Sabtu, 03 Desember 2011

Pluralisme Objek Realitas di Indonesia


A.    Pengertian Pluralisme
Istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, penda­pat orang tentang istilah ini juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu dikatakan plural pasti  terdiri dari banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang. [1]
Pluralisme menurut bahasa adalah teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi. Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak etnik,

PENTINGNYA KOMUNIKASI SOSIAL DALAM BERDAKWAH


Kominikasi merupakan peristiwa sosial yang bertujuan untuk memberikan informasi, membentuk pengertian, menghibur, bahkan mempengaruhi orang lain. Sedangkan Komunikasi sosial ialah suatu proses interaksi di mana seseorang atau lembaga menyampaikan amanat kepada pihak lain supaya pihak lain dapat menangkap maksud yang dikehendaki penyampai. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi sangat penting dan berpengaruh terhadap keberhasilan interaksi yang dilakukan kedua belah pihak. Tanpa adanya komunikasi yang baik tidak akan ada kesempurnaan dalam penyampaian pesan kepada komunikan.

Tokoh Teori Sosiologi Klasik


Mempelajari ilmu sosiologi tidak akan dapat terlepas pula dari mempelajari mata kuliah teori sosiologi baik yang klasik maupun yang modern. Dengan demikian Anda sebagai mahasiswa sosiologi mempunyai kewajiban untuk mempelajari dan juga memahami tentang landasan teori dari konsep-konsep sosiologi yang sudah dan yang akan Anda pelajari dalam mata kuliah-mata kuliah lainnya.

Karl Marx


A.    Biografis
Marx dilahirkan di Trier, Prussia–Jerman pada tanggal 5 mei 1818. Dia adalah anak seorang pengacara Yahudi[1]. Pada tahun 1841 marx memperoleh gelar doktor filsafatnya dari Universitas Berlin, universitas yang sangat dipengaruhi oleh Hegel dan guru–guru muda penganut filsafat Hegel, tetapi berpikiran kritis. Setelah tamat ia menjadi penulis untuk sebuah Koran liberal radikal dan dalam tempo 10 bulan ia menjadi editor kepala Koran itu. Esai–esai awal yang diterbitkan dalam periode ini mulai mencerminkan sejumlah pendirian yang membimbing Marx sepanjang hidupnya. Esai–esai tulisan Marx itu secara bebas ditaburi prinsip–prinsip demokrasi, kemanusiaan dan idealisme awal. Ia menolak keabstrakan filsafat Hegelian, mimpi naïf komunis utopian dan gagasan aktivis yang mendesakkan apa yang ia anggap sebagai tindakan politik premature[2]. Dalam menolak gagasan aktivis ini, Marx meletakkan landasan bagi gagasan hidupnya sendiri :

Minggu, 31 Juli 2011

August Comte


A.    SKETSA BIOGRAFIS AUGUSTE COMTE
            Auguste comte lahir di Mountpelier, perancis, 19 januari 1798 (pickering, 1993: 7). Orangtuannya berstatus kelas menengah dan ayahya kemudian menjadi pejabat lokal kantor pajak. Meski tergolong cepat menjadi mahasiswa, ia tak pernah mendapat ijazah perguruan Negeri. Dalam setiap kelasnya Ecole polytecnique, Comte bersama seluruh kelasnya di keluarkan karena gagasan politik dan pemberontakan yang mereka lakukan. Pemecatan ini berpengaruh dalam karir akademis Comte. Tahun 1817 ia menjadi sekretaris (dan menjadi anak angkat) saint simon, filsuf yang 40 tahun lebih tua. Mereka bekerjasama sangat akrab selama beberapa tahun dan Comte menyatakan utang budinya kepada saint simon, ia memberikan dorongan sangat besar kepada ku dalam studi filsafat yang memungkinkan diriku menciptakan pemikiran filsafat ku sendiri dan yang akan aku ikuti tanpa ragu selama hidup ku. tetapi tahun 1824 keduanya bersengketa karena comte yakin saint-simon menghapus namanya dari salah satu karya sumbangannya. Comte kemudian menyurati teman-temanya sambil menuduh saint simon bersifat “katastropik” dan melukiskan saint simon sebagai penyulap besar”. Tahun 1852 comte bekata tentang saint-simon” aku tak berhutang apapun pada tokoh terkemuka itu”.

Epistemologi


Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
PEMBAGIAN PENGETAHUAN
Saat ini pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak ada yang memuaskan dan diterima semua pihak. Pembagian yang lazim dipakai dalam dunia keilmuan di Barat terbagi menjadi dua saja, sains (pengetahuan ilmiah) dan humaniora. Termasuk ke dalam sains adalah ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences), dengan cabang-cabangnya masing-masing. Termasuk ke dalam humaniora adalah segala pengetahuan selain itu, misalnya filsafat, agama, seni, bahasa, dan sejarah.
Penempatan beberapa jenis pengetahuan ke dalam kelompok besar humaniora sebenarnya menyisakan banyak kerancuan karena besarnya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu, baik dari segi ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Kesamaannya barangkali terletak pada perbedaannya, atau barangkali sekadar pada fakta bahwa pengetahuan-pengetahuan humaniora itu tidak dapat digolongkan sebagai sains. Humaniora itu sendiri, pengindonesiaan yang tidak persis dari kata Inggris humanities, berarti (segala pengetahuan yang) berkaitan dengan atau perihal kemanusiaan. Tetapi kalau demikian, maka ilmu-ilmu sosial pun layak dimasukkan ke dalam humaniora karena sama-sama berkaitan dengan kemanusiaan.

Pendekatan dalam Psikologi Sosial

Pendekatan dalam Psikologi Sosial
memahami perilaku. Menurut Saymour Epstain
·         Model Pendekatan disposisi kepribadian ( traits personality approach ). Pendekatan ini biasa dianut dan dikembangkan oleh penganut behaviorisme dan conceptualisme. Mereka berasumsi yang menjadi penyebab perilaku sosial dikarenakan sifat – sifat kepribadian yang melekat pada diri individu dan seperti sudah built in dalam diri anda. Ini bersifat permanen dan resisten. Kesimpulannya menjelaskan penyebab dari perilaku sosial dikarenakan faktor – faktor sifat kepribadian yang sifatnya bawaan bersifat permanen sehingga membentuk karakter.

Selasa, 19 Juli 2011

PARTISIPASI POLITIK

Model Perilaku Politik
Perilaku politik dapat dipilih tiga kemungkinan unit analisis, yakni individu aktor politik, agregasi politik, dan tipologi kepribadian politik. Dalam kategori individu aktor politik meliputi aktor politik (pemimpin), aktivis politik, dan individu warga negara biasa. Agregasi ialah individu aktor politik secara kolektif, dalam tipologi kepribadian politik ialah tipe-tipe kepribadian pemimpin otoriter, machiavelist dan demokrat. Empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik seorang aktor politik.

Selasa, 12 Juli 2011

Multikulturalisme dalam Masyarakat Majemuk


DI DALAM dunia ilmu-ilmu sosial telah muncul semacam kesadaran, bahwa penelitian sosial tidak pernah boleh berhenti pada pengumpulan data-data semata. Penelitian sosial haruslah menekankan dan mengajarkan nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan bersama. Hal yang sama kiranya juga berlaku di dalam penelitian-penelitan mengenai multikulturalisme.

Seorang ilmuwan sosial asal Swedia, Gunnar Myrdal, mempunyai pendapat menarik tentang hal ini.[2] Pertama, baginya ilmu-ilmu sosial haruslah melibatkan sesuatu yang lebih dari sekedar penggambaran fakta-fakta. Dalam arti ini ilmu sosial haruslah menyentuh problem-problem mendasar kehidupan manusia, seperti soal nilai dan makna.

Politik


PRAKTEK DEMOKRASI INDONESIA

Ø  Definisi Demokrasi :
Demokrasi berasal dari kata “demos” yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti berkuasa. Demokrasi adalah kekuasaan yang didirikan oleh rakyat,dari rakyat dan untuk rakyat.  

Ø  Demokrasi di Indonesia :
Demokrasi yang dianut oleh bangsa indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan pancasila. Dan beberapa nilai pokok dalam demokrasi pancasila terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dan di dalam UUD 1945 dicantumkan juga dua prinsip dan dicantumkan dalam penjelasan mengenai sistem pemerintahan negara

Kognisi

Kognisi adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau inteligensi. Bidang ilmu yang mempelajari kognisi beragam, di antaranya adalah psikologi, filsafat, komunikasi, neurosains, serta kecerdasan buatan.

Minggu, 19 Juni 2011

Perilaku Politik


Model Perilaku Politik
Perilaku politik dapat dipilih tiga kemungkinan unit analisis, yakni individu aktor politik, agregasi politik, dan tipologi kepribadian politik. Dalam kategori individu aktor politik meliputi aktor politik (pemimpin), aktivis politik, dan individu warga negara biasa. Agregasi ialah individu aktor politik secara kolektif, dalam tipologi kepribadian politik ialah tipe-tipe kepribadian pemimpin otoriter, machiavelist dan demokrat. Empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik seorang aktor politik.

Kamis, 16 Juni 2011

Sejarah Psikologi Sosial


A.    Sejarah Perkembangan Psikologi Sosial
Sebelum ilmu imduknya, yaitu Psikologi, dikukuhkan sebagai ilmu yang berdiri sendiri, bibit-bibit psikologi sudah mulai tumbuh, yaitu ketika Lazarus dan Steindhal pada tahun 1860 mempelajari bahasa, tradisi dan instuisi masyarakat untuk menemukan “jiwa umat manusia” (humand mind) yang berbeda dari “jiwa individual”. (Bonner, 1953)
Upaya Lazarus dan Steindhal yang masih sangat dipengaruhi oleh ilmu bantroppologi tersebut, kemudian dikembangkan oleh W. Wundt sendiri pada tahun 1880 mulai mempelajari “Psikologi Rakyat” (Folk Psycology) dan mengajarkannya dengan Psikologi individual dalam eksperimen-eksperimennya. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat, rakyat, kelompok atau kumpulan orang mempunyai “jiwa” yang berbeda dari “jiwa” perorangan. Pendapat ini kemudian mempengaruhi seorang sosiolog terkemuka E. Durkheim yang terkenal dengan teorinya tentang perilaku masyarakat. (Bonner, 1953)
Kelahiran psikologi ditandai dengan dua buah buku berjudul sama, yaitu "Introduction to Social Psychology" ditulis oleh William McDougall - seorang psikolog - dan "Social Psychology : An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross - seorang sosiolog. McDougall menerangkan teori-teori social deng teori-teori instink (manusia berperilaku social karena nalurinya), sedangkan Ross menerangkannya dengan teori struktur social (manusia berperilaku social karena ada tata – aturan dalam masyarakat yang harus di ikuti). (Lindgren,. 1969; Shaver, 1977; Baron dan Byrne, 1994)
Publikasi lain yang dianggap fenomenal dalam kelahiran psikologi social adalah tulisan dari Floyd Allport pada tahun 1924. Dalam tulisannya Allport terlihat berorientasi modern. Ia mengatakan bahwa perilaku social bukan hanya disebabkan oleh naluri atau instink (yang bersifat biologic dan berlaku sama untuk setiap orang) dan juga tidak semata-mata dipengaruhi oleh struktur social. Dikatakannya bhawa perilaku social terjadi pada individu karena berbagai factor yang majemuk yang secara bersama-sama mempengaruhi individu tersebut.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1935 ketika Sherif melakukan eksperimennya tentang pembentukan norma social dari pendapat individu-individu dan selanjutnya individu-individu itu berperilaku dengan berpatokan pada norma social itu. Setelah eksperimen Sherif itu, psikologi social makin berkembang dengan penelitian-penelitian tentang kepemimpinan dan proses kelompok oleh Kurt Lewin pada tahun 1939. (Baron & Byrne, 1994)
Setelah perang dunia selesai, perhatian psikologi beralih ke proses individual dan psikologi sosial mulai mempelajari proses interaksi sosial. Disekitar tahun 1957 lahirlah aliran psikologi kognitif yang tokohnya antara lain adalah Festinger. Aliran ini mengemukakan teori tentang “Disonansi Kognitif”, yaitu keadaan dalam kesadaran dimana ada dua elemen kesadaran yang tidak saling menunjang (keadaan disonan) sehingga manusia berperilaku tertentu untuk mengembalikan keseimbangan (konsonan) antara elemen-elemen kesadaran itu.
Proses pendewasaan psikologi social mencapai puncaknya antara tahun 1970 sampai tahun 1980. Tahap ini pun ditandai dengan berkembangnya penelitian-penelitian psikologi sosila terapan. (Baron &Byrne, 1994). Seperti PSikologi kesehatan, psikologi hokum, psikologi lingkungan kerja, psikologi kepolisian, dan psikologi lingkungan.
Di masa depan, penelitian akan mengarah pada kognisi dan penerapan psikologi social dengan menggunakan perfektif kebudayaan. Factor kognisi berupa atribusi, sikap, stereotip, prasangka dan disonansi kognitif (Baron dan Byrne, 1994; Glassman dan Hadd, 2004) adalah dasar dari tingkah laku sosial manusia. Ketertarikan untuk mengembangkan faktor ini dalam psikologi sosial berkembang pada tahun 1970-an. Perpektif kebudayaan dan sosial sebagai tingkat analisis utama.
Kelahiran psikologi di Indonesia menjadi awal dari keberadaan psikologi sosial di Indonesia. Diawali dengan munculnya bagian psikologi sosial di fakultas psikologi di Universitas Indonesia pada tahun 1967. Kelahirannya di Indonesia bersamaan dengan masa-masa berkembangnya psikologi sosial di dunia. Selanjutnya, ditahun yang sama, fakultas psikologi Universitas Indonesia mengembangkan bagian psikologi sosial yang kemudian menghasilkan para peneliti-peneliti awal psikologi sosial di Indonesia.
Sedangkan latar belakang timbulnya psikologi sosial, banyak beberapa tokoh berpendapat, seperti :
1)      Gabriel Tarde (1842-1904)
Ia adalah seorang sosiolog dan kriminolog Perancis yang dianggap pula sebagai Bapak Psikologi Sosial (social interaction). Tarde berpendapat bahwa semua hubungan social (social interaction) selalu berkisar pada proses imitasi, bahkan semua pergaulan antar manusia itu hanyalah semata-mata berdasarkan atas proses imitasi. Menurutnya, masyarakat itu tidak lain dari pengelompokan manusia, dimana individu yang satu mengimitasi dari yang lain dan sebaliknya, apabila manusia mulai mengimitasi kegiatan manusia lainnya. Jadi, pokok-pokok teori psikologi social Tarde berpangkal kepada proses imitasi sebagai dasar dari pada interaksi social antar manusia.
2)      Gustave Le Bon (1841-1932)
Le Bon mengatakan bahwa massa itu mempunyai satu jiwa tersendiri yang berlainan sifatnya dengan sifat-sifat jiwa individu. Jadi seorang individu yangtergabung dalam massa itu akan bertingkah laku secara berlaianan dibandingkan dengan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari sebagai individu. Adapun sifat massa itu lebih impulsif, lebih mudah tersinggung, ingin bertindak dengan segera dan nyata, lebih mkudah terbawa-bawa oleh sentimen, kurang rasionil, lebih mudah dipengaruhi (sugestibel), lebih mudah mengimitasi dan sebagainya.
Dari uraian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa menurut Le Bon pada manusia terdapat dua macam jiwa, yaitu jiwa individu dan jiwa massa yang masing-masing berlainan sifatnya. Jiwa massa lebih bersifat primitif (buas, irasional, dan penuh sentimen) dari pada sifat-sifat jiwa individu.
3)      Sigmun Freud (1856-1939)
Ia disamping sebagai ahli psikologi, dapat disebut sebagai bapak Psiko-analisa, juga seorang psikiater Austria yany ternama. Seirama dengan Le Bon, ia berpendapat bahwa jiwa massa itu mempunyai sifat-sifat khusus yang berlainan dengan difat-sifat jiwa individu.
Berlainan denga Le Bon, ia berpendapat bahwa jiwa massa itu sebenarnya sudah terdapat dan tercakup oelh jiwa individu. Hanya saja sering tidak disadari oleh manusia itu sendiri, karena memang dalam keadaan terpendam. Baru setelah dalam situasi massa, maka sifat-sifat yang terpendam tersebut seolah-olah diajak untuk mengatakan dirinya dengan leluasa, sehingga tampaklah jiwa massa yang sebelumnjya tidak terduga-duga itu. Namun terkadang pula jiwa massa terkandung sifat-sifat yang positif, sifat-sifat yang baik, antara lain : sifat rela berkorban, suka membantu, dan lain sebagainya.
4)      Emile Durkheim (1858-1917)
Sebagai seorang tokoh sosiologi, ia berpendapat bahwa :
a.          Gejala-gejala social yang terjadi dalam masyarakat itu tidak dapat dibahas oleh psikologi, melainkan hanya oleh sosiologi. Adapun alasannjya ialah bahwa yang mendasari gejala-gejala sosial itu adalah suatu kesadaran kolektif dan bukan kesadaran individual.
b.         Masyarakat itu terdiri atas kelompok-kelompok manusia yang hidup secara kolektuif dengan pengertian-pengertian dan tangggapan-tanggapan yang kolektif pula. Dan hanya dengan kehidupan kolektif itulah yang dapat menerangkan gejala-gejala social.
c.          Bahwa pada manusia terdapat dua macam jiwa, seperti yang dikemukakan oleh Le Bon, yaitu jiwa kelompok (group mind) dan jiwa individu (individual mind).
5)      Wiliam Jame & Charles H. Cooley (hidup awal abad 20)
Mereka berpendapat bahwa perkembangn individu itu berhubungan erat dengan perkembangan masyarakat di sekitarnya.
Dari uraian singkat itu jelaslah bahwa cirri-ciri dan tingkah laku individu tidak mudah dimengerti jika tidak dikaitkan dalam hubungannya dengan orang-orang lain di dalam kelompok itu, sebab sejak dilahirkan individu itu sudah berinhteraksi social dengan orang lain, misalnya dengan orang tuanya, keluarganya, kawan-kawan seperdamaian, yang kesemuanya ini akan memupuk perkembangan individual serta keseimbangan pribadi sebaik-baiknya. Bahkan Cooley menambahkan bahwa selfconsept seseorang individu merupakan refleksi dari pada konsep-konsep orang lain.
6)      Kurt Lewin (meninggal tahun 1966)
Lewin dengan Teorinya field Theori (teori lapangan) mengembangkan bagaimana perilaku terbentuk. Dia memberikan rumusan teoritis B = f (P,E). Tingkah laku (B: Behavioral) merupakan hasil dari fungsi (f) individu (P) dan lingkungan (E: Environment).
Pokok pikiran Field Psikologi adalah bahwa bagaimanapun dan bilamanapun manusia itu selalu hidup dalam satu Field. Oleh karena itu uraian mengenai tingkah laku manusia harus pula memperhatikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadapnya dalam lapangan yang berobah-obah itu. Hasil eksperimennya adalah  bahwa cara-cara kepemimpinan yang berlainan, akan berpengaruh secara berlainann pula terhadap suasana kerja dan cara-cara bertingkah laku dalam kelompoknya masing-masing.

B.           Urutan Kronologi Perkembangan Psikologi Sosial
1898: Gabriel de Tarde mempublikasikan Etudes de Psychologie Sociale (Studies of Social Psychology) yang banyak membahas tentang imitasi, dasar teori belajar sosial dan konformitas. Dan dalam American Journal of Psychology, Norman Triplett menggambarkan eksperimen yang berkaitan dengan fasilitasi sosial.
1908 : Edward Ross dan William McDougall mempublikasikan buku teks Psikologi Sosial
1918 – 1920 : para psikolog sosial (W. I. Thomas dan F. Znaniecki’s) mulai mendefinisikan ranah mereka. Sikap menjadi konsep utama.
1921 : The Journal of Abnormal Psychology menjadi The Journal of Abnormal and Social Psychology
1924: Floyd Allport mempublikasikan pengaruh social
1934 : George Herbert Mead mempublikasikan bukunya yang berjudul Mind, Self and Society yang menekankan pada interaksi antara diri (self) dan orang lain
1935 : Buku pegangan Psikologi Sosial untuk pertama kalinya diterbitkan dengan Carl Murchinson sebagai editornya.
1936 : Muzafer Sherif menjelaskan proses konformitas dalam The Psychology of Social Norms
1939 : Kurt Lewin, bersama dengan muridnya Ronald Lippit dan Ralph White, melaporkan studi eksperimental mengenai gaya-gaya kepemimpinan. Pada tahun yang sama, Dollar-Miller mengenalkan teori frustasi-agresi
1941 : Dalam Social Learning and Imitation, Neal Miller dan Jhon Dollar mengemukakan teori yang perluasan dari prinsip-prinsip behavioristik dalam perilaku social.
1945 : Kurt Lewin mengemukakan penelitian tentang Dinamika Kelompok
1954 : Buku pegangan Psikologi Sosial edisi modern diterbitkan dengan Gardner Linzey sebagai editornya.
1957 : Leon Festinger mempublikasikan A Theory of Cognitive Dissonance, yang menampilkan suatu model yang menekankan pada konsistensi antara pemikiran dan perilaku
1958 : Fritz Heider memberikan pondasi awal bagi teori atribusi melalui publikasi pada The Psychological of Interpersonal Behavior
1959 : Jhon Thibaut dan Harold Kelley mempublikasikan The Social Psychology of Group yang merupakan pondasi bagi teori pertukaran social
1965 : The Journal of Abnormal and Social Psychology terbagi dalam dua publikasi yang terpisah, The Journal of Abnormal Psychology menjadi The Journal of Personality and Social Psychology
1985 : Edisi Ketiga buku pegangan Psikologi Sosial dipublikasikan dengan Gardner Linzey dan Elliot Aronson sebagai editornya.

C.    Hubungan Psikologi Sosial dengan Ilmu Lain
Sebagai ilmu yang obyeknya manusia, maka terdapat saling hubungan antara psikologi social denagn ilmu-ilmu yang obyek-nya juga manusia, seperti misalnya: Imu hokum, ekonomi, sejarah dan yang paling erat hubungannya adalah sosiologi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa psikologi social adalah identik dengan sosiologi. Tetapi sebenarnya ada sedikit perbedaan antara psikologi social dengan sosiologi.
Pada psikologi social yang dibicarakan adalah manusia sebagai anggota masyarakat. Jadi meninjau interaksi dalam kelompok, bagaimana hubungan individu yang satu dengan yang lain dalam kelompok itu, dan sebagainya. Sedangkan sosiologi membicarakan tentang kelompok-kelompok manusia sebagai suatu kesatuan, misalnya: tentang macam-macamnya kelompok, perobohan-perobohannya, macam-macam pimpinan dan sebagainya. Disini tidak dibicarakan individu yang satu denagan dengan yang lain, tetapi hanya dibicarakan kelompok sebagai kesatuan.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa psikologi social meninjau hubungan individu yang satu dengan yang lain. Masalah-masalah yang dibicarakan banyak yang bersamaan dengan sosiologi, hanya saja sudut pandangannya berbeda. Sedang kalau di pandang psikologi social: bagaimana hubungan social/manusia yang satu dengan yang lain, bagaimana pengaruh terhadap pimpinan, bagaimana sikap kelompok terhadap pimpinan dan sebagainya. Maka dapatlah dikatakan bahwa psikologi social dan sosiologi sangat erat hubungannya satu sama lain. Seperti yang di kemukakan oleh W.A. gerungan bahwa antara psikologi dan sosiologimerupakan daerah dari psikologi social.  “ Bila lingkaran pertama menyatakan bidang ilmu psikologi, dan lingkaran kedua adalah lingkaran sosiologi, maka bidang yang ditutupi oleh kedua lingkaran bersama adalah bidang psikologi social”. Dengan demikian akan terlihat kepada kita bagaimana hubungan antar psikologi social di satu pihak dan sosiologi di lain pihak.
1.      Hubungan psikologi social dengan sosiologi 
Ilmu yang dapat mempengaruhi pada Psikologi Sosial adalah Sosiologi dan Antropologi,(Bonner-1953)
Sosiologi : Suatu bidang ilmu yang terkait dengan perilaku hubungan antar individu, atau antara individu dengan kelompok, atau antar kelompok (interaksionisme) dalam perilaku sosialnya.
Antropologi : lebih memfokuskan pada perilaku sosial dalam suprastruktur budaya tertentu, jd lebih ke bidang budayanya.
Psikologi Sosial : jembatan diantara cabang-cabang pengetahuan sosial lainnya atau mempelajari perilaku individu yang bermakna dalam hubungan dengan lingkungan atau rangsang sosialnya. 
Perbedaan  antara Psikologi Sosial dengan Sosiologi adalah lebih terfokus studinya. Fokus perhatian studi psikologi social lebih dominan ke perilaku individu. Berbeda dengan Sosiologi  yang lebih terfokus pada sistem dan struktur sosial yang dapat berubah tanpa bergantung pada individu tersebut.Sosiologi lebih memfokuskan pada masyarakat dan budaya yang melingkupi individu.
2.      Hubungan psikologi social dengan antropologi
Fokus studi antropologi awal tahun 1920-an : Ahli antropologi tertarik pada lingkungan dan kebudayaan dari bayi dan anak-anak, masa itu sangat dianggap penting bagi pembentukan kepribadian dewasa yang khas dalam suatu masyarakat. Karena pembentukan kepribadian adalah sesuatu yang patut dipelajari dan di tanam dalam diri masyarakat, agar da batasan dan norma-norma yang berlaku.
Hampir semua penelitian yang mendalami “kepribadian bangsa” menyimpulkan bahwa ciri-ciri kepribadian yang tampak berbeda pada bangsa-bangsa di dunia ini bersumber pada cara pengasuhan pada masa kanak-kanak. Karena pada masa kanak-kanak adalah masa yang paling penting untuk menngatur dan melihat jati diri, masa kanak-kanak yang bisa di ajarkan berperilaku baik sesuai norma dan adat dan masa kanak-kanalah yang pandai meniru.
Dalam perkembangannya, fokus pendekatan psikologis pada keanekaragaman kebudayaan, berubah. Minat terhadap hubungan pengasuhan semasa anak-anak dan kepribadian setelah dewasa, tetap dipertahankan, namun beberapa ahli antropologi mulai meneliti faktor-faktor determinan yang mungkin jadi penyebab dari kebiasaan pengasuhan anak yang beragam Kebudayaan tertentu menghasilkan karakteristik psikologi tertentu menimbulkan ciri budaya lainnya.
Kesimpulan mengenai pendekatan psikologis dalam antropologi budaya: dengan menghubungkan variasi dalam pola budaya dengan masa pengasuhan anak, kepribadian, kebiasaan, dan kepercayaan yang mungkin menjadi konsekuensi dari faktor psikologis dan prosesnya.
Anthropology in mental health: memfokuskan diri pada aspek sosial budaya yang mempengaruhi kondisi/ gangguan mental pada diri individu.
3.      Hubungan psikologi social dengan ilmu politik 
Psikologi merupakan ilmu yang mempunyai peranan penting dalam bidang politik, “massa psikologi”. Penting bagi politisi untuk menyelami gerakan jiwa dari rakyat pada umumnya, golongan tertentu pada khususnya. Psikologi social dapat menjelaskan bagaimana sikap dan harapan masyarakat dapat melahirkan tindakan serta tingkahlaku yang berpegang teguh pada tuntutan masyarakat.

4.      Hubungan psikologi social dengan ilmu komunikasi 
Banyak disiplin ilmu yang terlibat dalam studi komunikasi. Dalam perkembangannya ilmu komunikasi melakukan “perkawinan’ dengan berbagai ilmu lain.
Subdisiplin : komunikasi politik, sosiologi komunikasi masa, psikologi komunikasi
Psikologi komunikasi : ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengndalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi.
5.      Hubungan psikologi social dengan ilmu alam
Pada permulaan abad ke-19 psikologi dalam penelitiannya banyak terpengaruh oleh ilmu alam. Psikologi disusun berdasarkan hasil eksperimen.
Objek penelitian psikologi: manusia dan tingkah lakunya yang selalu hidup dan berkembang
Objek penelitian ilmu alam : benda mati.
6.      Hubungan psikologi social dengan imu filsafat
Filsafat : hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dalam penyelidikannya filsafat berangkat dari apa yang dialami manusia. Ilmu psikologi menolong filsafat dalam penelitiannya. Kesimpulan filasafat tentang kemanusiaan akan ‘pincang’ dan jauh dari kebenaran jika tidak mempertimbangkan hasil psikologi.
7.      Hubungan psikologi social dengan ilmu pendidikan
Ilmu Pendidikan: bertujuan memberikan bimbingan hidup manusia sejak lahir sampai mati. Pendidikan tidak akan berhasil dengan baik bilamana tidak didasarkan pada psikologi perkembangan. Hubungan kedua disiplin ilmu ini melahirkan Psikologi Pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Wirawan, Sarlito. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta : Salemba Humanika
Wirawan, Sarlito. 2006. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Baron & Byrne. 1994. Psikologi Sosial
Wirawan, Sarlito. 2002. Psikologi Sosial (Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial). Jakarta : Balai Pustaka.
Ahmadi, Abu. 1988. Psikologi Sosial. Surabaya : Bina Ilmu.
Taylor, Shelly, Lestifia Anne, David Sears. 2009. Psikologi Sosial (Edisi Ke-12). Jakarta : Kencana.

Teori Stratifikasi Sosial


  1. Teori-Teori Stratifikasi Sosial Beserta Tokohnya
            Abrahamson berpendapat, bahwa teori stratifikasi sosial dari Weber, sebenarnya merupakan suatu tanggapan terhadap ajaran-ajaran Marx mengenai masalah tersebut. Salah satu pokok permasalahannya adalah mengenai dimensi stratifikasi sosial, yakni dimensi ekonomis, soial dan politis. Weber berpendapat bahwa di dalam setiap tertib, warga-warga masyarakat terbagi dalam kelas-kelas (ekonomis), kelompok status (sosial), dan partai-partai (politis).
Hubungan antara ketiganya bersifat timbal balik ; Marx menganggap, bahwa dimensi ekonomis menentukan dimensi-dimensi lainnya. Uraian di bawah ini, akan mempersalahkan hal-hal tersebut. [1]
Sebagaimana dijelaskan, Weber menyatakan bahwa suatu kelas mencakup orang-orang yang mempunyai peluang-peluang kehidupan yang sama, dipandang dari sudut ekonomis. Dengan peluang-peluang kehidupan dimaksudkan sebagai kondisi hidup, pengalaman hidup dan kesempatan mendapatkan benda dan jasa.
            Menurut Weber pengertian kelas adalah untuk mengkaitkannya dengan pengertian pemilikan yang dipandangnya sebagai masalah situasi pasaran. Sebagaimana halnya dengan Marx, maka Weber melihat pasaran kapitalistik sebagai gejala yang mengeluarkan golongan yang tidak bermodal dari proses persaingan terhadap barang-barang bernilai tinggi.
Menurut pendapat Marx golongan borjuis memegang monopoli terhadap kesempatan-kesempatan atau peluang-peluang tertentu. Yang dikeluarkan dari proses persaingan adalah golongan proletar yang hanya dapat memberikan jasa-jasa. Akan tetapi, Weber mengadakan penjabaran lebih lanjut terhadap posisi-posisi di dalam kelas-kelas tersebut.
Menurut Weber, maka berbagai golongan borjuis, sesuai dengan varisai harta kekayaan yang dimilikinya. Hal yang sama juga merupakan gejala yang dapat dijumpai pada golongan yang tidak mempunyai harta kekayaan, yang hanya mampu memberikan atau menjual tenaganya. [2]
            Marx beranggapan, bahwa golongan proletar tidak mengakui kepentingan sesungguhnya dari kelasnya ; dia berpendapat bahwa mereka harus mengakuinya dan akan berbuat demikian kelak dikemudian hari. Dengan cara lebih memberi tekanan pada konstruksi subyektif dari keadaan, Weber memintakan perhatian terhadapa halangan terjadinya aksi kelas.
Weber menganggap pertimbangan-pertimbangan terhadap kedudukan, sebagai halangan tambahan terhadap terjadinya aksi kolektif yang didasarkan pada posisi kelas. Di sini lah muncul perbedaan pendapat anatara Weber dengan Marx. Mengenai status atau kedudukan, Weber menganggapnya sebagai hal yang menyangkut gaya hidup, kehormatan dan hak-hak istimewa.
Hubungan antara kelas dengan status, merupakan masalah yang sangat penting bagi Weber. Di satu pihak Weber menyatakan, bahwa status dapat didarkan pada pemilikan (harta kekayaan), dan cenderung demikian pada masa mendatang.
Di samping itu, dia membedakan (secara tajam) antara status dengan ketamakan ekonomis semata-mata. Dia juga menyatakan bahwa kelompok bahwa kelompok status yang sama mencakup orang-orang dari situasi kelas yang berbeda-beda.
Weber juga mengetengahkan kondisi-kondisi di dalam mana suatu kelompok cenderung status cenderung menjadi kasta. Kondisi yang penting adalah, kalau status kehormatan status adalah identik dengan posisi kelas, serta berlangsung lama. Demikian juga halnya, apabila perbedaan status dikaitkan dengan perbedaan-perbedaan etnik atau rasial. [3]
Terdapat beberapa teori mengenai stratifikasi sosial :
1. Teori Stratifikasi Sosial Fungsional[4]
Teori stratifikasi sosial merupakan teori sosial yang dikembangkan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945). Mereka memandang stratifikasi sosial sebagai sesuatu yang universal dan bagi mereka tidak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi, karena masyarakat memerlukan sistem semacam itu dan terwujud dalam sistem stratifikasi. Stratifikasi sebagai struktur, dengan menegaskan bahwa stratifikasi tidak berarti individu dalam sistem stratifikasi namun sebagai sistem posisi.
Dalam hal ini Davis dan Moore tidak menekankan bagaimana mendapatkan posisi atau kedudukan itu dalam masyarakat, akan tetapi menekankan pada bagaimana cara posisi tertentu mempengaruhi tingkat prestise dalam masyarakat.
Persoalan dalam stratifikasi sosial-fungsional adalah bagaimana masyarakat memotivasi dan menempatkan individu pada posisi atau kedudukannya yang tepat di masyarakat, dan bagaimana masyarakat menanamkan motivasi kepada individu untuk memenuhi persyaratan dalam mengisi posisi tersebut. Penempatan sosial yang tepat dalam masyarakat seringkali menjadi masalah karena:
a.       Posisi tertentu lebih menyenangkan dari pada posisi yang lain.
b.      Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat dari posisi yang lain.
c.       Posisi-posisi sosial yang berbeda memerlukan bakat dan kemampuan yang berbeda pula.
Dari ketiga hal di atas Davis dan Moore lebih memberikan perhatian pada posisi yang penting dalam masyarakat untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Ini merupakan posisi yang lebih tinggi tingkatannya dalam stratifikasi masyarakat yang memerlukan bakat dan kemampuan terbaik meski dianggap kurang menyenangkan. Oleh karena itu masyarakat harus memberikan penghargaan yang terbaik bagi individu yang menduduki posisi ini agar dapat bekerja dengan tekun. Sebaliknya posisi-posisi lainnya dianggap lebih rendah dalam stratifikasi masyarakat, kurang penting, dan tidak terlalu memerlukan bakat dan kemampuan terlalu besar namun menyenangkan. Selain itu masyarakat tidak terlalu menuntut individu yang menduduki posisi rendah ini untuk malaksanakan kewajiban mereka dengan tekun. Individu yang berada di puncak stratifikasi harus menerima hadiah/imbalan yang memadai dari fungsi yang dilaksanakannya itu dalam bentuk prestise yang tinggi, gaji besar, dan kesenangan yang cukup. Ini untuk meyakinkan bahwa individu mau menduduki posisi yang tinggi itu dalam masyarakat.
Namun teori stratifikasi sosial fungsional ini mendapatkan Banyak kritik, khususnya terkait dengan :
a.       Hak-hak istimewa yang diterima individu yang menduduki stratifikasi struktural yang tinggi dari masyarakat. Dan hal ini akan melanggengkan posisi istimewa orang-orang yang telah memiliki kekuasaan, prestise, dan uang. Karena orang-orang ini berhak mendapatkan hadiah/imbalan seperti itu dari masyarakat demi kebaikan masyarakat sendiri.
b.      Teori ini menyatakan bahwa struktur sosial yang terstratifikasi sudah ada sejak masa lalu, maka ia akan tetap ada di masa datang. Padahal ada kemungkinan bahwa masyarakat di masa depan akan ditata menurut cara lain tanpa stratifikasi.
c.       Ide tentang posisi fungsional yang berbeda-beda arti pentingnya bagi masyarakat sangatlah absurd. Pengumpul sampah meski dalam posisi rendah, tidak bergengsi dan berpenghasilan kecil namun mungkin lebih penting bagi kelangsungan hidup masyarakat di banding dengan seorang manajer periklanan yang berpenghasilan besar. Imbalan yang lebih besar tidak selalu berlaku untuk posisi yang lebih penting. Perawat mungkin lebih penting daripada seorang bintang film atau sinetron. Tetapi bintang film atau sinetron lebih besar kekuasaan atau pengaruhnya, prestisenya, dan penghasilannya dibandingkan dengan seorang perawat.
d.      Orang yang mampu menduduki posisi tinggi sebenarnya tidak terbatas. Hanya saja banyak orang yang terhalang secara struktural untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat khususnya untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan untuk mencapai posisi bergengsi itu meski memiliki kemampuan. Dengan kata lain banyak orang yang memiliki kemampuan namun tidak pernah mendapatkan atau diberikan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Mereka yang berada pada posisi tinggi mempunyai kepentingan tersembunyi untuk mempertahankan agar jumlah mereka tetap kecil, dan kekuasaan serta pendapatan mereka tetap tinggi.
e.       Kita tidak harus menawarkan kepada orang kekuasaan, prerstise dan uang untuk membuat mereka mau menduduki posisi tingkat tinggi. Orang dapat sama-sama termotivasi oleh kepuasan mengerjakan pekerjaan yang baik atau oleh peluang yang tersedia untuk malayani orang lain. [5]

2. Teori Evolusioner Fungsionalis (Talcott Parsons)
Teori ini menjelaskan bahwa evolusi sosial secara umum terjadi karena sifat kecenderungan masyarakat untuk berkembang yang disebut sebagai kapasitas adaptif. Kapasitas adaptif adalah kemampuan masyarakat untuk merespon lingkungan dan mengatasi berbagai masalah yang selalu dihadapi manusia sebagai makhluk sosial. Timbulnya stratifikasi sebagai aspek penting dalam evolusi akibat meningkatnya kapasitas adaptif dalam kehidupan sosial.
Beberapa kelemahan teori Parsons :
a.       Konsep tentang kapasitas adaptif sanagt diragukan. Parsons berpendapat bahwa semakin kontemporer dan kompleks masyarakat, semakin unggul efektivitas etnosentrisme. Padahal semakin kontemporer masyarakat maka mekanisme adaptifnya berbeda dari masyarakat terdahulu.
b.      Parsons tidak melihat sisi negatif dari stratifikasi sosial yang mungkin berpengaruh. [6]

3. Teori Surplus
Teori surplus dikemukakan oleh Gerhard Lenski. Teori ini berorientasi materialistis dan berdasarkan teori konflik. Teori konflik menegaskan dominasi beberapa kelompok sosial tertentu oleh kelompok sosial yang lain, melihat tatanan didasarkan atas manipulasi dan kontrol oleh kelompok dominan, dan melihat perubahan sosial terjadi secara cepat dan tidak teratur ketika kelompok subordinat menggeser kelompok dominan. Teori konflik yang bertentangan dengan teori Parsons, berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang mementingkan diri sendiri dan selalu berusaha untuk mensejahterakan dirinya.
Kesamaan dasar dapat terjadi dalam masyarakat dimana kerjasama menjadi hal yang esensial dalam mencapai kepentingan individu. Jika terjadi surplus, perebutan tidak dapat dihindari dan surplus akhirnya dikuasai oleh individu atau kelompok yang paling berkuasa. Besarnya surplus ditentukan oleh kemampuan teknologi.

4. Teori Kelangkaan
Teori kelangkaan yang merupakan devasi pemikiran Michael Hammer, Morton Fried dan Rac Lesser. Teori kelangkaan beranggapan bahwa penyebab timbulnya stratifikasi adalah tekanan jumlah penduduk. Tekanan penduduk yang semakin besar menyebabkan semakin kuatnya egoisme dalam pemilikan tanah, dan hubungan produksi (dalam pemikiran Marxisme) telah menghilangkan apa yang disebut sebagai pemilikan bersama. Perbedaan akses terhadap sumber daya muncul dan suatu kelompok memaksa kelompok lainnya bekerja keras untuk menghasilkan surplus ekonomi melebihi apa yang dibutuhkan. Dengan meningkatnya tekanan penduduk dan teknologi, perbedaan akses terhadap sumber daya makin nyata dan stratifikasi semakin intensif dengan dorongan politik yang semakin besar. [7]
                                                                                                


  1. Pengaruh Startifikasi Sosial dalam Masyarakat
Stratifikasi social adalah pembedaan masyarakat kedalam lapisan-lapisan social berdasatrkan demensi vertical akan memiliki pengaruh terhadap kehidupan bersama dalam masyarakat. Ikuti urain tentang dampak stratifikasi social dalam kehidupan masyarakat berikut ini.
1.      Eklusivitas
Stratifikasi social yang membentuk lapisan-lapisan social juga merupakan sub-culture, telah menjadikan mereka dalam lapisan-lapisan gtertentu menunjukan eklusivitasnya masing-masing. Eklusivitas dapat berupa gaya hidup, perilaku dan juga kebiasaan mereka yang sering berbeda antara satu lapisan dengan lapisan yang lain.
Gaya hidup dari lapisan atas akan berbeda dengan gaya hidup lapisan menengah dan bawah. Demikian juga halnya dengan perilaku masing-masing anggotanya dapat dibedakan; sehingga kita mengetahui dari kalangan kelas social mana seseorang berasal.
Eklusivitas yang ada sering membatasi pergaulan diantara kelas social tertentu, mereka enggan bergaul dengan kelas social dibawahnya atau membatasi diri hanya bergaul dengan kelas yang sanma dengan kelas mereka. [8]
2.      Etnosentrisme
Etnosentrisme dipahami sebagai mengagungkan kelompok sendiri dapat terjadi dalam stratifikasi social yang ada dalam masyarakat. Mereka yang berada dalam stratifikasi social atas akan menganggap dirinya adalah kelompok yang paling baik dan menganggap rendah dan kurang bermartabat kepada mereka yang berada pada stratifikasi social rendah. [9]
3.       Konflik Sosial
Pola perilaku kelas social atas dianggap lebih berbudaya dibandingkan dengan kelas social di bawahnya. Sebaliknya kelas social bawah akan memandang mereka sebagai orang boros dan konsumtif dan menganggap apa yang mereka lakukan kurang manusiawi dan tidak memiliki kesadaran dan solidaritas terhadap mereka yang menderita. Pemujaan terhadap kelas sosialnya masing-masing adalah wujud dari etnosentrisme.
Perbedaan yang ada diantara kelas social dapt menyebabkan terjadinya kecemburuan social maupun iri hati. Jika kesenjangan karena perbedaan tersebut tajam tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik social antara kelas social satu dengan kelas social yang lain.
Misalnya demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah atau peningkatan kesejahteraan dari perusahaan dimana mereka bekerja adalah salah satu konflik yang terjadi karena stratifikasi social yang ada dalam masyarakat. [10]


[1] Soerjono soekanto, berberapa teori sosiologi tentang struktur masyarakat, (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1993), hlm. 248.
[2]  Ibid., hlm. 248-249
[3]  Ibid., hlm. 250.
[4]  Ibid., hlm. 252-256.
[5]  Suryanirian, blogspot.com/2010/10/stratifikasi-sosial.html.
[6]  Ibid.,
[7]  Ibid.,
[8]  Suryanirian, blogspot.com/2010/10/stratifikasi-sosial.html.
[9]  Ibid.,
[10]  Soerjono Soekanto, SOSIOLOGI suatu pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm 314-315.