Analisis
Perubahan masyarakat yang berlangsung
dalam abad pertama Islam tiada tara bandingannya dalam sejarah dunia.
Kesuksesan Nabi Besar Muhammad SAW. dalam merombak masyarakat jahiliyah Arab,
membentuk dan membinanya menjadi suatu masyarakat Islam, masyarakat
persaudaraan, masyarakat demokratis, masyarakat dinamis dan progresif,
masyarakat terpelajar, masyarakat berdisiplin, masyarakat industri, masyarakat
sederhana, masyarakat sejahtera adalah tuntunan yang sangat sempurna dan wahyu
ilahi. Allah berfirman, “Kitab ini tidak ada keraguan atasnya bagi
orang-orang yang bertakwa” (Q.S. al-Baqarah : 2).
Nabi Muhammad adalah Nabi yang paling
sukses diantara para pemimpin agama, mendapat pengakuan dunia. Ajaran Islam
yang dibawanya berhasil dan kuasa membasmi kejahatan yang sudah berurat
berakar, penyembahan berhala, minuman keras, pembunuhan dan saling bermusuhan
sampai tidak berbekas sama sekali, dan Muhammad berhasil membina di atasnya
suatu bangsa yang berhasil menyalakan ilmu pengetahuan yang terkemuka, bahkan
menjadi sumber kebangunan Eropa.
Proses perubahan masyarakat yang
digerakkan oleh Muhammad adalah proses evolusi. Proses itu berlangsung dengan
mekanisme interaksi dan komunikasi sosial, dengan imitasi, sugesti,
identifikasi dan simpati. Strategi perubahan kebudayaan yang dicanangkannya
adalah strategi yang sesuai dengan fitrah, naluri, bakat, azas atau
tabiat-tabiat universal kemanusiaan. Strategi yang ditempuhnya mampu mewujudkan
perdamaian, mewujudkan suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera, persaudaraan,
dan ciri-ciri masyarakat Islam yang dibicarakan di atas tadi.
Walaupun demikian Muhammad harus
mempersiapkan bala tentara untuk mempertahankan diri dan untuk mengembangkan
dakwahnya, adalah karena tantangan yang diterima dari kaum Quraish dan
penantang-penantang jahiliyah lainnya untuk menghapuskan eksistensi Muhammad
dan pengikutnya. Justru karena tantangan itu, kaum muslimin kemudian tumbuh
dengan cepat dan mengembangkan masyarakat dan kebudayaan dengan sempurna.
Dalam situasi yang demikian, kita perlu
merenungkan mengapa Muhammad SAW, junjungan kita, panutan kita, mampu membuat
perubahan suatu masyarakat bodoh, terkebelakang, kejam, menjadi suatu
masyarakat sejahtera, terpelajar, dinamis dan pogresif dalam waktu yang begitu
singkat. Perubahannya bersifat universal, struktural, massif, dan dalam waktu
yang relatif singkat. Hal itu tentunya tidak lepas dari sifat dan kepemimpinan
Nabi. Kepemimpinan memang tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai
pemimpin itu sendiri. Karena, kepemimpinan bisa dipelajari dari apa yang
dilakukan oleh pemimpin.[37]
Kepemimpinan itu sendiri merupakan suatu hubungan interperonal yang memiliki
pengaruh dari seseorang terhadap orang lain meliputi adanya suatu
proses komunikasi efektif yang berguna untuk mencapai tujuan dari suatu
kelompok.[38]
Dari semua itu, suatu konklusi patut
diketengahkan: Nabi Muhammad telah berhasil melakukan perubahan yang sangat
fundamental terhadap masyarakat Arab secara mental, emosional, moral, dan
merubah masyarakat yang jahiliyah menjadi masyarakat yang berperadaban tinggi
dan agung di segala bidang dalam waktu singkat.
BAB
V : PENUTUP
Agama Islam mampu, bahkan justeru
berfungsi, untuk mengawal dan mengarah-kan perubahan-perubahan sosio-budaya,
baik perubahan lembaga dan norma-normanya ataupun konsepsi-konsepsi. Karena ia
(berbeda dengan agama Nasrani yang hanya mengatur urusan agama) memberikan
prinsip dan asas kebudayaan dan menentukan arah perubahan masyarakat. Prinsip,
asas dan arah itu bersifat serba tetap. Kembali kita kepada teori Islam. Agama
yang serba tetap menggariskan pegangan hidup, menentukan prinsip dan asas yang
serbatatap sosio-budaya dan menunjukkan tujuan kehidupan. Pelaksanaan sosio-budaya
boleh berubah serba-terus yang dilaksanakan oleh akal, tapi tetap dalam pola
yang digariskan oleh agama. Maka perubahan-perubahan itu tidak menimbulkan
krisis. Pengalaman yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad di Madinah dalam
mengasimilasi, mengintegrasi, memobilisasi, dan membentuk peradaban baru yang
agung bisa dijadikan sebagai bukti sekaligus pelajaran, bahwa Islam mampu
menginisiasi, mengonsep, dan mengimplementasikan perubahan secara baik dan rapi.
Agar agama Islam kembali berperanan
dalam perubahan-perubahan sosio-budaya umat Islam, konsepsi Islam yang
lengkap dan utuh perlu diamankan, yaitu perpaduan agama Islam dengan
kebudayaan Islam. Asas dan prinsip kebudayaan dikembalikan kepada agama untuk
menentukannya, sehingga norma-norma sosial dikawal dan diarahkan oleh dan
berlandaskan spirit keagamaan. Walla>hu a'lam bi al-s{awa>b.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, K. 2003. Sejarah Islam; Tarikh
Pramodren, Jakarta: Srigunting, Cet. Ke-IV.
Al-Buthi, Muhammad Sa'id Ramadan.
(t.th). Fiqh Sirah 1, terj. Mohd. Darus Sanawi, 1983. Malaysia: Pustaka
Fajar.
Armstrong, Karen. 2001. Muhammad Sang
Nabi, Sebuah Biografi Kritis, Jakarta: Risalah Gusti, Cet. IV.
________ 2002. Islam; Sejarah
Singkat. Jakarta: Jendela, Cet. I.
Buna’i. 2008. Penelitian Kualitatif, Pamekasan:
Perpustakaan STAIN Pamekasan Press.
Cohen, Percy S. 1968. Modern Social
Theory, London: Heinemann Educational Books.
Departemen Agama RI. 2002. Sejarah
Kebudayaan Islam, Jakarta: Direktorat Jendral Depag.
Gazalba,
Sidi. 1974. Antropologi Budaya Gaya Baru II, Jakarta: Bulan Bintang.
Glasse, Cyril. 2002. Ensiklopedi
Islam Ringkas, Jakarta: Rajawali Pers, Cet. III.
Hudgson, Marshall G. S. The Venture
of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Jakarta: Paramadina, Cet.
II.
Kirchler, Erich, dkk. 2001. Conflict
and Decision-Making in Close Relationships: Love, Money, and Daily Routines.
UK: Psychology Press Ltd.
Landis,
Judson R. 1986. Sociology, Concepts and Characteristic, California:
Wadsworth Publishing Company.
Lings, Martin. 2002. Muhammad; Kisah
Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Jakarta: Serambi, Cet. I.
Maore,
Wilbert E. 1967. Order and Change; Essay in Comparative Sosiology, New
York: John Wiley & Sons.
Maslow, Abraham H. 1945. Motivation
and Personality, New York: Harper.
Moleong, Lexy J. 2000. Metode
Penelitan Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Montagu, Ashley. 1961. Man: His First
Million Years, New York: Mentor.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman.
2004. Teori sosiologi modern, Jakarta: Kencana.
Russel, Ruth V. 2006. Leadership in
Recreation (3rd ed.). Singapore: McGraw-Hill Inc.
Soekanto,
Soerjono. 1974. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia.
Sarokin, Pitrim A.
1957. Social and Cultural Dynamies, Boston: Sargent.
Susiasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat
Ilmu; Suatu Pengantar Populer, Jakarta: Pancaranintan Indahgraha.
Syalabi, Ahmad. 1997. Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. AL Husna Zikra, Cet. IX.
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban
Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Pers, Cet XV.
[3] Jujun S.
Susiasumantri, Filsafat Ilmu; Suatu Pengantar Populer, (Jakarta:
Pancaranintan Indahgraha, 2007), h. 287.
[5] Wilbert E.
Maore, Order and Change, Essay in Comparative Sosiology, (New York: John
Wiley & Sons, 1967), h. 3.
[6] Soerjono
Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia, 1974), h. 217
[8] Judson R Landis, Sociology,
Concepts and Characteristic, (California: Wadsworth Publishing Company,
1986), h. 321.
[14] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori
sosiologi modern, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 153.
[15] Profesi menggambarkan tentang jenis
pekerjaan dan job diskripsi yang berbeda-beda, baik uraian tugas maupun
rangking status.
[20] Erich
Kirchler, dkk, Conflict and Decision-Making in Close Relationships: Love,
Money, and Daily Routines. (UK: Psychology Press Ltd, 2001)
[21] Muhammad Sa'id
Ramadan al-Buthi, Fiqh Sirah 1, terj. Mohd. Darus Sanawi, (Malaysia:
Pustaka Fajar, 1983), h. 12.
[22] Prof. K. Ali, Sejarah
Islam; Tarikh Pramodren, (Jakarta: Srigunting, 2003), Cet. Ke-IV, h. 45-46.
[25] Marshall G. S.
Hudgson, The Venture of Islam; Iman dan Sejarah dalam Peradapan Dunia, (Jakarta:
Paramadina, Cet. II.), h. 244-255.
[26] Martin Lings, Muhammad
; Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, (Jakarta: Serambi, 2002),
Cet. I, h. 143-154.
[27] Karen
Armstrong, Muhammad Sang Nabi; Sebuah
Biografi Kritis, (Jakarta: Risalah Gusti, 2001), Cet. IV, h. 182.
[33] Badri Yatim,
M.A., Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2003), Cet XV, h. 25. Lihat juga: Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, (Jakarta: PT. AL Husna Zikra, 1997), Cet. IX, h. 119.
[34] Departemen
Agama RI, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Direktorat Jendral Depag,
2002), h. 61-63.
0 komentar:
Posting Komentar